Senin, 20 Agustus 2007

wina


Wina mencoba pakaian barunya. Lucu. Bagaimana tidak? Ia sudah terbiasa bercelana jeans dan pakai T Shirt atau pakaian lainnya yang lagi in di kota-kota besar, kini ia harus berpakaian ala gadis desa. Ia berputar-putar di depan cermin, tapi yang tampak hanya sebatas dada ke atas. Cermin yang dipakai Wina memang kecil. Itupun satu-satunya cermin yang ada di rumah bibi Aminah.
Ia sudah bertekad untuk menghilangkan segala ciri kehidupan remaja Jakarta. Ia ingin tampak sederhana dan bisa menyatu dengan alam barunya. Dalam usianya yang muda, Jakarta telah mencampakkan dirinya. Jakarta telah mengenalkan dirinya dengan minuman keras, morpin, dan yang paling menghancurkan dirinya adalah pergaulan bebas muda mudinya. Meski ini sebagian kecil kehidupan remaja Jakarta, tapi nyatanya ia masuk ke bagian kecil tersebut. Pada puncak frustasinya ia hampir saja bunuh diri. Tapi di saat yang kritis itu hidayah Tuhan datang. Ia ingat bibinya yang ada di pelosok desa di wilayah Jawa Timur. Suatu desa yang menawarkan kehidupan yang jauh dari bising dan kebrengsekan kota. Ia ingin memperbarui kehidupan di desa yang tentram ini.
Bulan depan Wina akan sekolah di sekolah barunya yang kondisinya jauh memenuhi syarat. Sebuah SMA swasta yang menempati gedung SD Inpres. Jarak rumah bibi Wina dengan sekolah ini sekitar 10 km.
Wina sekali lagi berputar di depan cermin, kemudian merasa mempunyai kemampuan untuk dengan cepat bisa adaptasi sebagai gadis desa yang lugu. Selama setengah bulan di rumah bibi Aminah ini ia sudah meninggalkan sama sekali make up yang biasa ia pakai ketika di Jakarta. Cuma satu yang belum bisa adaptasi, yaitu potongan rambutnya yang punk rock. Yang satu ini perlu menunggu proses dan ia akan membiarkan tumbuh panjang.
Saat masuk sekolah tiba ia betul-betul sudah siap. Mulai dari baju, sepatu, tas dan buku-buku tampak sederhana. Tapi wajahnya yang memang cantik alami tidak bisa ia sembunyikan. Dan satu hal lagi yang ia tidak bisa menyembunyikannya, logat Jakartanya yang medok.
Pengalaman pertama yang ia peroleh ketika berangkat sekolah naik kendaraan pedesaan. Ia hampir saja terlambat masuk, karena menunggu mobil pedesaan hampir satu jam. Dan ketika masuk di kelas IIA yang muridnya cuma 35 orang ia menangkap bahwa semua mata tertuju kepadanya, dan ada desah nafas yang ditekan. Ia sendiri berusaha menyapa mereka dengan senyum manis.
“Mulai saat ini di kelas kalian ada teman baru. Untuk lebih jelasnya biarlah yang bersangkutan memperkenalkan diri langsung...” begitu pak Sugito yang mengantar Wina dengan bijaksana mempersilakan Wina untuk memperkenalkan diri lebih lanjut. Wina tampak ragu, namun akhirnya ia melangkah ke depan. Ia menunduk beberapa saat.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” ia membuka dengan salam.
“Wa’alaikumsalam...” jawab siswa yang berjumlah 35 itu dengan kompak.
“Bapak guru yang terhormat dan teman-teman yang baik, nama saya Wina umur 18 tahun dan baru sebulan tinggal di kota tercinta ini. Tepatnya di kecamatan Tarik yang jaraknya mungkin kalian lebih tahu daripada saya. Oh, ya... saya pindahan dari sekolah yang jaraknya juga cukup jauh dari sini...” Wina jedah memikir-mikir kalimat berikutnya, tapi ia mendengar dari belakang ada suara menyela, “ Dari Jakarta, ya... ?” dari pertanyaan ini Wina sadar, kendati ia sudah berusaha menutupi ciri-ciri Jakartanya dalam perkenalannya, tapi toh ia belum mampu mengubah logat bicaranya.
“Ya, betul, saya dari Jakarta, tapi bukan kotanya melainkan pinggiran yang suasananya tak jauh beda dengan kota kecamatan ini...” ia terpaksa berbohong biar tak jadi perhatian. “Saya berharap agar saya di sini bisa cepat menyesuaikan diri, untuk ini bantuan dari teman-teman sangat saya harapkan. Saya rasa cukup dan terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh...”
Wina kembali duduk. Satu kesan yang sebelumnya ia duga telah ia peroleh, yaitu teman baru yang lugu dan menyenangkan. Mereka tampak sederhana dan tak banyak tingkah. Kesan ini menjadi kenyataan waktu istirahat tiba, mereka pada rame-rame menjabat tangan Wina dan memperkenalkan diri. Fatimah yang sebangku dengannya bahkan kelewat baik memperkenalkan diri.
Proses akrab Wina dengan teman-teman barunya berjalan lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dalam tempo dua minggu tidak hanya siswa di kelasnya saja yang ia kenal, bahkan hampir seluruh penghuni SMA itu. Wina sebetulnya tak menghendaki demikian, sebab hal ini bisa jadi bumerang kalau sampai menimbulkan iri bagi siswa putri lainnya.
Di rumah Wina telah menjadi kembang desa. Tapi ia masih mengurung diri. Ia belum berani bergaul dengan sesama teman remaja desa sebelum logat Jakartanya hilang, namun hal ini berjalan tidak begitu lama, karena ternyata hanya dalam waktu dua bulan ia telah mampu membuang logat Jakartanya. Ia ikut nimbrung di karang taruna dengan penampilan yang klop, tak beda dengan remaja putri lainnya.
Genap setengah tahun sosok Wina telah utuh menjadi remaja teladan, baik di sekolah maupun di desa. Berkat ketekunannya belajar, Wina telah mampu berprestasi di sekolah, dan di karang taruna pun ia tidak sedikit menyumbangkan idenya yang ia lewatkan Atik, tetangganya.
Sementara ibu dan bapaknya terus bersyukur mengikuti perkembangan Wina yang pesat dan positif, meski hanya lewat surat yang dikirimi rutin oleh bibi Aminah. Sebetulnya ayah dan ibu Wina ingin sekali menjenguk Wina, namun Wina tak memperbolehkan. Entah apa alasannya. Akibatnya sebagai curahan rindu dan rasa tanggung jawab kiriman uang untuk pembelian fasilitas belajar dan keperluan lainnya terus mengalir dalam jumlah berlebihan untuk kehidupan yang sangat sederhana. Tapi Wina tak menggunakan uangnya untuk keperluan tersebut. Ia cukup puas dengan apa yang ada di rumah bibi Aminah yang serba sederhana. Uang yang berlebih itu ia simpan di SIMPEDES.
Problem Wina baru timbul saat ia baru naik ke kelas tiga. Saat itu menjelang hari jadi kotanya. Semua temannya, bahkan guru-gurunya mendesak agar Wina mau mengikuti pemilihan GUK dan YUK (semacam Abang dan None Jakarta), Wina keberatan, karena bagainmanapun sederhanya pelaksanaan pemilihan itu masih tetap tampak glamour dan Wina sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjauhi segala yang berbau glamour. Sebetulnya mereka tidak berlebihan, karena Wina memang ayu, feminin, supel dan cerdas. Wina sendiri kendati belum punya nama di Jakarta dulu pernah mencoba untuk jadi peragawati dan pernah mengikuti pemilihan abang dan none. Dari sini paling tidak ia sudah mengantongi pengalaman berlenggak-lenggok di atas catwalk.
“Wina, bapak harap Wina mau jadi duta sekolah untuk pemilihan Guk dan Yuk tersebut, Wina cukup punya modal, mengenai cara tampil yang baik bu Titik nanti bisa membimbingmu...” begitu desak kepala sekolah. Wina jadi sulit untuk menjawab. Akhirnya ia tidak memberi keputusan yang pasti, ia bilang perlu minta ijin bibinya dulu.
Satu hal lagi keberatan Wina, ia khawatir luka lamanya akan terungkit, sebab ketika ia mencoba mengikuti pemilihan abang dan none Jakarta, saat itulah awal bencana yang menimpa dirinya. Waktu ia baru memenangkan seleksi tingkat daerah, begitu pengumuman pemenang selesai dan ia sibuk-sibuknya menerima ucapan selamat dari teman-temannya seorang pemuda yang tak ia kenal juga mengucapkan selamat kepadanya dan menggenggam lama tangannya. Pemuda itulah yang seterusnya memperkenalkannya dengan dunia yang sebelumnya tidak ia kenal dan kemudian saat Wina berada di puncak cintanya ditinggal begitu saja. Kini Wina tak ingin peristiwa itu terungkit lagi.
“Wina, kau mutiara, kau bidadari, kau ratu yang tak bermahkota di sekolah kita. Sekolah kita yang tak masuk hitungan dan tak pernah diperhitungkan ini sekali-kali biar diacuhkan orang lain. Dan kami yakin kau mampu berbuat untuk itu...” Ana yang waktu kelas dua kemarin menjadi Wakil Ketua OSIS ikut memberi dorongan ketika mereka pulang sekolah bersama.
“Ana, aku tak senang dengan keglamouran dan penonjolan diri...”
“Aku mengerti Wina, tapi sekali ini bantulah kami...”
“Okelah aku berjanji, kalau ada cerdas cermat atau adu otak lainnya aku siap mencoba. Tapi untuk yang ini tolong dimaafkan dulu...”
Ana sedikit kecewa tak bisa membujuk Wina, tapi ia diam-diam tambah kagum dengan pribadi Wina. Wina betul-betul mutiara di matanya.
Akhirnya sampai pada batas waktu pendaftaran Wina tak mampu menolak desakan teman-temannya dan guru-gurunya.
“Baiklah, mudah-mudahan saya tidak mengecewakan. Tapi dari mana saya dapat memperoleh pakaiannya?” semua teman-temannya melonjak girang mendengar kesediaan Wina, dan sekaligus berebut menyatakan kesdiaannya untuk mencarikan pakaian.
Menyadari harapan teman-temannya begitu besar Wina jadi serius. Bu Titik yang melatihnya berlenggak-lenggok dibuatnya kagum. “Wina, kau tenyata punya bakat dan kemampuan yang kuat untuk jadi peragawati...” mendengar kekaguman bu Titik ini Wina hanya tersenyum.
Begitu hari H pemilihan Guk dan Yuk tiba, Wina telah siap betul. Sebelumnya tes kecerdasan dan lain sebagainya telah ia lampaui dengan mulus. Hampir seluruh siswa sekolahnya ikut menyaksikan pemilihan itu. Wina ternyata dapat giliran tampil pada urutan yang ke-24. dan, saat Wina tampil seluruh penonton yang memadati Gedung Wanita itu tercekam diam. Mereka pada berdecak kagum. Kharisma kecantikan Wina mampu meredam semua suara. Keadaan sepi dan mencekam itu kemudian meledak menjadi gemuruh oleh suara tepuk tangan begitu Wina mengakhiri penampilannya.
Seperti yang telah diduga oleh penonton, akhirnya Wina oleh dewan juri dinobatkan sebagai pemenang pertama dan sekaligus menyandang juara favorit. Bagi yang memperhatikan akan tahu keganjilan pada diri Wina, ia tidak seperti pemenang-pemenang berikutnya. Mereka menangis haru dan tak kuasa menahan suka cita. Sedang Wina tenang-tenang saja, sepertinya kemenangan itu tak layak disambut dengan kegembiraan. Malah yang menagis Ana dan bu Titik. Kalau saja teman-temannya tidak berebut menyampaikan selamat jelas ia tak ada reaksi apa-apa.
“Wina, kau tak bahagia dengan kemenanganmu?” tanya bu Titik setelah menyadari sikap Wina.
“Saya sangat bahagia, karena bisa memenuhi harapan teman-teman dan ibu...”
“Wina, tapi kau tampak hambar...”
“Saya takut populer, Bu...”
“Kau ini aneh, sementara orang lain ingin populer dan kadang untuk mengejarnya tak segan-segan menempuh jalan yang tercela, kau sendiri malah tidak mau...”
Ah, Wina memang sejak malam itu jadi populer dan temannya bertambah banyak. Pemuda yang ingin mendekatinya juga tidak sedikit. Ia terima semua teman barunya dengan batasan pagar yang dibuatnya sendiri. Dan, secepatnya memberi tanda apabila ada yang menginginkan lebih dari persahabatan.
Salah satu di antara mereka adalah Gatot, cowok sekelasnya yang paling nekat. Ia sering mentang-mentang dan pamer kekayaannya. Pada yang satu ini Wina sudah menolak mentah-mentah, tapi ia bandel. Mulai dari motor Honda sampai mobil Hijet yang dimiliki ayahnya pernah dimanfaatkan untuk merayu Wina. Tapi meski demikian Wina hanya sekali mau dibonceng, itupun dengan pertimbangan tidak mau menyakiti hati teman.
“Wina, ayolah sekali-kali biar tidak terus-terusan naik taxi!” begitu tawaran Gatot saat membawa mobil yang sebetulnya bagi orang lain cukup menyakitkan.
“He, naik taxi banyak seninya, lho...” jawab Wina asal-asalan.
“Seni apa, bau kencing...?”
“He, Tot, kau jangan menghina orang yang nggak punya mobil...”
“Makanya kau sama aku biar tidak tersinggung...”
Sungguh kendati Wina tersinggung dengan omongan Gatot ini dan sangat muak. Tapi semua itu hanya ia endapkan saja. Ia tak ingin menyakiti hati orang lain atau menanam bibit permusuhan pada siapapun. Semua yang pernah terjadi di Jakarta tak perlu ia ulang di sini. Sikap inilah yang membuat Wina sampai pada selesainya ujian dekat bisa tampil menyenangkan di tengah teman-temannya.
Wina telah berhasil dengan baik. Ia sukses dalam bergaul. Ia sukses dalam melebur dosa. Ia sukses dalam studi dan ia sukses dalam melahirkan dirinya sebagai remaja desa yang lugu, polos dan tekun.
Para guru dan temannya semakin akrab dengannya dan semakin kagum kepadanya. Sampai pada saat teman-temannya merencanakan mengadakan rekreasi dalam rangka perpisahan, mereka dibuat terkejut dengan pendapat Wina.
“Kalau teman-teman dan para guru tidak keberatan, rekreasi ini sebaiknya ke Jakarta. Jakarta selain ibukota, tempat-tempat bersejarahnya cukup banyak selain itu fasilitas rekreasinya sangat beragam. Saya tahu, ini biayanya cukup banyak dan hampir mustahil bagi kita. Tapi, maaf, mudah-mudahan teman-teman tidak tersinggung, saya punya simpanan uang di bank yang insya Allah cukup untuk biaya transportasi dan akomodasinya. Uang ini sebetulnya sebagian adalah uang teman-teman sendiri. Kalian tentunya masih ingat dengan pemilihan Guk dan Yuk? Saya saat itu tak akan keluar sebagai pemenang seandainya kalian tidak mendorongku untuk ikut dan membantu menyediakan fasilitasnya. Hadiah tabanas dari sponsor adalah hak teman-teman, karena saya tampil mewakili teman-teman...” Wina mengakhiri pendapatnya dan suasana rapat menjadi berdengung. Tapi pada akhirnya mereka tak mampu menolak tawaran Wina.
Wina ingin mereka tahu Jakarta, tahu ibukota negaranya. Di samping itu biar mereka tahu kehidupan mewah, tahu cara hidup remaja Jakarta kendati sepintas. Sepulangnya nanti ia akan cerita detail tentang Jakarta dan juga dirinya yang pernah dihempaskan sampai menggelepar-gelepar. Pada pokoknya ia ingin menyampaikan bahwa kehidupan desa yang ramah dan penuh kegotong-royongan jauh lebih baik dari kehidupan kota yang egois, keras dan brutal.
Subuh pagi sebuah bis meluncur memasuki Jakarta. Wina memandu sopir bus itu ke arah Kebayoran Baru. Lalu di depan sebuah rumah yang mirip istana di situ ia suruh bis berhenti.
“Nah, kita turun dulu. Mandi-mandi, sholat, sarapan lalu berangkat menuju obyek pertama...” ajak Wina.
“Wina, ini losmennya...?” Bu Titik mengira rumah yang mirip istana itu losmen, sebab Wina yang ditunjuk sebagai ketua panitia seminggu sebelumnya memberi informasi ia telah memboking sebuah losmen.
“Iya, Bu, di sini enak kita bisa gratis...”
“Kok nggak ada tulisannya ?”
“Maaf, Bu, ini rumah Wina...”
Bu Titik kaget, begitu juga Ana yang kebetulan berada di samping Wina.
Sementara itu, dua orang laki perempuan setengah baya dan dua anak laki-laki belasan tahun menyambut mereka. Wina menghambur pada laki dan perempuan yang ternyata ayah dan ibu Wina. Mereka bertiga bertangisan. Sudah hampir dua tahun berpisah dengan anak kesayangannya itu, karena Wina melarang menjenguknya. Pada saat yang sama guru dan teman-teman Wina bingung bercampur haru dan sebagian lagi heran tak percaya kalau Wina yang begitu sederhana itu anaknya orang kaya yang menurut mereka bukan alang-kepalang.
“Ayo, Ana, ajak semuanya masuk dan tak usah sungkan-sungkan...” seru Wina setelah cukup melepas rindunya pada kedua orang tuanya.
Semakin masuk dan semakin mengenal sudut-sudut rumah Wina mereka semakin heran. Apalagi saat mereka ke belakang sebuah taman indah yang cukup luas dan di tengahnya kolam renang yang artistik mereka saksikan. Di sudut tenggara mereka juga menyaksikan beragam anggrek koleksi ibu Wina.
Wina mendekati teman-temannya dengan membawa setumpuk pakaian renang. “Ayo, yang mau berenang pakai ini dan ganti di sana...” kata Wina sambil menaruh pakaian renang itu di bangku fiberglass.
“Wina, kau telah menyusahkan orang tuamu dengan membeli pakaian renang sebanyak ini...” kata Wati sambil memilih-milih pakaian renang itu.
“Ah, tidah, itu milikku sendiri yang dulu kutinggal...”
Seluruh teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala. Masak satu orang saja pakaian renangnya sampai setumpuk. Begitu pikir mereka.
Wina meninggalkan mereka dan mendekati Gatot yang saat itu menyendiri dekat dengan sangkar burung beo. Gatot tampak menyembunyikan rasa malu.
“Gatot, kau nggak mandi...?” tanya Wina mengagetkan Gatot.
“Wina, aku malu denganmu dan teman-teman...”
“Memangnya kenapa...?”
“Aku pernah menyakitimu dan ternyata salah alamat...”
“Ah, kau, lupakan saja...”
“Wina, kau sungguh permata yang langka...”
di ruang tamu, ibu Wina matanya terus berkaca-kaca. Haru dan bahagia mendengar kesederhanaan dan kesuksesan Wina di desa.

Syawal, 1414-Maret 1994