Senin, 20 Agustus 2007

sepucuk surat


Malik adikku,
Malam ini begitu sepi kala hasratku menulis surat padamu kusalurkan. Ayah dan ibu telah tidur dalam kenyenyakan orang yang payah. Benakku terpengaruh oleh peristiwa tadi pagi yang menyangkut masalah belajarmu.
Tadi pagi sehabis sarapan, ayah meminta pertimbanganku. Ayah merencanakan menjual tanah sepetak yang ada di sebelah kiri rumah. Katanya untuk biaya sekolahmu. Beberapa saat aku membisu, kupandangi ayah dan ibu bergantian. Di wajah mereka yang keriput tampak rasa sesal dan ketulusan yang dalam. Sejenak aku ingat pemberitahuan Pak Lurah tiga bulan yang lalu, bahwa dua tahun lagi jalan di depan rumah kita akan dibangun, dan kalau hal itu terjadi berarti harga tanah di sekitarnya akan naik berlipat kali. Ah, aku jadi bingung dan tetap membisu, sampai ayah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu?” sekali lagi kupandangi mereka bergantian, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering, air mataku menetes, “Aku setuju, ayah...” begitu jawabku lirih yang mungkin mereka tak mendengarnya.
Adikku, aku ingat mendiang kakek kita. Kakek pernah berpesan, “Jangan dijual tanah ini apabila tidak terpaksa dan untuk keperluan yang penting.” Tiba-tiba tangisku meledak sampai ibu ikut-ikutan menangis dan ayah cuma terbengong. Aku menyesali diriku, sejauh ini aku belum bisa membantu mereka. Sebagaimana kau ketahui aku cuma guru TK, yang statusnya tujuh puluh lima persen pengabdian.
Setelah tangisku mereda ayah memberikan suratmu kepadaku. Lalu kubaca suratmu dengan tenggorokan yang kering itu, tiba-tiba bibirku bergetar dan hatiku juga. Tidak adikku! Fisikmu terlalu lemah untuk menarik becak. Memang di mata kami tidak ada pekerjaan yang hina asal halal dan kami sangat menghargai tekadmu, tapi sekali lagi fisikmu terlalu lemah. Kami sudah berterima kasih atas usahamu memberi privat yang HR-nya kau buat bayar kost itu.
Adikku, biarlah kita ikhlaskan saja tanah itu. Apa nilai harta bila dibanding dengan ilmu, dan lagi kurasa hal itu tidak menyalahi wasiat kakek. Kau harus sukses, adikku. Kau harapan satu-satunya ayah dan ibu setelah aku gagal.
Untuk sementara kau harus bersabar. Memang dipanggil ke kantor setiap hari dengan masalah yang itu-itu juga, yakni penagihan uang sekolah yang membosankan dan kadang menjengkelkan. Apalagi kalau sampai tidak boleh mengikuti pelajaran. Kau harus maklum, rupanya pada saat ini itulah cara-cara yang baik untuk menekan murid dan wali murid agar hati-hati terhadap uang sekolah. Dan lagi kadar kebijaksanaan para guru itu berlainan, apalagi sekarang banyak anak-anak yang menyelewengkan kepercayaan orang tua, uang sekolah dihabiskan untuk keperluan lain. Mengkin juga kau dikategorikan anak-anak yang semacam itu. Memang begitulah hukum alam, kerusakan moral selamanya tidak hanya berakibat pada pelakunya.
Aku percaya kau tidak akan mengecewakan harapan orang tua kita. Kau mesti tidak sampai hati menyeleweng apabila melihat ayah yang setua itu dengan tulang-tulang yang rapuh masih saja mencangkul di sawah dan malamnya tak pernah tidur, bermunajat pada Allah, demi kau dan aku. Demi menginginkan anaknya pandai, manfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Tapi perlu juga kuingatkan dalam kesempatan ini, agar kau lebih hati-hati hidup di kota. Di kota manusia gampang tergelincir. Tidak jarang pemuda yang mulanya bertujuan mencari ilmu akhirnya jadi copet, yang semula baik-baik akhirnya jadi berandal. Mudah-mudahan Tuhan selalu meridhoi dan membimbingmu.
Adikku, sesekali jangan kau sesalkan kemiskinan ini. Kemiskinan yang selalu menimpa kita untuk jadi orang yang kuat. Kemiskinan yang selalu memaksa kita untuk berkreasi ganda dalam menyambung kehidupan ini dan kemungkinan kemiskinan yang mempunyai beribu hikmah di baliknya. Kendati kita sering dipaksa untuk menahan lapar, haus dan malu olehnya. Anggap saja ini adalah konsekuensi logis orang yang ingin menggapai cita-citanya.
Adikku, ada baiknya kau perbanyak dialog dengan Tuhan di waktu malam. Adukan halmu kepada-Nya. Dia Maha Tahu dan Maha Penolong. Semoga kau diberi ketenangan jiwa, kebersihan hati dan kejernihan otak.
Terakhir maafkan kakakmu. Selamat belajar dan berprestasi. Percayalah pada kemampuanmu.

Kakakmu
Widi Astuti

Bu Titik melipat surat itu setelah menghapus air matanya. Hari ini rupanya hanya ada satu surat yang kena sensor, yaitu surat cinta untuk anak kelas I A IPA.
Bu Titik meminum tehnya, memasukkan surat itu, lalu berdiri, mendekat kepada para guru yang sedang istirahat.
“Pak Amri, keputusan rapat tadi perlu kita tinjau kembali,” kata bu Titik membuat para guru mengalihkan perhatian kepadanya.
“Ada apa, bu?” jawab pak Amri bernada tanya.
“Kalau bapak-bapak dan ibu-ibu tak keberatan, setelah bel pulang nanti kita berkumpul lagi di sini. Ada masalah yang perlu kita bahas. Bagaimana?”
“Baik bu...” jawab pak Amri setelah dapat anggukan dari guru-guru lainnya.
“Terima kasih…” bu Titik tersenyum dan kembali ke kantornya.
*
Bel pulang berbunyi. Sekolah menengah atas ini bonafit kendati swasta, hampir seperempat jam murid-murid yang pulang itu masih mengalir saja.
Bu Titik memasuki ruang istirahat guru. Rupanya guru-guru lainnya sudah menunggu. Kemudian bu Titik menempati kursi yang kosong dengan tenang. Tampak Bu Titik memang wibawa sebagai kepala sekolah, guru-guru lainnya pada diam menunggu apa yang mau disampaikan oleh kepala sekolah itu.
“Begini bapak-bapak dan ibu-ibu, saya mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu kembali meninjau keputusan rapat tadi pagi. Di mana setelah melalui berbagai pertimbangan pada rapat kemarin dan pagi tadi kita telah memutuskan bersama, bahwa bintang pelajar untuk tahun ini kita berikan kepada anak didik kita, Eddy, dikarenakan Malik yang semestinya berhak menerima tidak disiplin dalam pembayaran uang sekolah. Ternyata baru saja ada perkembangan. Tadi sewaktu saya menyensor surat ada sebuah surat yang perlu kita jadikan pertimbangan,” bu Titik berhenti dan mengambil surat yang dimakud dari dalam tasnya, lalu diberikan pada pak Gatot, “Tolong, bapak baca dengan keras.”
Pak Gatot membuka surat itu dan kemudian membacanya dengan suaranya yang mantap. Guru-guru lainnya memperhatikan dengan seksama. Bu Sudarwati kelihatan berkaca-kaca matanya lalu satu dua air bening menetes di pipinya. Ia begitu haru mendengar surat itu, ingat tindakannya hari Senin yang lalu, yaitu tidak memperkenankan Malik mengikuti pelajaran karena uang sekolah yang nunggak tiga bulan itu.
Pak Gatot selesai membaca surat itu, suasana hening beberapa saat.
“Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu, keputusan tadi pagi yang belum kita umumkan itu menurut pandangan bapak-bapak dan ibu-ibu apakah bisa diubah, karena perubahan dengan pertimbangan surat tersebut tidak melanggar kriteria pemilihan bintang pelajar yang sekaligus menerima beasiswa dari sekolah, atau kita tetap pada putusan tadi pagi?” begitu bu Titik menawarkan pada sidang guru.
“Saya rasa bisa diubah, dan kalau perlu sekaligus Malik kita angkat sebagai pelajar teladan...” kata pak Heru memberikan pendapatnya.
“Begitulah, bu, saya rasa semua sependapat...” tambah bu Hermin.
“Bagaimana, apakah begitu?” bu Titik kembali bertanya. Akhirnya semua meng-iya-kan. Dan bubarlah pertemuan kilat itu.
*
Hari ini tanggal 17, sebagaimana biasa sekolah mengadakan upacara bendera. Semua murid telah berbaris rapi dalam kelompok kelasnya masing-masing. Malik yang ada di kelompok kelas II IPA 3 berada di belakang. Ia kelihatan tak bersemangat mengikuti upacara pagi ini. Konsentrasinya tidak pada upacara, tapi pada uang sekolahnya yang dobel tiga bulan. Ia membayangkan setelah selesai upacara nanti dirinya dipanggil kepala sekolah, karena ia berjanji akan melunasi uang sekolahnya pada hari ini dan dirinya sudah kehabisan alasan. Wiwik, teman akrabnya memperhatikan dirinya dari tadi. Ia betul-betul kasihan. Ah, Malik, andai saja yang kau pikirkan cuma pelajaran niscaya kau akan menjadi komputer hidup. Begitu desis Wiwik dalam hati.
“He Lik, sikapmu!” tegur Wiwik melihat Malik salah sikap, mestinya sikap istirahat, tapi Malik tetap tegap.
“Ah, aku pusing, Wik,” jawab Malik sambil membetulkan sikapnya.
“Uang sekolah yang kau pikir?”
“Janjiku hari ini...”
“Tidak usah pusing, pakai saja uangku...”
“Heh, kalian jangan bicara melulu, dengarkan itu amanat kepala sekolah!” tegur Yanto yang merasa terganggu konsentrasinya.
Malik dan Wiwik diam mendengarkan amanat kepala sekolah. Mereka ikut mereka-reka, karena ada pemberitahuan sebelumnya, bahwa dalam upacara ini akan diumumkan bintang pelajar untuk tahun ini. Suasana jadi hening ketika tiba waktunya kepala sekolah mengumumkannya.
“...................... selanjutnya setelah melalui pengamatan dalam setahun ini dan pertimbangan-pertimbangan para guru dalam tiga kali rapatnya, dewan guru memutuskan siswa yang memenuhi kiteria sebagai bintang pelajar untuk tahun ini adalah siswa yang bernama Malik dari kelas II IPA 3. kepadanya sekaligus dinobatkan sebagai pelajar teladan, dan berhak menerima beasiswa dari sekolah...” sampai di sini yang didengar Malik, ia hampir-hampir tak bisa menguasai kegirangannya.
“Lik, selamat!” ucap Wiwik sambil menjabat tangan Malik dan lalu diikuti oleh teman-teman lainnya yang sekelas, hingga barisan kelas II IPA 3 jadi semrawut. Tapi segera baik kembali setelah bu Titik memberi peringatan.
Begitu upacara selesai Malik dipanggil kepala sekolah ke kantor. Ia penuhi panggilan itu dengan langkah lain dari biasanya.
Di otaknya tidak ada rancangan alasan untuk menunda pembayaran uang sekolah sebagaimana biasanya. Ia mengangguk sopan pada bu Titik yang dibalas oleh bu Titik dengan senyum dan anggukan kepala serta isyarat tangannya mempersilakan Malik duduk. Malik menurut.
“Begini Lik, ibu mohon maaf kepadamu. Selama ini ibu telah salah sangka. Dari cara berpakaianmu ibu tak menyangka kau anak orang miskin. Aku kira uang sekolahmu telah kau habiskan sebagaimana yang sering terjadi pada teman-temanmu yang lain,” bu Titik berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Surat dari kakakmu telah ibu baca dan ibu telah memaklumi keadaanmu...” bu Titik membuka laci meja lalu memberikan sepucuk surat pada Malik. Malik menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu, apakah lantaran surat ini saya jadi bintang pelajar?” tanya Malik dengan suara bergetar.
“Pertimbangan terakhir memang dari surat itu...” jawab bu Titik.
“Ibu, terus terang surat ini saya sendiri yang membuat.”
“Hah?”
“Iya bu, saya yang membuat dan saya pula yang memasukkan ke kotak pos...” pertegas Malik seraya menunjuk stempel pos yang sama kotanya dengan sekolahnya.
“Lantas apa maksudmu?” tanya bu Titik yang mulai berubah ekspresi.
“Yang jelas saya tidak mempunyai maksud menipu. Dan pertimbangan ibu sama sekali tidak salah. Keadaan saya jauh lebih melarat dari gambaran di surat ini. Saya tidak mempunyai ayah dan ibu sedari kecil, bahkan tidak juga saudara, apalagi rumah dan tanah,” Malik berhenti, suaranya mulai parau dan titik-titik being terlihat menetes dari kedua matanya, lalu lanjutnya, “Selama hidup saya tidak pernah menerima sepucuk surat dari satupun orang tua dan saudara. Saya jadi iri kalau ada teman terima surat dari keluarganya. Saya jadi merindukan datangnya surat.” Ia menghapus air matanya. “Ingin saya mendengarkan atau menerima surat yang isinya memberi nasihat kepada saya, memberi dorongan agar saya lebih semangat belajar dan tidak putus asa menghadapi kehidupan yang sebatang kara ini. Suatu malam kerinduan saya pada datangnya surat sudah tak tertahankan, lalu saya putuskan untuk membuat sendiri. Ah, ibu, apakah perlu cerita ini saya teruskan?”
“Perlu dan saya akan mendengarnya dengan baik,” jawab bu Titik yang juga menitikkan air mata.
“Saya tak tahu, bu, kenapa saya menulis surat tentang kemiskinan. Tapi saat itu saya memang sedih, karena paginya saya tidak diperkenankan mengikuti pelajaran. Saya tulis surat itu dengan hati mendidih berontak dan saya iringi dengan air mata...”
“Kenapa kau tidak menceritakan keadaanmu yang sebenarnya?”
“Saya pikir tidak akan ada yang percaya.”
“Maaf Malik, sebenarnya bapak ibumu di mana?”
“Menurut cerita orang mereka menjadi korban gunung meletus, cuma saya yang selamat.”
Keduanya membayangkan letusa gunung yang hebat dengan imajinasi masing-masing. Malik membayangkan kedua orang tuanyan berlari-lari sambil melolong-lolong memanggil dirinya di tengah hujan batu, tiba-tiba ada batu besar yang menggelinding ke arah mereka dan tanpa sadar Malik berteriak keras, “Ibuu!!!” bu Titik tersentak oleh teriakan Malik. Di hadapannya Malik tengkurap di meja tak sadarkan diri. Ketika guru-guru lain datang mereka hanya menyaksikan bu Titik yang menangis sambil menggoncang-goncangkan tubuh Malik.

Sidoarjo, 5 Mei 1983