Senin, 20 Agustus 2007

wina


Wina mencoba pakaian barunya. Lucu. Bagaimana tidak? Ia sudah terbiasa bercelana jeans dan pakai T Shirt atau pakaian lainnya yang lagi in di kota-kota besar, kini ia harus berpakaian ala gadis desa. Ia berputar-putar di depan cermin, tapi yang tampak hanya sebatas dada ke atas. Cermin yang dipakai Wina memang kecil. Itupun satu-satunya cermin yang ada di rumah bibi Aminah.
Ia sudah bertekad untuk menghilangkan segala ciri kehidupan remaja Jakarta. Ia ingin tampak sederhana dan bisa menyatu dengan alam barunya. Dalam usianya yang muda, Jakarta telah mencampakkan dirinya. Jakarta telah mengenalkan dirinya dengan minuman keras, morpin, dan yang paling menghancurkan dirinya adalah pergaulan bebas muda mudinya. Meski ini sebagian kecil kehidupan remaja Jakarta, tapi nyatanya ia masuk ke bagian kecil tersebut. Pada puncak frustasinya ia hampir saja bunuh diri. Tapi di saat yang kritis itu hidayah Tuhan datang. Ia ingat bibinya yang ada di pelosok desa di wilayah Jawa Timur. Suatu desa yang menawarkan kehidupan yang jauh dari bising dan kebrengsekan kota. Ia ingin memperbarui kehidupan di desa yang tentram ini.
Bulan depan Wina akan sekolah di sekolah barunya yang kondisinya jauh memenuhi syarat. Sebuah SMA swasta yang menempati gedung SD Inpres. Jarak rumah bibi Wina dengan sekolah ini sekitar 10 km.
Wina sekali lagi berputar di depan cermin, kemudian merasa mempunyai kemampuan untuk dengan cepat bisa adaptasi sebagai gadis desa yang lugu. Selama setengah bulan di rumah bibi Aminah ini ia sudah meninggalkan sama sekali make up yang biasa ia pakai ketika di Jakarta. Cuma satu yang belum bisa adaptasi, yaitu potongan rambutnya yang punk rock. Yang satu ini perlu menunggu proses dan ia akan membiarkan tumbuh panjang.
Saat masuk sekolah tiba ia betul-betul sudah siap. Mulai dari baju, sepatu, tas dan buku-buku tampak sederhana. Tapi wajahnya yang memang cantik alami tidak bisa ia sembunyikan. Dan satu hal lagi yang ia tidak bisa menyembunyikannya, logat Jakartanya yang medok.
Pengalaman pertama yang ia peroleh ketika berangkat sekolah naik kendaraan pedesaan. Ia hampir saja terlambat masuk, karena menunggu mobil pedesaan hampir satu jam. Dan ketika masuk di kelas IIA yang muridnya cuma 35 orang ia menangkap bahwa semua mata tertuju kepadanya, dan ada desah nafas yang ditekan. Ia sendiri berusaha menyapa mereka dengan senyum manis.
“Mulai saat ini di kelas kalian ada teman baru. Untuk lebih jelasnya biarlah yang bersangkutan memperkenalkan diri langsung...” begitu pak Sugito yang mengantar Wina dengan bijaksana mempersilakan Wina untuk memperkenalkan diri lebih lanjut. Wina tampak ragu, namun akhirnya ia melangkah ke depan. Ia menunduk beberapa saat.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” ia membuka dengan salam.
“Wa’alaikumsalam...” jawab siswa yang berjumlah 35 itu dengan kompak.
“Bapak guru yang terhormat dan teman-teman yang baik, nama saya Wina umur 18 tahun dan baru sebulan tinggal di kota tercinta ini. Tepatnya di kecamatan Tarik yang jaraknya mungkin kalian lebih tahu daripada saya. Oh, ya... saya pindahan dari sekolah yang jaraknya juga cukup jauh dari sini...” Wina jedah memikir-mikir kalimat berikutnya, tapi ia mendengar dari belakang ada suara menyela, “ Dari Jakarta, ya... ?” dari pertanyaan ini Wina sadar, kendati ia sudah berusaha menutupi ciri-ciri Jakartanya dalam perkenalannya, tapi toh ia belum mampu mengubah logat bicaranya.
“Ya, betul, saya dari Jakarta, tapi bukan kotanya melainkan pinggiran yang suasananya tak jauh beda dengan kota kecamatan ini...” ia terpaksa berbohong biar tak jadi perhatian. “Saya berharap agar saya di sini bisa cepat menyesuaikan diri, untuk ini bantuan dari teman-teman sangat saya harapkan. Saya rasa cukup dan terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh...”
Wina kembali duduk. Satu kesan yang sebelumnya ia duga telah ia peroleh, yaitu teman baru yang lugu dan menyenangkan. Mereka tampak sederhana dan tak banyak tingkah. Kesan ini menjadi kenyataan waktu istirahat tiba, mereka pada rame-rame menjabat tangan Wina dan memperkenalkan diri. Fatimah yang sebangku dengannya bahkan kelewat baik memperkenalkan diri.
Proses akrab Wina dengan teman-teman barunya berjalan lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dalam tempo dua minggu tidak hanya siswa di kelasnya saja yang ia kenal, bahkan hampir seluruh penghuni SMA itu. Wina sebetulnya tak menghendaki demikian, sebab hal ini bisa jadi bumerang kalau sampai menimbulkan iri bagi siswa putri lainnya.
Di rumah Wina telah menjadi kembang desa. Tapi ia masih mengurung diri. Ia belum berani bergaul dengan sesama teman remaja desa sebelum logat Jakartanya hilang, namun hal ini berjalan tidak begitu lama, karena ternyata hanya dalam waktu dua bulan ia telah mampu membuang logat Jakartanya. Ia ikut nimbrung di karang taruna dengan penampilan yang klop, tak beda dengan remaja putri lainnya.
Genap setengah tahun sosok Wina telah utuh menjadi remaja teladan, baik di sekolah maupun di desa. Berkat ketekunannya belajar, Wina telah mampu berprestasi di sekolah, dan di karang taruna pun ia tidak sedikit menyumbangkan idenya yang ia lewatkan Atik, tetangganya.
Sementara ibu dan bapaknya terus bersyukur mengikuti perkembangan Wina yang pesat dan positif, meski hanya lewat surat yang dikirimi rutin oleh bibi Aminah. Sebetulnya ayah dan ibu Wina ingin sekali menjenguk Wina, namun Wina tak memperbolehkan. Entah apa alasannya. Akibatnya sebagai curahan rindu dan rasa tanggung jawab kiriman uang untuk pembelian fasilitas belajar dan keperluan lainnya terus mengalir dalam jumlah berlebihan untuk kehidupan yang sangat sederhana. Tapi Wina tak menggunakan uangnya untuk keperluan tersebut. Ia cukup puas dengan apa yang ada di rumah bibi Aminah yang serba sederhana. Uang yang berlebih itu ia simpan di SIMPEDES.
Problem Wina baru timbul saat ia baru naik ke kelas tiga. Saat itu menjelang hari jadi kotanya. Semua temannya, bahkan guru-gurunya mendesak agar Wina mau mengikuti pemilihan GUK dan YUK (semacam Abang dan None Jakarta), Wina keberatan, karena bagainmanapun sederhanya pelaksanaan pemilihan itu masih tetap tampak glamour dan Wina sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjauhi segala yang berbau glamour. Sebetulnya mereka tidak berlebihan, karena Wina memang ayu, feminin, supel dan cerdas. Wina sendiri kendati belum punya nama di Jakarta dulu pernah mencoba untuk jadi peragawati dan pernah mengikuti pemilihan abang dan none. Dari sini paling tidak ia sudah mengantongi pengalaman berlenggak-lenggok di atas catwalk.
“Wina, bapak harap Wina mau jadi duta sekolah untuk pemilihan Guk dan Yuk tersebut, Wina cukup punya modal, mengenai cara tampil yang baik bu Titik nanti bisa membimbingmu...” begitu desak kepala sekolah. Wina jadi sulit untuk menjawab. Akhirnya ia tidak memberi keputusan yang pasti, ia bilang perlu minta ijin bibinya dulu.
Satu hal lagi keberatan Wina, ia khawatir luka lamanya akan terungkit, sebab ketika ia mencoba mengikuti pemilihan abang dan none Jakarta, saat itulah awal bencana yang menimpa dirinya. Waktu ia baru memenangkan seleksi tingkat daerah, begitu pengumuman pemenang selesai dan ia sibuk-sibuknya menerima ucapan selamat dari teman-temannya seorang pemuda yang tak ia kenal juga mengucapkan selamat kepadanya dan menggenggam lama tangannya. Pemuda itulah yang seterusnya memperkenalkannya dengan dunia yang sebelumnya tidak ia kenal dan kemudian saat Wina berada di puncak cintanya ditinggal begitu saja. Kini Wina tak ingin peristiwa itu terungkit lagi.
“Wina, kau mutiara, kau bidadari, kau ratu yang tak bermahkota di sekolah kita. Sekolah kita yang tak masuk hitungan dan tak pernah diperhitungkan ini sekali-kali biar diacuhkan orang lain. Dan kami yakin kau mampu berbuat untuk itu...” Ana yang waktu kelas dua kemarin menjadi Wakil Ketua OSIS ikut memberi dorongan ketika mereka pulang sekolah bersama.
“Ana, aku tak senang dengan keglamouran dan penonjolan diri...”
“Aku mengerti Wina, tapi sekali ini bantulah kami...”
“Okelah aku berjanji, kalau ada cerdas cermat atau adu otak lainnya aku siap mencoba. Tapi untuk yang ini tolong dimaafkan dulu...”
Ana sedikit kecewa tak bisa membujuk Wina, tapi ia diam-diam tambah kagum dengan pribadi Wina. Wina betul-betul mutiara di matanya.
Akhirnya sampai pada batas waktu pendaftaran Wina tak mampu menolak desakan teman-temannya dan guru-gurunya.
“Baiklah, mudah-mudahan saya tidak mengecewakan. Tapi dari mana saya dapat memperoleh pakaiannya?” semua teman-temannya melonjak girang mendengar kesediaan Wina, dan sekaligus berebut menyatakan kesdiaannya untuk mencarikan pakaian.
Menyadari harapan teman-temannya begitu besar Wina jadi serius. Bu Titik yang melatihnya berlenggak-lenggok dibuatnya kagum. “Wina, kau tenyata punya bakat dan kemampuan yang kuat untuk jadi peragawati...” mendengar kekaguman bu Titik ini Wina hanya tersenyum.
Begitu hari H pemilihan Guk dan Yuk tiba, Wina telah siap betul. Sebelumnya tes kecerdasan dan lain sebagainya telah ia lampaui dengan mulus. Hampir seluruh siswa sekolahnya ikut menyaksikan pemilihan itu. Wina ternyata dapat giliran tampil pada urutan yang ke-24. dan, saat Wina tampil seluruh penonton yang memadati Gedung Wanita itu tercekam diam. Mereka pada berdecak kagum. Kharisma kecantikan Wina mampu meredam semua suara. Keadaan sepi dan mencekam itu kemudian meledak menjadi gemuruh oleh suara tepuk tangan begitu Wina mengakhiri penampilannya.
Seperti yang telah diduga oleh penonton, akhirnya Wina oleh dewan juri dinobatkan sebagai pemenang pertama dan sekaligus menyandang juara favorit. Bagi yang memperhatikan akan tahu keganjilan pada diri Wina, ia tidak seperti pemenang-pemenang berikutnya. Mereka menangis haru dan tak kuasa menahan suka cita. Sedang Wina tenang-tenang saja, sepertinya kemenangan itu tak layak disambut dengan kegembiraan. Malah yang menagis Ana dan bu Titik. Kalau saja teman-temannya tidak berebut menyampaikan selamat jelas ia tak ada reaksi apa-apa.
“Wina, kau tak bahagia dengan kemenanganmu?” tanya bu Titik setelah menyadari sikap Wina.
“Saya sangat bahagia, karena bisa memenuhi harapan teman-teman dan ibu...”
“Wina, tapi kau tampak hambar...”
“Saya takut populer, Bu...”
“Kau ini aneh, sementara orang lain ingin populer dan kadang untuk mengejarnya tak segan-segan menempuh jalan yang tercela, kau sendiri malah tidak mau...”
Ah, Wina memang sejak malam itu jadi populer dan temannya bertambah banyak. Pemuda yang ingin mendekatinya juga tidak sedikit. Ia terima semua teman barunya dengan batasan pagar yang dibuatnya sendiri. Dan, secepatnya memberi tanda apabila ada yang menginginkan lebih dari persahabatan.
Salah satu di antara mereka adalah Gatot, cowok sekelasnya yang paling nekat. Ia sering mentang-mentang dan pamer kekayaannya. Pada yang satu ini Wina sudah menolak mentah-mentah, tapi ia bandel. Mulai dari motor Honda sampai mobil Hijet yang dimiliki ayahnya pernah dimanfaatkan untuk merayu Wina. Tapi meski demikian Wina hanya sekali mau dibonceng, itupun dengan pertimbangan tidak mau menyakiti hati teman.
“Wina, ayolah sekali-kali biar tidak terus-terusan naik taxi!” begitu tawaran Gatot saat membawa mobil yang sebetulnya bagi orang lain cukup menyakitkan.
“He, naik taxi banyak seninya, lho...” jawab Wina asal-asalan.
“Seni apa, bau kencing...?”
“He, Tot, kau jangan menghina orang yang nggak punya mobil...”
“Makanya kau sama aku biar tidak tersinggung...”
Sungguh kendati Wina tersinggung dengan omongan Gatot ini dan sangat muak. Tapi semua itu hanya ia endapkan saja. Ia tak ingin menyakiti hati orang lain atau menanam bibit permusuhan pada siapapun. Semua yang pernah terjadi di Jakarta tak perlu ia ulang di sini. Sikap inilah yang membuat Wina sampai pada selesainya ujian dekat bisa tampil menyenangkan di tengah teman-temannya.
Wina telah berhasil dengan baik. Ia sukses dalam bergaul. Ia sukses dalam melebur dosa. Ia sukses dalam studi dan ia sukses dalam melahirkan dirinya sebagai remaja desa yang lugu, polos dan tekun.
Para guru dan temannya semakin akrab dengannya dan semakin kagum kepadanya. Sampai pada saat teman-temannya merencanakan mengadakan rekreasi dalam rangka perpisahan, mereka dibuat terkejut dengan pendapat Wina.
“Kalau teman-teman dan para guru tidak keberatan, rekreasi ini sebaiknya ke Jakarta. Jakarta selain ibukota, tempat-tempat bersejarahnya cukup banyak selain itu fasilitas rekreasinya sangat beragam. Saya tahu, ini biayanya cukup banyak dan hampir mustahil bagi kita. Tapi, maaf, mudah-mudahan teman-teman tidak tersinggung, saya punya simpanan uang di bank yang insya Allah cukup untuk biaya transportasi dan akomodasinya. Uang ini sebetulnya sebagian adalah uang teman-teman sendiri. Kalian tentunya masih ingat dengan pemilihan Guk dan Yuk? Saya saat itu tak akan keluar sebagai pemenang seandainya kalian tidak mendorongku untuk ikut dan membantu menyediakan fasilitasnya. Hadiah tabanas dari sponsor adalah hak teman-teman, karena saya tampil mewakili teman-teman...” Wina mengakhiri pendapatnya dan suasana rapat menjadi berdengung. Tapi pada akhirnya mereka tak mampu menolak tawaran Wina.
Wina ingin mereka tahu Jakarta, tahu ibukota negaranya. Di samping itu biar mereka tahu kehidupan mewah, tahu cara hidup remaja Jakarta kendati sepintas. Sepulangnya nanti ia akan cerita detail tentang Jakarta dan juga dirinya yang pernah dihempaskan sampai menggelepar-gelepar. Pada pokoknya ia ingin menyampaikan bahwa kehidupan desa yang ramah dan penuh kegotong-royongan jauh lebih baik dari kehidupan kota yang egois, keras dan brutal.
Subuh pagi sebuah bis meluncur memasuki Jakarta. Wina memandu sopir bus itu ke arah Kebayoran Baru. Lalu di depan sebuah rumah yang mirip istana di situ ia suruh bis berhenti.
“Nah, kita turun dulu. Mandi-mandi, sholat, sarapan lalu berangkat menuju obyek pertama...” ajak Wina.
“Wina, ini losmennya...?” Bu Titik mengira rumah yang mirip istana itu losmen, sebab Wina yang ditunjuk sebagai ketua panitia seminggu sebelumnya memberi informasi ia telah memboking sebuah losmen.
“Iya, Bu, di sini enak kita bisa gratis...”
“Kok nggak ada tulisannya ?”
“Maaf, Bu, ini rumah Wina...”
Bu Titik kaget, begitu juga Ana yang kebetulan berada di samping Wina.
Sementara itu, dua orang laki perempuan setengah baya dan dua anak laki-laki belasan tahun menyambut mereka. Wina menghambur pada laki dan perempuan yang ternyata ayah dan ibu Wina. Mereka bertiga bertangisan. Sudah hampir dua tahun berpisah dengan anak kesayangannya itu, karena Wina melarang menjenguknya. Pada saat yang sama guru dan teman-teman Wina bingung bercampur haru dan sebagian lagi heran tak percaya kalau Wina yang begitu sederhana itu anaknya orang kaya yang menurut mereka bukan alang-kepalang.
“Ayo, Ana, ajak semuanya masuk dan tak usah sungkan-sungkan...” seru Wina setelah cukup melepas rindunya pada kedua orang tuanya.
Semakin masuk dan semakin mengenal sudut-sudut rumah Wina mereka semakin heran. Apalagi saat mereka ke belakang sebuah taman indah yang cukup luas dan di tengahnya kolam renang yang artistik mereka saksikan. Di sudut tenggara mereka juga menyaksikan beragam anggrek koleksi ibu Wina.
Wina mendekati teman-temannya dengan membawa setumpuk pakaian renang. “Ayo, yang mau berenang pakai ini dan ganti di sana...” kata Wina sambil menaruh pakaian renang itu di bangku fiberglass.
“Wina, kau telah menyusahkan orang tuamu dengan membeli pakaian renang sebanyak ini...” kata Wati sambil memilih-milih pakaian renang itu.
“Ah, tidah, itu milikku sendiri yang dulu kutinggal...”
Seluruh teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala. Masak satu orang saja pakaian renangnya sampai setumpuk. Begitu pikir mereka.
Wina meninggalkan mereka dan mendekati Gatot yang saat itu menyendiri dekat dengan sangkar burung beo. Gatot tampak menyembunyikan rasa malu.
“Gatot, kau nggak mandi...?” tanya Wina mengagetkan Gatot.
“Wina, aku malu denganmu dan teman-teman...”
“Memangnya kenapa...?”
“Aku pernah menyakitimu dan ternyata salah alamat...”
“Ah, kau, lupakan saja...”
“Wina, kau sungguh permata yang langka...”
di ruang tamu, ibu Wina matanya terus berkaca-kaca. Haru dan bahagia mendengar kesederhanaan dan kesuksesan Wina di desa.

Syawal, 1414-Maret 1994

sepucuk surat


Malik adikku,
Malam ini begitu sepi kala hasratku menulis surat padamu kusalurkan. Ayah dan ibu telah tidur dalam kenyenyakan orang yang payah. Benakku terpengaruh oleh peristiwa tadi pagi yang menyangkut masalah belajarmu.
Tadi pagi sehabis sarapan, ayah meminta pertimbanganku. Ayah merencanakan menjual tanah sepetak yang ada di sebelah kiri rumah. Katanya untuk biaya sekolahmu. Beberapa saat aku membisu, kupandangi ayah dan ibu bergantian. Di wajah mereka yang keriput tampak rasa sesal dan ketulusan yang dalam. Sejenak aku ingat pemberitahuan Pak Lurah tiga bulan yang lalu, bahwa dua tahun lagi jalan di depan rumah kita akan dibangun, dan kalau hal itu terjadi berarti harga tanah di sekitarnya akan naik berlipat kali. Ah, aku jadi bingung dan tetap membisu, sampai ayah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu?” sekali lagi kupandangi mereka bergantian, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering, air mataku menetes, “Aku setuju, ayah...” begitu jawabku lirih yang mungkin mereka tak mendengarnya.
Adikku, aku ingat mendiang kakek kita. Kakek pernah berpesan, “Jangan dijual tanah ini apabila tidak terpaksa dan untuk keperluan yang penting.” Tiba-tiba tangisku meledak sampai ibu ikut-ikutan menangis dan ayah cuma terbengong. Aku menyesali diriku, sejauh ini aku belum bisa membantu mereka. Sebagaimana kau ketahui aku cuma guru TK, yang statusnya tujuh puluh lima persen pengabdian.
Setelah tangisku mereda ayah memberikan suratmu kepadaku. Lalu kubaca suratmu dengan tenggorokan yang kering itu, tiba-tiba bibirku bergetar dan hatiku juga. Tidak adikku! Fisikmu terlalu lemah untuk menarik becak. Memang di mata kami tidak ada pekerjaan yang hina asal halal dan kami sangat menghargai tekadmu, tapi sekali lagi fisikmu terlalu lemah. Kami sudah berterima kasih atas usahamu memberi privat yang HR-nya kau buat bayar kost itu.
Adikku, biarlah kita ikhlaskan saja tanah itu. Apa nilai harta bila dibanding dengan ilmu, dan lagi kurasa hal itu tidak menyalahi wasiat kakek. Kau harus sukses, adikku. Kau harapan satu-satunya ayah dan ibu setelah aku gagal.
Untuk sementara kau harus bersabar. Memang dipanggil ke kantor setiap hari dengan masalah yang itu-itu juga, yakni penagihan uang sekolah yang membosankan dan kadang menjengkelkan. Apalagi kalau sampai tidak boleh mengikuti pelajaran. Kau harus maklum, rupanya pada saat ini itulah cara-cara yang baik untuk menekan murid dan wali murid agar hati-hati terhadap uang sekolah. Dan lagi kadar kebijaksanaan para guru itu berlainan, apalagi sekarang banyak anak-anak yang menyelewengkan kepercayaan orang tua, uang sekolah dihabiskan untuk keperluan lain. Mengkin juga kau dikategorikan anak-anak yang semacam itu. Memang begitulah hukum alam, kerusakan moral selamanya tidak hanya berakibat pada pelakunya.
Aku percaya kau tidak akan mengecewakan harapan orang tua kita. Kau mesti tidak sampai hati menyeleweng apabila melihat ayah yang setua itu dengan tulang-tulang yang rapuh masih saja mencangkul di sawah dan malamnya tak pernah tidur, bermunajat pada Allah, demi kau dan aku. Demi menginginkan anaknya pandai, manfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Tapi perlu juga kuingatkan dalam kesempatan ini, agar kau lebih hati-hati hidup di kota. Di kota manusia gampang tergelincir. Tidak jarang pemuda yang mulanya bertujuan mencari ilmu akhirnya jadi copet, yang semula baik-baik akhirnya jadi berandal. Mudah-mudahan Tuhan selalu meridhoi dan membimbingmu.
Adikku, sesekali jangan kau sesalkan kemiskinan ini. Kemiskinan yang selalu menimpa kita untuk jadi orang yang kuat. Kemiskinan yang selalu memaksa kita untuk berkreasi ganda dalam menyambung kehidupan ini dan kemungkinan kemiskinan yang mempunyai beribu hikmah di baliknya. Kendati kita sering dipaksa untuk menahan lapar, haus dan malu olehnya. Anggap saja ini adalah konsekuensi logis orang yang ingin menggapai cita-citanya.
Adikku, ada baiknya kau perbanyak dialog dengan Tuhan di waktu malam. Adukan halmu kepada-Nya. Dia Maha Tahu dan Maha Penolong. Semoga kau diberi ketenangan jiwa, kebersihan hati dan kejernihan otak.
Terakhir maafkan kakakmu. Selamat belajar dan berprestasi. Percayalah pada kemampuanmu.

Kakakmu
Widi Astuti

Bu Titik melipat surat itu setelah menghapus air matanya. Hari ini rupanya hanya ada satu surat yang kena sensor, yaitu surat cinta untuk anak kelas I A IPA.
Bu Titik meminum tehnya, memasukkan surat itu, lalu berdiri, mendekat kepada para guru yang sedang istirahat.
“Pak Amri, keputusan rapat tadi perlu kita tinjau kembali,” kata bu Titik membuat para guru mengalihkan perhatian kepadanya.
“Ada apa, bu?” jawab pak Amri bernada tanya.
“Kalau bapak-bapak dan ibu-ibu tak keberatan, setelah bel pulang nanti kita berkumpul lagi di sini. Ada masalah yang perlu kita bahas. Bagaimana?”
“Baik bu...” jawab pak Amri setelah dapat anggukan dari guru-guru lainnya.
“Terima kasih…” bu Titik tersenyum dan kembali ke kantornya.
*
Bel pulang berbunyi. Sekolah menengah atas ini bonafit kendati swasta, hampir seperempat jam murid-murid yang pulang itu masih mengalir saja.
Bu Titik memasuki ruang istirahat guru. Rupanya guru-guru lainnya sudah menunggu. Kemudian bu Titik menempati kursi yang kosong dengan tenang. Tampak Bu Titik memang wibawa sebagai kepala sekolah, guru-guru lainnya pada diam menunggu apa yang mau disampaikan oleh kepala sekolah itu.
“Begini bapak-bapak dan ibu-ibu, saya mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu kembali meninjau keputusan rapat tadi pagi. Di mana setelah melalui berbagai pertimbangan pada rapat kemarin dan pagi tadi kita telah memutuskan bersama, bahwa bintang pelajar untuk tahun ini kita berikan kepada anak didik kita, Eddy, dikarenakan Malik yang semestinya berhak menerima tidak disiplin dalam pembayaran uang sekolah. Ternyata baru saja ada perkembangan. Tadi sewaktu saya menyensor surat ada sebuah surat yang perlu kita jadikan pertimbangan,” bu Titik berhenti dan mengambil surat yang dimakud dari dalam tasnya, lalu diberikan pada pak Gatot, “Tolong, bapak baca dengan keras.”
Pak Gatot membuka surat itu dan kemudian membacanya dengan suaranya yang mantap. Guru-guru lainnya memperhatikan dengan seksama. Bu Sudarwati kelihatan berkaca-kaca matanya lalu satu dua air bening menetes di pipinya. Ia begitu haru mendengar surat itu, ingat tindakannya hari Senin yang lalu, yaitu tidak memperkenankan Malik mengikuti pelajaran karena uang sekolah yang nunggak tiga bulan itu.
Pak Gatot selesai membaca surat itu, suasana hening beberapa saat.
“Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu, keputusan tadi pagi yang belum kita umumkan itu menurut pandangan bapak-bapak dan ibu-ibu apakah bisa diubah, karena perubahan dengan pertimbangan surat tersebut tidak melanggar kriteria pemilihan bintang pelajar yang sekaligus menerima beasiswa dari sekolah, atau kita tetap pada putusan tadi pagi?” begitu bu Titik menawarkan pada sidang guru.
“Saya rasa bisa diubah, dan kalau perlu sekaligus Malik kita angkat sebagai pelajar teladan...” kata pak Heru memberikan pendapatnya.
“Begitulah, bu, saya rasa semua sependapat...” tambah bu Hermin.
“Bagaimana, apakah begitu?” bu Titik kembali bertanya. Akhirnya semua meng-iya-kan. Dan bubarlah pertemuan kilat itu.
*
Hari ini tanggal 17, sebagaimana biasa sekolah mengadakan upacara bendera. Semua murid telah berbaris rapi dalam kelompok kelasnya masing-masing. Malik yang ada di kelompok kelas II IPA 3 berada di belakang. Ia kelihatan tak bersemangat mengikuti upacara pagi ini. Konsentrasinya tidak pada upacara, tapi pada uang sekolahnya yang dobel tiga bulan. Ia membayangkan setelah selesai upacara nanti dirinya dipanggil kepala sekolah, karena ia berjanji akan melunasi uang sekolahnya pada hari ini dan dirinya sudah kehabisan alasan. Wiwik, teman akrabnya memperhatikan dirinya dari tadi. Ia betul-betul kasihan. Ah, Malik, andai saja yang kau pikirkan cuma pelajaran niscaya kau akan menjadi komputer hidup. Begitu desis Wiwik dalam hati.
“He Lik, sikapmu!” tegur Wiwik melihat Malik salah sikap, mestinya sikap istirahat, tapi Malik tetap tegap.
“Ah, aku pusing, Wik,” jawab Malik sambil membetulkan sikapnya.
“Uang sekolah yang kau pikir?”
“Janjiku hari ini...”
“Tidak usah pusing, pakai saja uangku...”
“Heh, kalian jangan bicara melulu, dengarkan itu amanat kepala sekolah!” tegur Yanto yang merasa terganggu konsentrasinya.
Malik dan Wiwik diam mendengarkan amanat kepala sekolah. Mereka ikut mereka-reka, karena ada pemberitahuan sebelumnya, bahwa dalam upacara ini akan diumumkan bintang pelajar untuk tahun ini. Suasana jadi hening ketika tiba waktunya kepala sekolah mengumumkannya.
“...................... selanjutnya setelah melalui pengamatan dalam setahun ini dan pertimbangan-pertimbangan para guru dalam tiga kali rapatnya, dewan guru memutuskan siswa yang memenuhi kiteria sebagai bintang pelajar untuk tahun ini adalah siswa yang bernama Malik dari kelas II IPA 3. kepadanya sekaligus dinobatkan sebagai pelajar teladan, dan berhak menerima beasiswa dari sekolah...” sampai di sini yang didengar Malik, ia hampir-hampir tak bisa menguasai kegirangannya.
“Lik, selamat!” ucap Wiwik sambil menjabat tangan Malik dan lalu diikuti oleh teman-teman lainnya yang sekelas, hingga barisan kelas II IPA 3 jadi semrawut. Tapi segera baik kembali setelah bu Titik memberi peringatan.
Begitu upacara selesai Malik dipanggil kepala sekolah ke kantor. Ia penuhi panggilan itu dengan langkah lain dari biasanya.
Di otaknya tidak ada rancangan alasan untuk menunda pembayaran uang sekolah sebagaimana biasanya. Ia mengangguk sopan pada bu Titik yang dibalas oleh bu Titik dengan senyum dan anggukan kepala serta isyarat tangannya mempersilakan Malik duduk. Malik menurut.
“Begini Lik, ibu mohon maaf kepadamu. Selama ini ibu telah salah sangka. Dari cara berpakaianmu ibu tak menyangka kau anak orang miskin. Aku kira uang sekolahmu telah kau habiskan sebagaimana yang sering terjadi pada teman-temanmu yang lain,” bu Titik berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Surat dari kakakmu telah ibu baca dan ibu telah memaklumi keadaanmu...” bu Titik membuka laci meja lalu memberikan sepucuk surat pada Malik. Malik menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu, apakah lantaran surat ini saya jadi bintang pelajar?” tanya Malik dengan suara bergetar.
“Pertimbangan terakhir memang dari surat itu...” jawab bu Titik.
“Ibu, terus terang surat ini saya sendiri yang membuat.”
“Hah?”
“Iya bu, saya yang membuat dan saya pula yang memasukkan ke kotak pos...” pertegas Malik seraya menunjuk stempel pos yang sama kotanya dengan sekolahnya.
“Lantas apa maksudmu?” tanya bu Titik yang mulai berubah ekspresi.
“Yang jelas saya tidak mempunyai maksud menipu. Dan pertimbangan ibu sama sekali tidak salah. Keadaan saya jauh lebih melarat dari gambaran di surat ini. Saya tidak mempunyai ayah dan ibu sedari kecil, bahkan tidak juga saudara, apalagi rumah dan tanah,” Malik berhenti, suaranya mulai parau dan titik-titik being terlihat menetes dari kedua matanya, lalu lanjutnya, “Selama hidup saya tidak pernah menerima sepucuk surat dari satupun orang tua dan saudara. Saya jadi iri kalau ada teman terima surat dari keluarganya. Saya jadi merindukan datangnya surat.” Ia menghapus air matanya. “Ingin saya mendengarkan atau menerima surat yang isinya memberi nasihat kepada saya, memberi dorongan agar saya lebih semangat belajar dan tidak putus asa menghadapi kehidupan yang sebatang kara ini. Suatu malam kerinduan saya pada datangnya surat sudah tak tertahankan, lalu saya putuskan untuk membuat sendiri. Ah, ibu, apakah perlu cerita ini saya teruskan?”
“Perlu dan saya akan mendengarnya dengan baik,” jawab bu Titik yang juga menitikkan air mata.
“Saya tak tahu, bu, kenapa saya menulis surat tentang kemiskinan. Tapi saat itu saya memang sedih, karena paginya saya tidak diperkenankan mengikuti pelajaran. Saya tulis surat itu dengan hati mendidih berontak dan saya iringi dengan air mata...”
“Kenapa kau tidak menceritakan keadaanmu yang sebenarnya?”
“Saya pikir tidak akan ada yang percaya.”
“Maaf Malik, sebenarnya bapak ibumu di mana?”
“Menurut cerita orang mereka menjadi korban gunung meletus, cuma saya yang selamat.”
Keduanya membayangkan letusa gunung yang hebat dengan imajinasi masing-masing. Malik membayangkan kedua orang tuanyan berlari-lari sambil melolong-lolong memanggil dirinya di tengah hujan batu, tiba-tiba ada batu besar yang menggelinding ke arah mereka dan tanpa sadar Malik berteriak keras, “Ibuu!!!” bu Titik tersentak oleh teriakan Malik. Di hadapannya Malik tengkurap di meja tak sadarkan diri. Ketika guru-guru lain datang mereka hanya menyaksikan bu Titik yang menangis sambil menggoncang-goncangkan tubuh Malik.

Sidoarjo, 5 Mei 1983

peristiwa jembatan wigon


17 September 1948, aku resmi jadi tentara kendati tanpa daftar dan tes segala macam. Apalagi latihan. Tidak cuma itu, sekaligus aku juga diangkat jadi komandan pleton. Bayangkan apakah tidak surprise, umurku baru 16 tahun.
Tapi potret tubuhku lebih menyerupai gelandangaan, tidak seperti AKABRI yang perlente, gemerlapan dengan terembelan pangkat.
Aku memang memegang pistol, tapi memakai celana pendek dan baju compang-camping. Dan terus terang aku tak pernah merasa jadi komandan sungguhan. Perang yang kuhadapi dalam mengusir penjajah kadang juga kuanggap main perang-perangan.
Mulanya, aku dan teman-temanku memang anak-anak yang nakal dan bandel. Suka main perang-perangan dengan senjata yang terbuat dari kayu atau pohon pisang. Tidak jarang kami membuat pusing orang-orang tua kami.
Pernah sekali waktu kami asyik main perang-perangan dan kebetulan pada waktu yang sama ada patroli Belanda lewat.
“Nah, itu dia musuh datang!” teriak Wahab sambil acungan tangannya ditujukan pada jeep Willys yang merangkak, dan kemudian dia tiarap. Kami mengikuti dia, tiarap dan berlindung di balik pohon besar.
“Kalau sudah dekat kita serbu dengan ini...” komandonya dengan menunjukkan batu yang digenggam. Lalu teman-teman yang lain juga meraba-raba batu di sekelilingnya, cuma aku yang menyiapkan ketepil. Dan begitu jeep patroli yang hanya ditumpangi oleh tiga orang itu jaraknya sudah terjangkau dengan lemparan batu, Wahab segera memberi aba-aba.
Dan hasilnya Belanda itu secara membabi buta menembakkan senapan otomatisnya ke segala arah, lalu memacu jeepnya. Kemudian kami keluar dari persembunyian dan berteriak: “Merdeka! Menang! Menang! Merdeka!“ sambil mengacungkan kepalan tangan.
Hari berikutnya kami membuat meriam mainan dari pohon pisang. Kami pasang di tengah-tengah padang rumput di sebelah pekuburan desa kami. Tapi baru saja kami peragakan, ayahku datang merusaknya.
“Hee, kalian bermain jangan ngawur. Bisa celaka desa ini!” bicara ayah bernada marah. Dan pulangnya aku didamprat habis-habisan, serta sempat pula terompahnya singgah di punggungku, karena aku coba membantah.
Wahab memang bandel, pagi berikutnya mengajakku membuat meriam lagi bersama-sama teman-teman yang kemarin juga. Kami buat lebih baik dari yang kemarin, kami olesi dengan anges, hingga dari kejauhan persis meriam sungguhan. Dan kami pasang di tempat yang jauh dari kampung. Lalu kami main perang-perangan lagi, dan tentu saja Wahab yang pegang meriam.
Tiba-tiba dari arah tenggelamnya matahari ada sebuah pesawat udara moncong merah. Kami semua tiarap. Namun tidak begitu dengan Wahab, dia malah beraksi, membidik pesawat itu dengan meriamnya sembari muntah dari mulutnya, “Dwar! Dwar! Dwar!“
Sebentar kemudian pesawat itu kembali mendengung-dengung, dan Wahab lebih serius lagi membidiknya. Sejenak kami dibuat tertegun. Pesawat itu dengan gencar menembaki kami. Dan dua peluru telah mengubah suara dwar dwar Wahab menjadi jeritan panjang. Satu peluru mengenai kepalanya dan satu lagi mengenai paha kanannya.
Beberapa saat kami berpandangan satu sama lain sambil mengelilingi tubuh Wahab yang tergolek. Lantas kami berebutan merangkul dan menggoncang-goncang tubuh yang berlumuran darah itu. “Hab, Hab, Wahab! Wahab! Wahab!“ Suara kami bersahutan memanggilnya. Namun Wahab tetap tergolek. Diam. Dan darah yang mengucur mulai beku. Begitu teman-teman menyadari kalau Wahab sudah mati, mereka menangis semua. Aku, barangkali yang paling sedih di antara mereka, hingga tangisku tak bisa meledak, tersesat di tenggorokan. Cuma air mataku yang menderas. Dan pandanganku semakin kabur. Lalu seputarku gelap dan aku tak sadarkan diri.
Ketika aku sadar kembali, cuma ibuku yang menjaga. Dan barulah tangisku bisa meledak.
“Fajar, tenanglah!” begitu kata ibu berulang-ulang sambil memijit-mijit keningku, hingga tangisku mereda.
Hari-hari berikutnya aku tak punya lagi teman bermain yang bandel dan seberani Wahab. Aku jadi sepi dan merenung melulu, dan tiap sore kujenguk kuburan Wahab. Aku bacakan ayat-ayat Al-Quran yang aku hapal, sesuai dengan nasihat ustadz Imron, guru ngajiku. “Temanmu, Wahab, sudah dipanggil Allah, kalau kau ingat, bacakan ayat-ayat Al-Quran yang kamu hapal...”
Tiap aku pulang dari pekuburan, gemeretak hatiku. Aku marah dan dendam pada Belanda yang keparat itu, yang merenggut keasyikan kami bermain dan memisahkan aku dengan Wahab. Aku kepalkan tinjuku dan mengumpat-umpat pada Belanda. Tidak jarang kupukulkan juga tinjuku pada apa saja yang ada di sebelahku.
Bila kebetulan aku jumpai jeep patroli atau konvoi truk-truk Belanda, dendamku meluap sebatas ujung rambutku. Dan setiap kali aku jumpai tentara Indonesia, apakah itu Hisbullah, TKR atau pun Sabilillah, ingin aku bergabung dengan mereka. Namun aku selalu kecewa, setiap kali maksudku kuutarakan, mereka mengatakan aku masih kecil.
Suatu hari dendamku tak bisa kubendung dan aku menjumpai ide melampiaskan tanpa menggunakan senjata. Kuajak teman-teman dan mereka setuju. Lalu kami mencari tempat yang strategis, kami bentangkan kawat melintang jalan setinggi leher Belanda yang naik jeep. Sekitar satu jam kami menunggu dan betul juga ada jeep open kap lewat. Kami bersembunyi dan dadaku bergetar hebat penuh dendam. Beberapa detik kemudian dua serdadu Belanda yang naik jeep itu terpental dan jeepnya menabrak pohon asam. Kami berlompatan keluar menghajar Belanda yang sekarat itu.
Satu pistol senapan otomatis 12,7 yang ada pada serdadu itu serta 6 buah granat yang ada di jeep kami ambil. Jeepnya kami bakar dan dua Belanda itu kami seret ke sungai. Lalu kami pulang setelah lebih dulu menyembunyikan rampasan itu.
Esoknya tiga pemuda di kampungku diambil oleh Belanda dibawa ke Tangsi. Salah satu di antara mereka adalah ustadz Imron, guru ngajiku. Setelah satu bulan mereka belum pulang, aku datang ke pak kyai Sodiq, orang yang paling disegani di kampungku. Aku minta pertimbangan serta doa restunya. Beliau cuma menanyakan umurku dan kujawab, 13 tahun, lalu beliau merestui dan memberi nasihat, “Berjuanglah karena Allah untuk membebaskan negaramu, sekali-kali jangan kau dasari dendam. Ikhlaslah!”
Langkahku pertama sepulang dari pak kyai itu, ingin mencegat konvoi untuk memperbanyak rampasan senjata. Aku berunding dengan teman-teman dan mereka sepakat. Lokasi ditentukan di perbatasan kota, tepatnya di Jembatan Wigon yang membatasi kota. Jembatan ini memang cukup memadai untuk dihancurkan dengan sebuah granat.
Tiga hari kami menjaga jembatan itu, namun tidak ada satu pun mobil Belanda yang lewat. Hari yang keempat kami menemukan teknis peledakan. Granat kami pasang di bawah jembatan dan pennya kami ikat dengan kawat yang kami sambung dengan tali. Herman kutugaskan menarik tali dan lima teman lainnya kutugaskan melempar granat. Sedang aku dengan pistol selalu siaga, siap memberi komando. Di sampingku Mail mengawasi ujung jalan dan Udin siap dengan senapan 12,7 nya untuk menghamburkan peluru secara membabi buta.
Tepat jam 12 siang, dari arah barat terdengar derum mobil. Dan setelah dekat ternyata hanya tiga buah truk. Kami siap-siap dan sialan aku grogi, aku baca doa sekenanya. Begitu jarak mobil dengan jembatan kira-kira kurang 30 meter, Herman kusuh narik talinya. Keadaan betul-betul mencekam, dan aku ada pada klimaks ketegangan. Tepat truk yang paling depan menyentuh pinggir jembatan meledaklah jembatan itu. Truk yang depan langsung terjungkal ke sungai yang cukup dalam itu, dan dua lainnya yang berhenti mendadak langsung kami sambut dengan empat lemparan granat. Kemudian Udin segera beraksi dengan 12,7 nya, menghabisi sisa yang lolos dari ledakan granat. Lalu kami beralih perhatian pada mobil yang masuk sungai. Beberapa serdadu langsung tewas dan lainnya yang luka-luka tanpa ampun dihabisi oleh Udin.
Penghadangan itu betul-betul sukses dengan memperoleh rampasan lebih dari yang kami butuhkan. Tapi juga lucu, Mamat setelah melempar granat sempat terkencing-kencing dan doa yang kubaca ternyata doa mau masuk ke WC. Dan sejak itu kami harus meninggalkan kampung halaman, karena Belanda telah membumihanguskan daerah sekitar tempat penghadangan itu. Kami bergerilya terus-menerus dan tambah hari anggota kami semakin banyak. Sampai aku resmi jadi tentara dengan jabatan komandan pleton, temanku sekampung yang 9 itu cuma tinggal 3. Aku, Udin dan Wawan. Enam lainnya telah syahid, berpeluk mesra dengan janji Allah.
*
Genap 38 tahun Indonesia merdeka, seseorang telah mengusik ketenanganku. Peristiwa yang kemudian terkenal dengan nama peristiwa Jembatan Wigon itu yang pelakunya tetap misterius bagi orang lain, tiba-tiba ada orang yang mengakui sebagai pelaku utamanya. Dan dipublisir lewat beberapa koran. Terlalu. Bukankah aku satu-satunya pelaku yang masih hidup, sebab Udin dan Wawan telah mendahuluiku kemudian.
Oh, untuk apa orang memalsukan sejarah. Bagiku biarlah kemisteriusan itu tetap misterius, agar generasi sesudahku maklum bahwa dalam merebut kemerdekaan banyak pahlawan tak dikenal. Pahlawan yang ikhlasnya melebihi kita yang masih hidup.
Aku baca lagi koran yang mempublisir itu. Lalu aku pandang kaki kananku yang buntung, “Oh, Tuhan, jagalah ikhlasku!”

Sidoarjo, 26 Oktober 1983

mutasi


Seminggu ini memang hati Cipto keruh. Seperti saat ini ia Cuma diam setelah mendengar suara saran dari Bari, teman sekantornya. Hanya ekspresi wajahnya yang tampak berubah. Semakin keruh dan bimbang.
“Cipto, aku Cuma memberi saran…” tambah Bari memecah kesunyian yang sejenak.
“Bari, masak ada pegawai merangkap dukun…?” Cipto mulai buka mulut kendari sikapnya masih tak bersemangat.
”Kau terlalu lugu, Cip, yang pegang peran sekarang adalah dukun. Jangan dikira pada abad yang dikatakan modern ini orang hanya mengandalkan teknologi dan logika, serta jauh dari dukun,” Bari menghisap rokoknya, “Kalau hanya pegawai merangkap dukun kau anggap aneh, lantas bagaimana dengan terkun ?”
“Kau jangan menambah kebingunganku. Apa pula terkun itu?”
”Terkun adalah dokter dukun. Artinya dokter yang merangkap dukun. Jadi orang yang mengkombinasikan ilmu kedokteran dan kedukunan untuk meditasi...”
“Apa ada?” Cipto mulai menatap Bari.
“Banyak, dan apa salahnya kalau memang hasilnya menakjubkan?”
”Apa salahnya? Aku kira banyak. Barangkali ini salah satu faktor yang menghambat kemajuan kita...”
“Kau terbalik, Cip, malah inilah yang menunjang kemajuan. Kau tidak tahu banyak orang yang mengejar karir lari ke dukun atau orang tua, dan nyatanya berhasil...” begitu pertebal Bari, kemudian ia menyebut beberapa contoh orang yang sukses karena pertolongan dukun.
“Sudahlah, Bari, terima kasih atas saranmu...” putus Cipto sambil melihat jam tangannya.
”Yah... waktumu tinggal setengah bulan. Aku Cuma memberi saran...”
Kemudian mereka bersama-sama keluar dari ruangan kantor yang sempit itu. Dan ketika dalam perjalanan pulang hati Cipto berbaku hantam antara percaya atau tidak. Maklum selama hidup ia tak mengenal dunia perdukunan. Tahayul. Begitu anggapnya.
*
Keraguan betul-betul telah menguasai hati Cipto. Apalagi ketika ia mau menekan bel rumah pak dukun. Masak ada rumah dukun semacam ini komentarnya dalam hati setelah melihat tata perabotnya yang sama sekali tak ada ciri-ciri rumah dukun menurut imajinasinya. Tak ada keris atau tembak yang menempel di dinding dan tidak ada kembang yang tercecer. Tetapi ia paksakan juga untuk menekan bel itu.
“Betul, bu, ini rumah pak Wirya ?” tanyanya ketika seorang perempuan setengah baya membuka pintu.
“Ya, betul, silakan masuk !” mengikuti perempuan itu, masuk dan duduk. Tak seberapa lama kemudian keluar seorang laki-laki sebaya dengan dia, tetapi lebih kurus sedikit. Segera menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.
”Pak Wirya, betulkah saya tidak salah alamat ?” sambung Cipto untuk menghilangkan keraguannya.
“Maksudnya bagaimana... ?”
“Saya diberitahu teman saya, bahwa bapak katanya adalah spesialis...”
”Oh, saya mengerti,” sela Wirya, membuat Cipto tak meneruskan kata-katanya.
Hening sejenak, mereka sama-sama menyulut rokok. Setelah Cipto menghisapnya dalam-dalam ia melanjutkan maksudnya.
“Saya ada problem, pak Wirya...”
“Ya, terangkan !”
”Saya adalah pegawai negeri di daerah sini, tempat saya kerja boleh dikata cukup tenang kendati tak begitu basah, dan saya cukup kerasan. Tapi minggu kemarin saya mendengar isu, bahwa saya mau dimutasikan ke daerah lain…” Cipto menghisap rokoknya lagi yang diikuti juga oleh Wirya.
“Saya minta tolong pada bapak…”
“Lho, itu kan konsekuensinya jadi pegawai negeri…”
”Yah, … dan saya maklum. Tapi ada yang belum saya terangkan pada bapak yang membuat saya keberatan. Di samping saya jadi pegawai saya juga punya sawah peninggalan orang tua, saya khawatir sawah itu terlantar…”
“Oh… begitu, kenapa saudara tidak putuskan jadi petani saja. Ada ribuan yang mau mengganti saudara…”
“Ah, bapak, saya senang keduanya,” agak malu Cipto mengatakn hal ini. Wirya hanya manggut-manggut mendengarjawaban itu. Sama dengan yang lain. Desah hatinya.
”Baiklah, tunggu sebentar…” Wirya masuk, dan hati Cipto lega. Mudah-mudahan berhasil. Begitu doanya. Tak seberapa lama Wirya keluar lagi sambil membawa bungkusan kecil.
“Isi bungkusan ini tebarkan di depan kantor saudara…” pak Wirya menerangkan sembari menyerahkan bungkusan kecil itu.
“Terima kasih, pak.”
”Saudara tak usah gelisah, kalau ada perkembangan di luar yang kita harapkan datang saja ke sini...” Cipto mengangguk dan mengeluarkan amplop yang sudah disediakan dari rumah, lalu diletakkan di atas meja dan dia mohon diri.
Dengan perasaan cemas penuh harap Cipto kini tinggal menunggu keputusan atasan. Segala nasihat dukun itu telah dilaksanakan dengan baik. Kadang dalam dirinya timbul kepercayaan kuat, bahwa usahanya pasti berhasil, tapi kadang juga timbul kebimbangan yang sangat. Apalagi kalau sehabis ngomong dengan istrinya, yang sama sekali tidak percaya pada kekuatan dukun, boleh dikata dia hampir putus asa. Ada satu kalimat dari deretan kata-kata istrinya yang terus bergaung di telinganya: “Mas, percaya pada dukun termasuk musyrik, dosa besar…” yah, istrinya sampai hari ini menertawakan usahanya.
*
Blong. Hati Cipto sangat lega. Perasaannya bagai seorang atlet yang baru saja menang dalam lomba. Dia tak jadi mutasi. Namanya tak tercantum dalam daftar pegawai yang dimutasikan.
Oh, istriku, kau tak jadi pindah, kita tetap menggarap sawah dan anak-anak tak usah pindah sekolah.
Oh, pak Wirya, kau memang dukun jempolan, dukunnya orang-orang intelek dan spesialis pegawai yang menemui kesulitan.
Oh, Bari, tanpa saranmu tak mungkin aku mengetahui Pak Wirya.
Begitu kata batinnya melonjak-lonjak girang. Kegirangan yang membuat dia lupa diri. Lupa bersyukur pada Allah. Cipto yang semula bimbang kini mempercayai seratus persen kemampuan Pak Wirya.
Dan sesampainya di rumah ia langsung menceritakan pada istrinya, tak seperti biasanya mencari kedua anaknya lebih dulu.
“Minah, aku berhasil. Aku tak jadi pindah…”
”Oh, syukurlah…” Minah menoleh pada suami lalu lanjutnya, “Tapi kau tak boleh mempercayai itu lantaran usaha dukun…”
“Tapi ini kan kenyataan…”
”Tidak! Semuanya Tuhan yang mengatur dan itu hanya kebetulan,” bantah istrinya. Cipto mendekat sambil tetap menjinjing tas kantornya.
“Tidak Minah, pak Wirya memang jempolan. Dia malah menjamin aku kalau ada apa-apa...”
”Ah, sudahlah... istirahatlah dulu!” putus istrinya tak mau berbantah.
Cipto menurut. Ganti pakaian lalu makan siang bersama istrinya setelah memanggil kedua anaknya lebih dulu.
Sebulan kemudian Cipto mengajak istrinya ke rumah Pak Wirya, mau mengucapkan terima kasih dan sekedar memberi hadiah atas jasanya. Istrinya menurut saja, namun dalam hatinya masih tetap tidak percaya dan berusaha membelokkan kepercayaan suaminya.
“Minah, setelah kau bertemu dengan pak Wirya nanti kau pasti sepertiku, menganggap pak Wirya jempolan. Oh, ya, aku belum pernah cerita padamu bahwa pak Wirya juga pegawai sepertiku...”
Minah cuma diam, ia masih berusaha mencari kalimat yang tepat dan bisa menyadarkan suaminya. Ah, dia jadi menyesal, kenapa kalimat itu belum ketemu juga sampai mereka harus turun dari becak karena sudah sampai di depan rumah pak Wirya. Tapi tak apalah, biar habis makan malam saja suasananya tenang. Begitu pikir Minah setelah turun dari becak.
Kala mereka mulai masuk halaman rumah yang berpagar pendek itu langkah Minah agak canggung, ada rasa malu menyelinap dalam dirinya. Maklum selama hidup baru ini kali ke rumah dukun.
“Minah, kau bisa minta bantuannya, agar arisamu keluar duluan,” kata Cipto ketika mau menekan bel. Dan Minah lagi-lagi hanya diam.
Beberapa detik kemudian Cipto mulai ragu setelah berulang kali menekan bel. Dia jadi berprasangkan belnya mati lalu ganti mengetok pintu, tapi masih saja belum ada jawaban. Untung ketika mereka mau balik ada seseorang tetangga yang mau mendekat.
”Cari siapa, pak?” sapa orang itu.
“Pak Wirya!” jawab Cipto.
“Ah, dia sudah pindah bulan yang lalu. Bapak dari mana?”
”Dari sini saja, Cuma mau sambang...” sahut istrinya.
“Sayang, pak Wirya tidak memberi alamat barunya, yang saya ketahui dia dimutasikan kerjanya ke daerah lain. Dan rupanya hal ini dirahasiakan...”
Cipto tercengang mendengar keterangan itu. Dan sewaktu di atas becak istrinya hanya bilang, “Mas, ini kenyataan...”
Dan Cipto hanya bungkam. Tiba-tiba rasa malu menjalar di tubuhnya.

Sidoarjo, 26 September 1983

kredit


Daya tarik barang kredit barangkali tak kalah hebatnya dengan wanita cantik. Menggiurkan. Bisa memacu lebih hebat sifat konsumerisme masyarakat. Dan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas bawah, tapi mewabah juga pada masyarakat kelas menengah ke atas. Kalau saja ada survei tentang kredit, barangkali hanya orang-orang suku Asmat dan Badui yang belum kena wabah kredit ini.
Bayangkan, mulai mobil mewah sampai kue yang harganya dua ratusan dikreditkan orang. Kalau sekarang banyak buku humor diterbitkan dengan berbagai obyek humor, aku rasa humor tentang kredit tak kalah lucunya.
Tapi yang memprihatinkan dari mewabahnya kredit ini jauh lebih banyak dari yang lucu. Dan ada juga kredit yang menimbulkan kelucuan sekaligus keprihatinan. Konon ada bayar nikah dan talak dikreditkan, juga tanah pekuburan untuk orang yang akan dikebumikan.
Dan, ceritaku ini entah masuk yang mana.
Sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai penagih kredit. Perusahaan di mana aku bekerja memang mengkreditkan barang-barang elektronik. Dan bos memilih aku sebagai penagih karena aku dinilai punya bakat sebagai penagih. Kuakui kendati aku laki-laki aku memang agak ceriwis dan tampangku rada mirip bromocorah. Bagi orang yang mengenalku wajahku memang bisa menimbulkan interpretasi macam-macam, tapi kalau sudah kenal betulan aku sebenarnya biasa-biasa saja. Sama sekali tidak cocok sebagai penagih, apalagi disuruh menagih mereka yang pada menunggak.
Bulan pertama, dari 39 orang yang aku tagih hanya 6 orang yang mau bayar. Yang 13 orang tidak ketemu dan yang 20 orang berdalih macam-macam. Dan hampir seluruhnya tv dan video yang mereka kredit sudah dipindahtangankan alias dijual.
Karena aku sebagai karyawan baru, maka yang tidak ketemu dan yang berdalih macam-macam itu aku tagih lagi. Salah satu di antara mereka adalah Ny. Darmo. Pertama aku datang ke rumahnya aku ditemui seorang wanita setengah baya, kukira orang inilah Ny. Darmo, tapi ia dengan sopan menyampaikan kepadaku bahwa Ny. Darmo sedang pergi.
Kali yang kedua wanita itu juga yang kutemui, dan ia menjawab, “Barusan aja, Pak, ibu keluar…”
“Kemana, Bu…?”
“Nggak tahu, tapi katanya sebentar kok…”
“Bisa saya tunggu, Bu…”
“Bisa, silakan masuk…”
Aku masuk ke ruang tamu dan nonton tv 20 inch yang sedang aku tagih pembayarannya.
“Ya, saya adiknya…”
Satu jam aku menunggu, akhirnya aku harus pamit dengan perasaan kecewa. Ny. Darmo tidak juga kunjung datang.
Pada kali yang ketiga kejadiannya juga sama. Aku tidak ketemu Ny. Darmo dan wanita yang mengaku adiknya yang menemuiku.
Bulan kedua prestasi perolehan tagihanku sama. Sang bos hanya senyum-senyum saat kulapori hasil tagihanku. Dan aku diberi lampu hijau pada kali yang ketiga untuk berbuat lebih keras. Apabila perlu menyita barang, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Aku ingin tertawa. Apanya yang disita? Hampir semua yang kutagih tidak mempunyai barang yang patut disita, kecuali Ny. Darmo dan dua lainnya. Sedang barang kreditannya hampir seluruhnya sudah dijual. Pikiranku tentu saja melayang ke Ny. Darmo dan dua orang lainnya itu. Tapi aku belum pernah jumpa dengan Ny. Darmo, aku belum memahami apa yang menjadi kesulitannya, hingga sampai nunggak lima kali pembayaran.
Kali ini aku tidak naik sepeda motor untuk operasi penagihan, aku membawa Kijang pick up dan mengajak dua orang karena langsung akan mengadakan penyitaan.
Yang pertama kutuju adalah rumah Ny. Darmo yang telah membuat aku penasaran. Aku berangkat sore hari dengan perhitungan Ny. Darmo mesti di rumah, sebab pada saat nggak ketemu aku datang pada pagi hari dan selepas maghrib.
Sesampai di rumah Ny. Darmo aku tidak langsung menuju rumahnya, melainkan ke rumah RT-nya dulu, sekedar memberitahu biar kalau terjadi kekisruhan Pak RT tidak kaget. Aku diterima dengan baik oleh Pak RT dan dia dapat memaklumi tindakan yang akan kami ambil.
“…dan begini Pak RT, pada saat saya tidak ketemu dengan Ny. Darmo ada seorang wanita yang mengaku adiknya…”
Pak RT tampak sedikit bingung mendengar keterangan tambahan ini.
“Siapa, ya…?” Setahu saya di rumah Ny. Darmo tidak ada wanita lain. Kalau memang ada tamu dan sampai menginap lebih dari satu bulan kenapa Pak Darmo tidak lapor kemari…”
Aku langsung menangkap hal yang tidak beres pada Ny. Darmo mendengar keterangan Pak RT ini. Jangan-jangan wanita yang mengaku adiknya itu adalah Ny. Darmo sendiri. Kalau memang benar dugaan ini, betul-betul wanita itu kurang ajar. Dia telah mengecohku mentah-mentah. Barang tampangku yang sangar ini dianggap sangarnya ludruk. Kwalat betul wanita itu.
Aku pamit pada Pak RT tanpa ingin tanya lebih lanjut siapa wanita itu sebenarnya. Aku sudah mengantongi kesimpulan. Dia wanita jenis belut putih yang saat ini jumlahnya sudah banyak, yang menaruh suami di bawah telapak kakinya.
Sesampai di rumah Ny. Darmo aku turun sendirian. Kudapati dua mobil sudah nongkrong lebih dulu di pelataran rumah dan di ruang tamu ada dua orang laki-laki. Aku tak sabar menunggu mereka keluar lebih dulu. Aku yang sebetulnya tidak pernah kasar menjadi tersinggung dianggap sebagai pemain ludruk oleh Ny. Darmo.
“Bu Darmo, saya sebenarnya sudah sabar dan memberi batas waktu yang cukup, tapi ibu rupanya orang yang tak bisa diajak baik…” kata orang yang menghadap Ny. Darmo saat aku di ambang pintu. Dan aku menjadi yakin bahwa benar dugaanku.
“Permisi…” suaraku cukup jelas. Mereka bertiga pada menoleh kepadaku.
“Silakan masuk, Pak…”
Aku masuk dan langsung menempati kursi yang kosong. Pembicaraan mereka menjadi terhenti.
“Bu Darmo, mana adik ibu…?” tanyaku meng-KO.
“Ooo… saudara kembar saya, berusan pulang…”
Nah, benar dugaanku dia belut putih.
“Tapi saya tidak punya kepentingan dengan saudara kembar ibu. Saya mau mengambil tv yang ibu sewa beli…”
“Sama dengan saya, saya mau mengambil kulkas…”
“Saya juga, meja kursi yang kita duduki ini…”
Kami bertiga bersamaan menggeleng.
Ny. Darmo tampak bingung.
“Ibu, tidak sekedar menunggak, tapi telah mempermainkan saya…” tambahku memecah kebisuan.
“Ibu memang keterlaluan…”
“Ya… ibu keterlaluan…”
Kami bertiga menggeleng lagi bersamaan.
Ny. Darmo tampak semakin bingung.
“Bawa saja semuanya,” Ny. Darmo berdiri. “Maafkan saya telah menyusahkan kalian. Nafsu saya telah dilecut setan…”
Kami bertiga mengawasi Ny. Darmo yang ngomong dengan wajah duka sambil berdiri.
“Bu Darmo, kenapa ibu tidak mengukur kemampuan ibu…?” tanyaku dengan nada iba.
“Nafsuku telah dilecut setan. Aku panas-panasan dengan tetangga sebelah. Kalau dia beli sesuatu aku merasa rendah kalau tidak bisa menyamainya…” Bu Darmo jedah, lalu duduk kembali, “Kemarin lusa barang-barang dia sudah disita dan kini giliran barang-barangku. Angkutlah!”
Selanjutnya ruang tamu itu menjadi sepi. Tanpa ngomong sepatah pun aku mengangkat tv color 20 inch yang bertengger di pojok ruang tamu.

kembali


H. Sofwan membaca alhamdulillah berulang-ulang ketika sampai di asrama haji Sukolilo Surabaya bersama rombongan kloter terakhir.
Ia betul-betul bersyuklur dalam usianya yang sudah udzur diberi oleh Allah kekuatan hingga bisa menjalankan ibadah haji dengan sempurna dan selamat sampai di tanah air kembali. Ada kepuasan yang sulit ia gambarkan dengan kata-kata. Bagaimana tidak, ia telah memandang ka’bah dengan sepuas-puasnya, ia telah mencium hajar aswad yang juga pernah dicium oleh nabi Muhammad SAW, ia telah beri’tikaf dan sholat ratusan raka’at di masjidil haram, masjid yang mempunyai nilai tertinggi dari seluruh masjid yang ada di seantero dunia.
Ia telah mencucurkan air mata tuanya di tempat-tempat penting yang penuh dengan kenangan sejarah, sebagai rasa haru, rindu, sesal dan puas.
Ketika mau pulang rasa rindu pada semua keluarganya memang telah menggoda, tapi bersamaan itu pula ada perasaan berat untuk meninggalkan tanah suci Mekkah. Yang aneh bobot rindu terberat malah pada Hilmi, anak sulungnya yang paling nakal, bukan pada adiknya, Muhammad atau Fatimah yang penurut dan baik.
Bayangan Hilmi ini sering hadir pula pada saat ia mau melaksanakan ibadah. Padahal Hilmi yang sudah mendapat status korak di masyarakat dan telah melanggar hampir seluruh larangan agama serta meninggalkan perintahnya hampir saja menggagalkan H. Sofwan untuk pergi haji. Ketika ia mau melunasi ONH-nya uangnya yang satu juta itu telah diambil oleh Hilmi.
Bayangan Hilmi yang selalu hadir itulah membuat ia mengkhususkan do’anya untuk Hilmi ketika berdoa di tempat-tempat mustajabah.
“Ya Allah, sesungguhnya Kau Maha Mendengar doa-doa hamba-Mu, Maha Pemberi, Maha Pengabul, Maha di atas segala maha dan tak pernah ingkar pada janji-Mu, aku mohon berilah keluargaku hidayah dan khususnya kepada anakku, Hilmi. Kembalikan dia sebagai anakku, sebagai amanat dari-Mu yang sejak mula kuharapkan tumbuh sebagai orang sholeh. Ya Allah, sesungguhnya Kau telah tetapkan tempat ini sebagai tempat mustajabah untuk berdoa…” begitu potongan doa yang selalu ia panjatkan dengan penuh kekhusu'an di tempat-tempat mustajabah.
Kini H. Sfwan telah dijemput keluarganya dari Sukolilo. Mereka yang selalu was-was atas kesehatan H. Sofwan selama menunaikan ibadah haji tampak senang dan penuh rasa syukur. Bagaimana tidak, sebab H. Sofwan di samping usianya sudah udzur ia juga mengidap jantung lemah. Inipun terakibat seringnya digoda Hilmi.
Sepanjang perjalanan mereka pada diam, karena H. Sofwan ketika mau berangkat sudah pesan, “Aku mau nadzar, apabila aku bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik dalam perjalanan pulang aku akan selalu membaca wirid, untuk ini jangan diajak bicara sebelum aku sampai di rumah…”
Sebetulnya H. Sofwan sendiri ingin berbicara banyak. Ia ingin menanyakan mengapa ketiga anaknya tidak ikut menjemput dan ingin menanyakan perkembangan Hilmi. Apakah ia tetap nakal atau sudah sadar. Tapi semua keinginan itu ia simpan saja, karena ia ingin melunasi nadzarnya dulu.
Sementara itu di rumah telah diadakan persiapan seperlunya. Beberapa tetangga kanan kiri sudah pada menunggu di ruang tamu yang kursinya sudah diganti dengan tikar.
Mereka disamping ingin menghormat tetangganya yang baru pulang dari haji, juga ingin mendengar cerita tentang pelaksanaan ibadah haji dan tentang kota Mekkah yang tiap tahun selalu ada perkembangan bangunan fisiknya. Dan, yang lebih dinantikan adalah cerita tentang demonstrasi jama’ah haji Iran yang sampai membawa banyak korban. Bisa dipastikan H. Sofwan seminggu suntuk bakal terus mengulang-ulang ceritanya, karena kebetulan tahun ini di kampungnya cuma dia sendiri yang pergi haji.
Hari masih pagi ketika mobil yang ditumpangi H. Sofwan beserta penjemputnya mulai masuk kampung. Tampak tak ada penyambutan yang berlebihan. Disamping mobilnya cuma satu, juga di kaca depan tidak ada tulisan apa-apa, hingga tak mengundang perhatian anak-anak kecil. Padahal tahun kemarin ketika H. Irfan dan istrinya berangkat dan pulang haji sambutannya luar biasa. Iring-iringan mobilnya mengalahkan iring-iringan mobil pengantin, dan begitu masuk kampung anak-anak kecil pada menyambutnya dengan teriakan, “Wak haji datang! Wak haji datang!...”
Tapi kesederhanaan ini yang dikehendaki oleh H. Sofwan. Ia juga ingin meloporinya, biar kalau ada yang pergi haji lagi tidak usah mencarter banyak mobil sampai membuat orang yang bepergian jadi kesulitan cari mobil taksi.
Turun dari mobil H. Sofwan langsung disambut oleh keluarga dan para tetangga yang dari tadi sudah siap. H. Sofwan membalas sambutan itu dengan membalas salaman ala Arab pada penyambut laki-laki dan mengangguk-anggukkan kepala kepada penyambut perempuan, kecuali yang memang muhrimnya. Keletihan yang sangat tampak ketika di Sukolilo tadi seolah-olah sirna oleh wajahnya yang selalu berbinar-binar dalam menumpahkan rindu itu, dan ia kini telah menghentikan sama sekali wiridnya.
Ketika ia dirangkul Fatimah dengan hujan tangis, timbul tanda tanya di benaknya. Kenapa kedua anaknya yang lain, Hilmi dan Muhammad tidak ikut menyambutnya sampai ia telah masuk ke dalam kamar.
“Bah, mandi dan ganti pakaian dulu, baru temui tamu-tamu abah…” saran istrinya yang sudah meng-abah, padahal biasanya istrinya memanggil pak.
“Ya… sebentar. Itu air zam-zam keluarkan dulu dengan gelas-gelas kecil yang kubawakan dari Mekkah. Tapi aku hanya membawa sepuluh liter…” kata H. Sofwan sambil melepas pakaiannya.
“Biar sedikit asal rata, bah…”
“Ya… biar sama-sama pernah merasakan air satu sumber dengan air yang pernah diminum oleh nabi Ibrahim bersama keluarganya…”
H. Sofwan lalu membantu istrinya mengambil gelas-gelas kecil dari dalam tas besar dan sebelum istrinya keluar ia ingat Hilmi lagi, “Bu, mana Hilmi dan adiknya?” tanya H. Sofwan yang rindunya sudah tak bisa dibendung. Kendati ada rasa was-was dan prasangka yang tidak-tidak pada ketidaknongolan kedua anaknya, utamanya Hilmi, si berandal yang memang jarang ada di rumah.
“Oh, ya… aku sampai lupa. Mereka ada di masjid. Dan, tadi pesan kalau abah sudah datang supaya cepat-cepat aku menghubungi mereka…”
“Memangnya kenapa mereka?”
“Bah, lima hari setelah kepergian abah, Hilmi banyak memikirkan keselamatan abah dan dia sekarang sudah sadar. Dia jadi penurut dan tekun beribadah. Yang lebih istimewa tiap hari adiknya diajak untuk mendoakan keselamatan abah…”
“Alhamdulillah…” gumam H. Sofwan lirih. Serasa ia tak mampu menyampaikan kata itu. Hatinya dingin sepeti disiram air es mendengar keterangan istrinya. “Doaku rupanya diterima oleh Allah…” H. Sofwan mengingat-ingat doa-doa yang pernah ia sampaikan di tempat-tempat mustajabah.
Istri H. Sofwan setelah mengeluartkan air zam-zam buru-buru menyuruh Fatimah memanggil kedua kakaknya.
Sebentar kemudian Hilmi dan adiknya datang. Wajah mereka yang tampak bersih karena selalu tersapu air wudhu berbinar-binar. H. Sofwan yang melihat kedua anaknya berpakaian ala santri hatinya berbunga. Ada suatu kesenangan yang selama hidupnya belum pernah ia alami. Kesenangan yang menimbulkan aliran aneh ini membuat jantung H. Sofwan berdegup agak keras.
Sedang Hilmi yang sepeninggal ayahnya merasa banyak bersalah begitu melihat ayahnya langsung menubruk dan merangkul ayahnya erat-erat, “Ayah, ” panggilnya sangat pelan.
Kebahagiaan ayah Hilmi sulit digambarkan. Ia telah menemukan sosok anaknya yang sejati. Anaknya kembali sholeh. Kelakuan bejatnya luruh oleh doa-doanya di tempat-tempat mustajabah. Kebahagiaan yang telah berada di puncak itu telah menghentikan detak jantung H. Sofwan. Ia kembali kepada Allah dengan kepuasan penuh dan dalam rangkulan anaknya yang telah kembali dari kembaraan bejatnya.
Sampai beberapa saat keluarganya dan tamu-tamu di depan belum menyadari, bahwa H. Sofwan yang disambutnya juga telah disambut oleh malaikat Izroil dengan senyum ramah.
Inna Lillahi wainna ilaihi rojiun.

Sidoarjo, 7 September 1987

Sabtu, 18 Agustus 2007

korban-korban


Rumah Lisa yang baru saja ada kesibukan kecil kembali tenang. Beberapa orang yang masih tinggal mencoba membuat ceria suasana. Namun tak berhasil. Suasana tetap saja murung. Beberapa wajah bahkan bagai dirundung duka.
Lisa sendiri menangis di pojok kamar.
Barangkali orang tak akan percaya kalau di rumah Lisa baru saja dilangsungkan pernikahan. Dan yang dinikahkan adalah Lisa sendiri. Lisa yang saat ini menangis dan mengurung diri di kamar.
Subandi, pemuda yang menjadi mempelai laki-laki terlibat percakapan dengan kedua orang tua Lisa. Percakapan yang kaku. Sumbang. Yang diusahakan untuk bisa menutupi suasana.
Anehnya wajah Subandi sedikitpun tak berubah. Ia tenang-tenang saja menghadapi sikap Lisa. Memang dalam perkawinan ini Subandi menerima imbalan lima juta rupiah. Lisa bukan kekasih Subandi, tapi terpaksa dikawinkan karena sudah hamil empat bulan dengan pemuda yang tak bertanggung jawab. Dan Subandi adalah pemuda yang dibeli lima juta rupiah untuk menutupi aib keluarga Lisa. Tetapi Lisa belum bisa menerima kehadiran Bandi.
Setiap kali Lisa bertatapan muka dengan Bandi ia merasa muak. Benci. Dipandangnya Bandi sebagai orang yang mengeruk keuntungan di atas kemalangan dirinya. Sebagai pemuda yang seharga lima juta rupiah. Tak lebih. Tak punya harga diri. Ia betul-betul muak. Muak. Dan muak.
Sesuai dengan perjanjian, selang sebulan Bandi dan Lisa menempati rumah baru. Cuma menempati. Ini persyaratan yang diajukan oleh ayah Lisa agar rahasia kehamilan Lisa tidak diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Tepatnya mereka diungsikan ke desa yang cukup jauh dari rumahnya.
Konyolnya Lisa masih saja belum mau menerima Bandi sebagai pendampingnya. Bandi tak ambil peduli, bahkan berusaha menimbulkan kesan pada tetangga barunya, bahwa rumah tangganya adalah wajar. Harmonis. Bahagia sebagaimana layaknya pengantin baru.
Malam pertama Bandi memaksakan diri untuk bicara.
“Lisa, tidak bisakah kau bersikap pura-pura?”
“Aku muak melihatmu…” jawab Lisa terus terang. Tetapi Bandi sudah menduga. Sudah siap menerima yang lebih keji daripada itu.
“Aku sudah tahu, tapi tidak bisakah kau pura-pura ?”
“Aku tak biasa...”
“Jadi kita akan tetap begini ?”
“Yah, akan tetap begini...”
“Sampai tetangga tahu ?”
“Aku tak peduli...”
Bandi diam. Lisa diam. Sepi. Masing-masing dengan pikirannya. Tapi sesungguhnya hati Bandi sudah merasa senang, karena Lisa mau bicara. Ini adalah permulaan. Begitu pikir Bandi.
“Lisa,” Bandi mulai lagi, “Okelah kalau kau menganggap aku seharga lima juta. Tapi di luar itu aku ingin menolongmu. Setidak-tidaknya kau bisa menganggap aku sebagai teman bicara dalam pengasingan ini...”
Lisa tetap diam. Menangis. Lalu mengunci diri di dalam kamar.
Bandi meneruskan mengatur letak perabotan. Jam dinding dan sebuah lukisan kapal hampir tenggelam ia gantung di ruang depan. Kemudian ia tatap jam dinding yang baru ia pasang itu. Jam 23.30. lantas ia merebahkan diri di sofa.
Paginya Lisa hanya memasak untuk dirinya dan tetap membisu pada Bandi.
“Lisa, aku pergi ke kota...” kata Bandi pamit sambil mengawasi Lisa yang sedang memasak. Yang dipamiti diam tak bereaksi. Ah, Lisa. Gumamnya, lalu keluar.
Bandi membeli seperangkat tape recorder stereo dan beberapa kaset. Aneh. Sungguh aneh bagi Lisa, semua kaset yang dibeli oleh Bandi berisi lagu-lagu kesayangannya. Langkah setapak Bandi, Lisa terpaksa mendengarkan lagu-lagu itu.
Hari-hari berikutnya Bandi menyibukkan diri dengan berternak ayam. Lisa mulai berani menyetel tape. Bandi menambah perabotnya dengan TV berwarna dan sepeda motor. Majalah kesayangan Lisa pun setiap terbit ia beli.
Lisa tambah heran. Setiap barang yang dibeli Bandi selalu yang disenangi. Sampai-sampai pada bunga-bunga yang ditanam Bandi di halaman muka. Hati Lisa berangsur luluh dan mulai simpati pada Bandi.
Suatu malam, sehabis Lisa makan, Bandi menghampirinya.
“Lisa, sudah tiga bulan kita dalam diam. Dan dua bulan lagi anakmu mungkin lahir. Tak baik terlalu egois. Kau harus memikirkan anakmu...” Bandi memandang wajah Lisa yang menunduk, “Kau tak boleh bersedih terus-menerus, kesehatanmu harus kau jaga. Demi anakmu dan demi dirimu sendiri...” tutur Bandi semakin berani.
Lagi-lagi Lisa Cuma menangis. Rasa simpati pada Bandi dan bencinya pada lelaki silih berganti menguasai dirinya.
“Lisa, kuminta malam ini kau sudi mendengar ceritaku. Cerita yang mendorongku untuk menolongmu.
Aku punya satu saudara. Perempuan. Dia adikku, namanya Mia. Mia Amelia. Aku sangat menyayanginya.
Dua tahun yang lalu dia mengalami nasib sepertimu. Mengandung dan ditinggal lari oleh pacarnya. Keputusan keluargaku seperti keluargamu. Tapi aku tidak. Aku ingin membunuh pemuda bangsat itu…” Bandi berhenti. Suaranya mulai berat dan Lisa mulai memperhatikan, lalu lanjutnya, “Untung saja pemuda itu tak ketemu. Akhirnya adikku jadi kawin dengan pemuda yang dibeli oleh ayah. Dan konyolnya pemuda itu sama brengsek dengan pemuda yang telah menghamilinya. Dia penjudi dan pemabuk. Memeras keluarga dan adikku seenak kemauannya.” Bandi mengatur napasnya yang terhanyut emosi, ekspresi wajahnya berubah merah. Ia ingat penderitaan adiknya yang tak kepalang tanggung.
“Lalu?” sela Lisa menunjukkan respon.
“Akhirnya adikku mati minum Baygon. Tak kuat memikul derita yang menggunung...” Bandi membenamkan wajahnya ke meja makan beberapa saat, kemudia sambil menatap Lisa, “Kau tentunya tahu kesedihan hatiku. Begitu remuk. Dan itulah yang mendorongku ingin menolongmu. Aku sangat kasihan padamu, dan tak berharap peristiwa yang menimpa Mia terulang...” dengan gerakan lesu Bandi bangkit memegang pundak Lisa. “Lisa, masihkan kau menganggap aku seharga lima juta?”
Lisa Cuma menggeleng. Ingin ia menatap wajah Bandi, meminta maaf. Namun rasa sesal dan malu menyergap dirinya, hingga ia menelungkupakan wajahnya ke meja. Kemudian isak tangisnya yang terdengar lirih.
Paginya Lisa sudah menyediakan sarapan untuk Bandi. Mereka tampak wajar sebagai orang berumah tangga. Yah, tiga bulan lebih mereka baru kelihatan bersanding. Damai. Wajah Lisa yang manis dan ceria tampak telah pulih kembali.
Sehabis sarapan ganti Lisa yang menceritakan masa lalunya, yang rupanya tak banyak geser dengan cerita Mia. Kesetiaan yang membabi buta yang menyebabkan ia mengorbankan mahkota kewanitaannya.
“Dan betapa aku muak melihat mas Bandi semula, kuanggap semua lelaki sama saja. Lisa minta maaf atas tuduhan ini...” Lisa menatap Bandi yang dari tadi mendengar ceritanya.
“Kau tak salah. Aku menyadari kebencianmu...”
“Mas Bandi yang kuherankan kesenangan kita banyak sama. Lagu-lagu dan bunga-bunga yang mas Bandi senangi adalah juga kesayanganku...”
“Tak usah heran, sebelum pindah aku memang telah tanya pada keluargamu...”
“Oh, kau betul-betul orang yang baik...”
“Jangan tergesa menilaiku...”
“Tidak, ini memang kesimpulan sementara...”
“Sudahlah, Lisa, aku lihat ternak dulu...” setelah berkata begitu Bandi bangkit dan segera memeriksa ternaknya.
Lisa mengawasi sambil mencuci piring. Ia baru sadar kalu Bandi gagah. Dalam pakaian training yang kini dikenakan, potongan tubuhnya betul-betul atletis.
Hari-hari berikutnya mereka tampak harmonis dan rukun. Sudah tiga kali Bandi mengantar Lisa kontrol kandungannya dengan naik becak. Siapapun yang melihat pasti merasa iri dan sama sekali tidak menyangka kalau mereka belum pernah tidur satu ranjang. Mereka memang sudah menyatu, sudah berbagi suka dan duka. Namun kata-kata cinta belum pernah tersisipkan di antara percakapan mereka.
Bandi memang dari awal sudah mencintainya, kini cintanya tambah sempurna. Sering ketika Lisa sedang terlena tidur ia menatapnya dalam-dalam. Membelai rambutnya perlahan. Di saat begitu kadang dendamnya timbul pada lelaki pengecut yang sampai kini namanya tetap dirahasiakan oleh Lisa. Dan ia sendiri tak pernah mengejar, ingin tahu. Takut akan mengungkit kepedihan Lisa.
Lisa juga tak jarang waktu Bandi membelai-belainya ia tersadar. Merasakan sentuhan kasih sayang Bandi yang tulus. Tapi ia tetap saja pura-pura tidur, ingin lebih lama merasakan belaian itu.
Memasuki bulan kesembilan kandungannya, Lisa tampak tambah sibuk. Segala keperluan untuk menyongsong kelahiran bayinya telah disiapkan. Bandi sendiri telah membelikan box mungil.
Pagi ini Bandi kelihatan panik, mondar-mandir di ruang tunggu rumah sakit. Lisa ada di kamar bersalin sedang menyambung nyawa untuk kelahiran anaknya.
Tiba-tiba ada lelaki dengan kursi rodanya mendekat pada Bandi. Lelaki dengan kedua kakinya yang buntung itu kelihatan gagah, kendati agak kurus dan pucat. Di sampingnya berdiri gadis cantik. Bandi mengawasi keduanya bergantian.
“Mas, suami Lisa?” tanya lelaki itu.
Lelaki itu menyalami Bandi.
“Saudara siapa?” tanya Bandi.
“Ah, nanti saudara tahu...”
Bandi duduk di kursi panjang yang bercat putih dan mempersilakan gadis pengantar lelaki buntung itu duduk.
“Saudara dari mana?” tanya Bandi mengulang.
“Saya dari jauh, mas...” lelaki buntung yang misterius itu mendesah. Mengeluarkan sapu tangan, lalu membersihkan peluh di kening dan lehernya. Kemudian, “Baiklah saya akan menceritakan dengan jelas semuanya siapa saya...”
Bandi diam saja. Separuh perhatiannya masih pada Lisa.
“Keluarga Lisa mana, mas?”
“Mereka sengaja tidak diberitahu oleh Lisa...”
“Oh...!”
“Sejak Lisa diasingkan mereka tak pernah menjenguknya.”
“Oh...!” keluh lelaki itu lagi. Dan hampir saja bersamaan dengan adiknya yang ohnya lebih keras, Cuma ditahan dengan dekapan tangan.
Bandi jadi memperhatikan lelaki dan adiknya yang ber-oh-oh setengah heran itu.
“Nama saya Santoso, mas, dan ini, Wati, adik saya...” lelaki yang akhirnya mengaku bernama Santoso itu menunjuk gadis pendampingnya, yang ditunjuk menganggukkan kepala, “Saya lelaki sial, delapan bulan yang lalu mendapat kecelakaan lalu lintas. Dan memaksa kedua kaki saya diamputasi...” Santosa jeda sejenak, memandang kedua kakinya yang buntung dengan tatapan mata sedih. “Dan tragisnya saat itu saya sudah kesengsem. Lengket. Serasa tak bisa hidup tanpa dia. Tapi saya tak mau pacar saya ikut menanggung beban atas musibah yang menimpa saya. Lalu saya pindah dari Surabaya, ikut om di Medan. Dan saya minta pada keluarga saya untuk betul-betul merahasiakan...” Santoso berhenti bercerita. Tampak ia berusaha menahan air matanya yang mau jatuh.
Bandi terhanyut oleh cerita itu. Sejenak lupa pada Lisa yang mengerang.
“Apakah saudara pacar Lisa?” tanya Bandi yang sudah menangkap ekor ceritanya.
“Yah, tepat. Malahan sudah nikah. Nikah secara diam-diam, karena kedua orang tua kami tidak merestui. Saya berharap Lisa segera hamil. Biar kami dikawinkan secara terang-terangan, kendati mesti mendapat dampratan terlebih dulu. Tapi musibah itu mendahuluinya...”
“Tuan Subandi!” Bandi berdiri dan buru-buru mendekat suster yang memanggilnya. Santoso bersama adiknya ikut mendekat di belakang Bandi. Lalu seorang suster lain yang menggendong bayi dari kamar bersalin juga mendekat, “Anak tuan cakep seperti tuan...” katanya.
Bandi, Santoso dan adiknya melongok bayi itu. Suster yang membawa bayi membungkuk, memperlihatkan bayinya pada Santoso.
“Mas, biarlah saya yang mengumandangkan adzan di telinganya...” pinta Santoso.
Bandi mengangguk.
Suara orang memanggil sholat itu bergema pelan. Merdu dan bergetar. Mendahului suara-suara lain yang akan didengar bayi itu.
Bandi terpaku haru, dan gadis di sebelahnya berderai air mata. Begitu juga kedua suster yang menyaksikan ikut terpaku. Mereka semua bahagia, tetapi haru dengan perasaan masing-masing.
Saat suster yang menggendong bayi mau kembali Santoso menahannya sejenak. Ia pegang pipi bayi yang merah itu. Kemudian mengantarnya dengan pandangan tajam.
Mereka kembali ke tempat tunggu semula.
“Mas Bandi, tolong rahasiakan kalau aku pernah ke sini…” suara Santoso masih berat.
“Apakah saudara tidak ingin ketemu Lisa dulu?”
“Maksud semula memang demikian, tapi kurasa lebih baik tidak. Aku ingin dia bahagia. Punya masa depan. Tak baik mengusiknya…”
“Oh...!” keluh Bandi yang disergap haru.
“Yah, masa depan. Tolong jangan disia-siakan mereka!” selesai berkata begitu Santoso menunduk.
Bandi juga menunduk.
Gadis yang memegang kursi roda Santoso tak bisa membendung air matanya.
Sebentar kemudian kursi roda itu perlahan menggelinding, menjauhi Bandi. Suara sepatu gadis yang mendorongnya kian lirih. Sementara tangis bayi terdengar melengking tinggi di sal. Santoso menoleh sejenak, lalu menghilang di tikungan.
Bandi yang mematung tak mendengar detak sepatu dan lengking tangis bayi itu. Ah...! Cuma itu yang keluar dari mulutnya lima menit kemudian.

Sidoarjo, Medio Agustus 1984

shopping


“Pap, ada tempat tidur model baru, cocok sekali dengan kamar kita…”
“Iya...”
Potongan pembicaraan itu terjadi minggu yang lalu antara pak Lukman dengan istrinya sewaktu mau tidur. Namun sampai malam ini pak Lukman masih terusik otaknya oleh pembicaraan itu. Ia tahu persis ekor pembicaraan itu, kalau istrinya ingin beli tempat tidur yang baru saja dilihatnya di furniture exposition. Padahal tempat tidur Alganya belum sampai setahun.
Memang sejak perusahaan pak Lukman maju pesat istrinya telah menjadi konsumtif. Bulan kemarin istrinya baru dibelikan mobil pribadi. Pak Lukman yang didesak terus-menerus akhirnya terpojok juga untuk menuruti kemauan istrinya.
Inilah yang sebenarnya membuat pak Lukman pusing. Ia khawatir istrinya semakin jauh menjadi orang yang tak pandai bersyukur, konsumtif dan pada akhirnya akan menjerumuskan dirinya.
“Pap, bulan depan shopping yok...” kalimat ini baru diucapkan tadi malam oleh istrinya. Dan pak Lukman paham betul kalau yang dimaksud istrinya paling tidak shopping ke Singapura.
Gila. Masak tiga bulan sekali mesti ke luar negeri. Aku tidak bisa terus-menerus menuruti kemauan istriku. Yah... harus aku stop. Tapi aku memang telah berjanji. Aku ingat betul kata-kata itu, “Aku akan menuruti apapun yang kau minta kalau kau mau jadi istriku...” yah... begitu kataku saat mengajak kawin istriku dan kini dia menuntut.
Baik aku stop tanpa melanggar janjiku.
Lukman masih bergulat dengan pikiran-pikirannya ketika istrinya mendekat, “Bagaimana pap, apa jadi kita shopping...?” tanya istrinya tetap tanpa ekspresi lalu duduk berseberang dengan Lukman.
“Oke, tapi setelah dari shopping kau harus bersedia mengikuti acaraku...” jawab Lukman.
“Tentu... dengan senang hati...” jawab istrinya.
Ternyata istrinya mengajak ke Hongkong. Dan selang beberapa minggu pulang dari Hongkong ganti Lukman mengajak istrinya. Maka pagi itu tampak Lukman dan istrinya bersiap-siap. Dani anak merka satu-satunya yang masih berumur tiga tahun diserahkan ke bi Inah, pembantu mereka. Rupanya perjalanan yang direncanakan Lukman tidak terlalu jauh, sebab mereka tanpa membawa pakaian ganti.
“Pap, kita ke mana?” tanya istrinya sewaktu mobil yang ditumpangi baru saja meluncur ke jalan raya.
“Pokoknya hari ini kita betul-betul rekreasi. Kuharap kau konsekuen...”
“Iya... tapi ke mana?”
“Biar surprise dong...!”
Istrinya diam. Ia rupanya paham kebiasaan suaminya yang suka membuat surprise. Sementara Soleh, supir mereka membelokkan mobil ke arah kiri dan tak lama kemudian mereka berhenti di depan wisma rehabilitasi sosial.
Lukman turun dan langsung menuju pos penjagaan untuk melapor maksud kedatangannya. Kemudian dengan diantar oleh seorang petugas, mereka menyaksikan kegiatan yang ada dan menengok seluruh ruangan. Lukman sendiri sempat berwawancara dengan beberapa orang penghuninya yang ternyata semuanya bekas gelandangan.
Dari wisma rehabilitasi sosial mereka berganti obyek ke panti asuhan anak yatim. Istri Lukman yang sedari tadi bingung semakin bingung. Ia belum bisa menangkap apa tujuan suaminya mengunjungi kedua tempat itu. Di sini Lukman juga berwawancara dengan beberapa petugas dan beberapa anak yatim. Kemudian sebagaimana yang diperbuat di wisma rehabilitasi sosial tadi, ia membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim tersebut. Hati Lukman sempat berbunga melihat istrinya meneteskan air mata menyaksikan anak-anak itu.
Tengah hari mereka keluar dari panti asuhan dan beralih ke rumah sakit. Di sini Lukman mengajak istrinya untuk menengok seluruh kamar yang ada di rumah sakit itu, yang dihuni oleh orang-orang yang semuanya sedang sakit.
“Pap, kasihan mereka…” kata istrinya saat menyaksikan orang-orang yang badannya habis diamputasi.
“Ya,” Cuma itu jawab Lukman. Tapi hatinya kini betul-betul berbunga kendati pada sisi lain ia sedih seperti istrinya.
Sekeluar dari rumah sakit Lukman memerintah sopirnya menuju ke pekuburan yang letaknya di luar kota, tapi sebelum sampai di situ Lukman menyuruh berhenti ketika melihat ada sebuah gedung yang sedang dibangun.
“Mam, yok kita ke tengah bangunan itu…”
Istrinya Cuma mengangguk. Dan ternyata Lukman hanya ingin menunjukkan pekerja-pekerja wanita yang sedang mengangkut batu dan bahan bangunan lainnya.
Lukman memanggil salah seorang dari kuli perempuan setelah terlebih dahulu meminta ijin kepada mandor bangunan.
“Berapa gaji satu hari?” taya Lukman setelah kuli perempuan yang dipanggil tadi mendekat.
“Seribu lima ratus, Tuan…”jawab perempuan itu sambil mengusap peluh di lehernya.
“Berat?” lanjut Lukman.
“Ya Tuan, terpaksa…”
“Kenapa?”
“Ada dua anak yang menjadi beban saya…”
Lukman terus melanjutkan pertanyaannya, sementara istri Lukman menyaksikan perempuan itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Ia melihat kulit wanita itu menjadi legam karena dibakar mentari terus-menerus dan peluh menjadikan kulit legam itu mengkilap. Diam-diam rasa iba merambati hatinya berbarengan dengan rasa syukur atas keberadaannya.
Lukman mengakhiri pertanyaannya dengan memberikan dua lembar uang puluhan ribu. Perempuan itu membalas dengan terima kasih berulang-ulang dengan wajah yang berbinar-binar.
Sebentar kemudian mobil Lukman meluncur ke pekuburan.
“Linda, ini obyek terakhir refreshing kita…” kata Lukman kepada istrinya ketika memasuki pintu gerbang pekuburan. Istrinya hanya menunduk, matanya menatap macam-macam nisan yang berbaris tak rapi. Tidak seperti biasanya kalau memasuki plasa, matanya begitu lincah menatap barang-barang dan banyak komentar tentang barang-barang itu.
Sampai di tengah pekuburan Lukman berhenti.
“Kita juga akan seperti mereka, meninggalkan dunia yang kita cintai dengan hanya membawa sepotong kain kafan…” kata Lukman mengawali khotbahnya. Tapi ia sendiri tidak jadi meneruskan kata-katanya. Ia telah terjebak oleh keharuan dan kesadaran yang diciptakan oleh situasi dan kondisi pekuburan. Ia ingat umurnya yang sudah empat puluh tahun. Ia ingat kewajiban agama yang banyak ia lupakan.
Lukman menoleh kepada istrinya dan mengajaknya pulang dengan isyarat anggukan kepala. Lalu mereka pulang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Pap, sudah jam 13.30 kita sholat dulu, yok!” mendengar ajakan istrinya ini hati Lukman berbongkah-bongkah senang, karena sudah hampir dua tahun tak pernah sholat.
“Oke, biar terlambat kesadaran ini tak perlu kita tunda,” begitu jawab Lukman kemudian.
Mobil mereka belok ke arah masjid, namun tiba-tiba ada truk dari belakang dengan kecepatan tinggi. Dan truk itu hampir saja menghantam mobil mereka. Tapi rupanya Tuhan belum menghendaki hinggi truk itu berbelok arah ke lapangan.
Meskipun begitu istri Lukman sempat pucat dan terpaku beberapa saat lamanya.
Seminggu setelah acara itu, ketika mereka baru saja makan malam Lukman berkata, “Mam, tahun depan saja kita shopping lagi,” istrinya yang sudah nangkap penuh tujuan rekreasi minggu kemarin cuma diam dan memandang Lukman dengan sorot mata heran.
“Setuju?” sesak Lukman.
“Ke mana?”
“Ke Saudi.”
“Haji?”
“Insya Allah.”

Sidoarjo, 27 Agustus 1987

singa dari bentangsari


Entah untuk kali yang keberapa pemuda-pemuda itu dikecewakan oleh pak Malik. Lagi-lagi mereka pulang dengan tangan hampa. Pak Malik yang dirayu dengan bermacam cara tetap saja bungkam. Wajar kalau ia tambah wibawa. Betapa tidak, pada saat orang lain ramai-ramai menuntut haknya sebagai veteran 45, pak Malik malah bungkam tentang perjuangannya.
Memang orang yang dijuluki singa revolusi dari desa Bentangsari itu kian tua kian alim. Ia selalu menolak pemberian hadiah dari manapun datangnya yang selalu dikaitkan dengan perjuangannya semasa revolusi dulu. Malah tidak jarang ia menolak sambil menangis. Padahal menangis dulunya adalah pantangan bagi pemuda Malik. Teman-temannya yang gugur oleh peluru Belanda tidak ada yang ditangisi, kecuali dijadikan pelecut semangatnya. Bahkan ketika ayah ibunya mati dengan perantara mortir Belanda ia hanya meratap dengan ekspresi dendam yang membara, “Aku akan balas bajingan-bajingan itu!!!” itulah kalimat yang dipekikkan ketika usai mengubur jenazah ibu bapaknya.
Barangkali pak Malik sudah puas melihat anak cucunya hidup merdeka. Bisa mencari ilmu dengan leluasa dan fasilitas hidup yang cukup, serta dengan jabatannya sendiri selaku penjaga masjid.
Tapi sikap pak Malik itu membuat pemuda-pemuda itu penasaran. Terutama Ardhi yang mempelopori pemuda-pemuda itu untuk membukukan cerita perjuangan pak Malik dengan teman-temannya, khususnya yang sekampung. Ayah Ardhi sendiri adalah sahabat karib pak Malik yang gugur di medan laga.
Sebetulnya sejarah kecil yang ditulis oleh para pemuda itu sudah hampir selesai, tinggal menunggu pelengkap dari pelaku utamanya, yaitu pak Malik. Tapi kini jalan semakin sempit bagi mereka untuk mengorek cerita dari pak Malik.
“Bagaimana, apakah kita tetap menunggu cerita dari pak Malik?” tanya Ardhi pada teman-temannya.
“Aku pikir tak usah. Toh kebenaran cerita yang kita tulis sudah dapat dipertanggungjawabkan…” jawab Amron.
“Yah… empat sumber sudah cukup…” Laila menopang pendapat Amron.
“Cukup sih cukup, tapi kalau pak Malik mau memberi keterangan buku yang kita tulis akan lebih sempurna. Sebaiknya kita coba sekali lagi…” sanggah Dirman diplomatis, “aku punya ide…”
“Coba jelaskan!” pinta Ardhi yang terpancing penasaran.
Dirman mengangguk-anggukkan kepala.
“Ayo, Dir, jelaskan. Penasaran nih...“ sambung Laila tak sabar.
“Oke, tapi kita duduk dulu. Jangan di tengah jalan seperti ini…”
Mereka setuju dengan ususl Dirman. Dan sebentar kemudian mereka sudah duduk di ruang tamu rumah Laila.
“Ideku simple saja…” Dirman memotong suaranya dengan meminum minuman yang baru saja dikeluarkan oleh Laila, “kita tidak usah meminta cerita pada pak Malik. Kita baca saja cerita yang telah kita tulis di hadapan pak Malik, kemudian pak Malik tinggal menjawab benar atau tidak. Tapi resikonya kita bisa dianggap pemuda yang tak sopan dan tidak menghargai pahlawannya…”
“Gawat juga…” desah Amron. Yang lain pada diam, menimbang-nimbang.
Akhirnya mereka setuju dengan ide yang dianggap kurang sopan itu.
***
Pak Malik baru saja menunaikan sholat Isya’ ketika para pemuda itu datang.
“Apa lagi? Sudah kukatakan aku tak mau bercerita tentang masa revolusi,” kata pak Malik mendahului mereka setelah berbasa-basi sebentar.
“Kami tidak minta cerita, pak Malik…” jawab Laila yang memang ditunjuk sebagai juru bicara.
“Lantas apa?”
“Kami yang ingin bercerita dan pak Malik hanya kami mohon untuk mendengarkan…” lanjut Laila.
“Yah, habis pak Malik diam saja, ya kamilah yang bicara…” tambah Ardhi.
“Pak Malik tidak keberatan, kan?” tanya Laila.
Pak Malik diam. Dan pemuda-pemuda itu menunggu dengan harap-harap cemas.
“Baiklah…”
Horeee! Berhasil! Begitu pekik mereka mendengar jawaban dari orang tua yang mereka kagumi itu. Dan tentu saja pekik riang itu cuma dalam hati. Tak seberapa lama kemudian mereka memberi isyarat pada Laila untuk memulai.
“Begini pak Malik, sebetulnya kami telah berupaya membukukan cerita-cerita kepahlawanan pemuda-pemuda desa sini pada masa revolusi dulu...” Laila diam sejenak, terlihat olehnya wajah pak Malik mulai berubah. Tapi ia terlanjur nekad, “Terutama yang menyangkut pak Malik...”
Pak Malik kontan berdiri begitu mendengar namanya disebut, lalu masuk meninggalkan para pemuda itu di ruang tamu. Rasa senang para pemuda itu pada awal tadi mendadak sontak berubah menjadi pesimis. Mereka saling pandang dan tampak putus asa. Beberapa lama kemudian perasaan mereka berubah lagi menjadi tanda tanya yang besar kala melihat orang tua itu keluar membawa nampan berisi air teh.
“Silakan minum!” kata pak Malik ramah setelah meletakkan gelas-gelas itu di atas meja.
Pemuda-pemuda itu langsung meminumnya untuk menghilangkan ketegangan.
“Aku sebagai orang tua sangat senang dengan kegigihan dan ketekunan kalian. Tadi sebetulnya aku menolak jebakan kalian...“ pak Malik menyulut rokok yang dari tadi sudah dipegangnya, “tapi setelah aku pikir dalam-dalam aku menyadari bahwa sikap bungkamku selama ini adalah salah. Salah besar! Seharusnya sejak dulu aku menceritakan pada kalian, biar semuanya tahu dengan jelas...” orang tua itu menghisap rokoknya kuat-kuat. Wajahnya berubah menjadi tenang. Tenang sekali seolah-olah memberi kesempatan para pemuda itu untuk mengatur konsentrasinya. Dan hal ini memang diperbuat oleh pemuda-pemuda itu dengan membetulkan letak duduknya masing-masing. “Sebab penulisan sejarah yang salah akan berakibat fatal. Apalagi kalau kesalahan itu disengaja...”
“Itulah sebabnya yang membuat kami terus mendesak pada bapak...” Ardhi sudah mulai bicara lagi.
“Yah, aku menyadari...” pak Malik berdiri, “Sekarang mau kalian bagaimana?”
“Sebaiknya kami yang bertanya dan bapak tinggal menjelaskan. Terus terang kami sudah mendengar banyak tentang kehebatan bapak dari pak Tejo, pak Rosyid dan pak Rohim...” jawab Laila.
“Yah... mereka senang sekali cerita tentang kehebatan bapak...” topang Ardhi.
Pak Malik menunduk mendengar pujian itu.
“Bisa kami mulai, pak?” tanya Laila.
“Bisa... silakan...”
Segera saja terjadi tanya jawab antara pemuda-pemuda itu dan pak Malik. Dan ternyata semua yang mereka dengar dari pak Rosyid, pak Tejo dan pak Rohim dibenarkan. Pak Tejo pernah menceritakan bahwa dulu pemuda Malik kalau perang sering berdiri dan tak pernah gentar sedikitpun. Kelebihan pemuda Malik yang diketahui oleh pak Rohim adalah dia pernah menghadang konvoi Belanda sendirian dan bahkan sambil berdiri di tengah jalan, tapi cukup membuat Belanda itu lari tunggang langgang. Dan pak Rosyid sampai sekarang belum bisa melupakan keberanian temannya ini, yang menaiki tank Belanda lalu memasukkan granat tangan ke dalamnya yang akhirnya mengkoyak-moyak bule-bule keparat yang ada di dalamnya. Yah semua cerita itu dibenarkan oleh pak Malik. Tapi di wajah tuanya itu tak tampak sedikitpun kebanggaan, malah guratan-guratan sedih menampak jelas. Barangkali ia ingat teman-temannya yang telah gugur.
“Kami betul-betul bangga sebagai pemuda di desa sini mempunyai pahlawan yang gagah berani...” puji Ardhi polos.
Lagi-lagi pak Malik menunduk.
“Yah... kami berjanji akan mewarisi jiwa patriotik bapak...” Laila lebih semangat.
Pak Malik tetap menunduk.
“Doakan saja, pak. Bukankah dalam masa pembangunan ini membutuhkan banyak jiwa-jiwa yang rela berkorban dan tanpa pamrih seperti bapak...” Retno yang dari tadi diam tak mau ketinggalan.
Pak Malik semakin menunduk. Air matanya mulai bergulir membasahi kedua pipi tuanya. Kini betul-betul terbayang kembali suasana revolusi dulu. Terbayang ayah Ardhi yang mati di sampingya. Terbayang Tohir, komandan yang mati secara massal bersama teman-temannya, terbayang kedua orang tuanya yang mati mengerikan kena mortir Belanda. Yah semuanya terbayang kembali dengan jelas.
Tiba-tiba pak Malik memekik, “Tidak! Tidak! Aku bukan pahlawan, tapi penghianat bangsa dan negara...” pak Malik memukulkan tinjunya ke dinding. “Yah, ...aku bukan pahlawan, catat baik-baik...”
Ardhi bangkit mendekat pada pak Malik, “Baiklah kalau bapak tidak mau disebut pahlawan, tapi yang jelas bapak bukan penghianat, kan?” bujuk Ardhi pada pak Malik yang memang tidak senang dipuji.
Pak Malik menghadap Ardhi lalu memandang para pemuda itu satu-persatu, “Kalian tidak tahu, dan memang tidak ada yang tahu kecuali diriku sendiri dan Tuhan. Hari ini adalah hari akhir dari kebohonganku yang besar. Aku adalah mata-mata Belanda yang menyusup menjadi tentara,” orang tua itu menjambak rambutnya dan para pemuda itu terperangah, “Kenapa kalau perang aku berani sambil berdiri, sebab aku telah mengenakan sesuatu tanda yang dengan tanda itu Belanda tak mungkin menembakku. Kenapa aku berdiri menghadang konvoi Belanda sendirian, sebab yang kulakukan sebenarnya bukan menghadang, tapi aku memberitahu kalau mereka diancam bahaya oleh tentara Indonesia yang menghadang di jembatan yang akan dilaluinya.” Pak Malik kembali berhenti beberapa saat dan melihat kedua telapak tangannya, “Kedua tanganku ini telah berlumur dosa, kendati pada akhirnya aku banyak membunuh Belanda. Yah aku memang banyak membunuh Belanda dengan kenekadan di luar akal. Aku memang yang membakar gudang mesiu di markas Belanda, aku memang sudah tiga kali menaiki tank dan menghancurkannya. Yah... aku memang banyak membunuh Belanda, tapi bukan untuk bangsa dan negara. Tidak! Melainkan karena dendamku yang membara. Yah... serangan Belanda yang membabi buta telah membunuh kedua orang tuaku, aku jadinya balik pantat. Oleh karenanya orang lain mengatakan aku pemberani, patriotik dan macam-macam sebutan lainnya. Tapi aku sendiri telah menganggap diriku gila.
Sekarang semuanya sudah jelas. Kalau kalian tetap ingin membukukan riwayatku, silakan! Dan tulislah dengan huruf besar ’Malik penghianat bangsa’ sebagai judulnya. Aku rela menerima cacian, bahkan kutukan. Tapi aku bersyukur tidak dikaruniai anak oleh Tuhan, sebab aku khawatir jika anak-anakku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya penghianat bangsa,” orang tua itu menyudahi pengakuannya. Lalu kembali menatap pemuda-pemuda itu satu persatu. Tampak sekali mereka kecewa mendengar penjelasannya.
“Kalian sudah mendengar penjelasanku?”
“Tidak, kami tetap kagum...” jawab Ardhi tegas.
“Kagum?”
“Yah, pak Malik telah menebusnya dengan setimpal...”
“Setimpal?”
“Yah...”
Pak Malik tercengang.
“Aku ingin tanya pada kalian, selaku pemuda dapatkah kalian memaafkan aku...?” suara pak Malik melemah dan dia mendekat pada Ardhi.
“Kenapa tidak, pak?” masih Ardhi yang menjawab, karena yang lain masih diliputi rasa tidak percaya.
“Biar tuntas kuberitahukan juga, bahwa ayahmu, Ardhi, tidak mati oleh siulan peluru Belanda, melainkan kutembak sendiri, lantaran aku khawatir dia akan membuka rahasiaku...” Ardhi langsung lemas mendengar pengakuan tambahan dari pak Malik. Buku yang dipegangnya jatuh dan terbuka. Terbaca oleh pak Malik sebuah kalimat yang diberi garis bawah, “AKU BANGGA AYAH GUGUR MEMBELA BANGSA”.
“Ardhi, nilai kepahlawanan ayahmu tidak berkurang...”Laila berusaha mengurangi goncangan Ardhi.
“Yah... pak Malik hanya perantara syahidnya ayahmu saja...” tambah Retno menopang usaha Laila.
Kasihan kau anak muda, sebetulnya ayahmu sama seperti aku, penghianat. Hanya dia lebih licik. Yang kumaksud rahasiaku adalah dendamku pada Belanda. Sayang kata-kata pak Malik ini cuma dalam hati. Ia memang ingin mengutarakan biar tuntas. Biar sejarah ini lurus. Tapi ia melihat Ardhi yang lunglai, Ardhi yang sangat membanggakan jiwa kepahlawanan ayahnya. Pak Malik membenamkan wajahnya ke dinding.
Oh, Tuhan ampuni hamba-Mu yang tak mampu meluruskan sejarah ini.

Sidoarjo

kupu-kupu


Ulat adalah binatang yang menjijikkan, malas dan tak bisa bergerak lincah. Binatang-binatang lain sering mengejeknya sebagai binatang jorok dan tak punya keindahan. Tentu saja ulat menjadi sedih mendengar ejekan ini. Tapi apa boleh dikata kenyataannya memang demikian.
Pernah suatu ketika pada perayaan binatang diselenggarakan bermacam-macam jenis lomba. Dan dari bermacam-macam lomba itu tak satu pun dimenangkan oleh ulat. Lomba kecepatan terbang dimenangkan oleh burung merpati, lomba keindahan dimenangkan oleh burung merak, lomba merayap dimenangkan oleh cicak, lomba petak umpet dimenangkan oleh semut. Yah, hampir seluruh binatang memenangkan paling tidak satu jenis lomba, kecuali ulat yang tak kebagian.
Beberapa ulat memang menjadi sedih dengan kenyataan di atas, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Untung mereka cepat menyadari bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan. Tuhanlah yang menjadikan semua makhluk dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pada suatu hari pemimpin ulat bercakap-cakap dengan merak, “Hai, burung merak, alangkah senangnya bila aku mempunyai sayap dan bulu-bulu indah seperti kamu…” kata ulat.
“Ouu… kau juga bisa seperti aku…” jawab merak.
“Betulkah itu merak?” lanjut ulat penasaran, “Bagaimana caranya?”
“Mohon saja pada Tuhan. Dia kan Maha Pengasih, pasti Dia mengabulkan permohonan semua makhluk-Nya…” jawab merak meyakinkan.
“Iya… ya… baiklah akan kucoba…”
Kemudian pemimpin ulat berpisah dengan merak. Pemimpin ulat pulang dengan wajah berseri-seri. Ia membayangkan semua ulat akan mempunyai sayap dan bulu-bulu indah. Di tengah jalan ulat berjumpa dengan burung merpati. Mereka pun bertegur sapa dan bercakap-cakap. Di hati pemimpin ulat timbul juga rasa iri melihat burung merpati yang bisa terbang cepat.
“Burung merpati, alangkah senangnya bila aku mempunyai sayap dan bisa terbang cepat seperti kamu…” kata ulat menyampaikan isi hatinya.
“Ah, ulat, gampang saja kalau kau mau…” balas merpati.
“Tentu saja aku mau. Tapi bagaimana caranya?” lanjut ulat penuh harapan.
“Hee… ulat, kita kan punya Tuhan. Ya… minta dong pada Tuhan…”
“Oh, ya… baiklah aku akan minta pada Tuhan. Terima kasih atas nasihatmu…” kata ulat menyudahi omongannya dengan wajah berseri-seri.
Lalu mereka berpisah. Merpati melanjutkan perjalanannya mencari makanan untuk anak-anaknya dan ulat langsung pulang. Begitu tiba di rumah ia langsung memanggil semua ulat. Ia kemudian menceritakan semua yang baru saja ia alami yaitu perjumpaannya dengan merak dan merpati, sampai nasihat mereka untuk memohon pada Tuhan.
Maka pada esok harinya semua ulat berpuasa dengan membungkus dirinya menjadi kepompong dan terus-menerus berdoa pada Tuhan. Mereka memohon agar diberi sayap dan bulu-bulu indah, juga bisa terbang seperti burung merpati.
Genap tiga minggu mereka berpuasa dan berdoa tiba-tiba ada perubahan pada diri mereka. Doa mereka dikabulkan oleh Tuhan. Mereka mempunyai sayap dan bulu-bulu yang indah. Tidak Cuma itu tubuh mereka yang menjijikkan berubah pula menjadi elok, serasi dengan sayapnya.
Mereka dengan riang keluar dari kepompongnya dan mulai belajar terbang. Dan alangkah senangnya mereka betul-betul bisa terbang, meskipun tak secepat merpati. Mereka betul-betul bisa berkejar-kejaran, melambung-lambung riang dan berayun-ayun di tangkai-tangkai bunga.
Suatu hari mereka berpapasan dengan burung merpati dan merak, lalu ulat menyapa, “Hai, merpati dan merak yang baik hati!”
“Hai, siapa kau?” Tanya merak dan merpati hampir bersamaan.
“Hai, kok lupa?” jawab ulat.
“Aku kan belum kenal kamu, tapi kau kok tahu aku…” lanjut merak mendahului merpati.
“Masak, aku kan ulat…” jawaban ulat ini sungguh mengejutkan merpati dan merak. Dan sebelum mereka kehilangan keheranan mereka ulat menceritakan semua yang dialami. “Aku betul-betul menyampaikan terima kasih atas nasihat kalian berdua dulu…” begitu kata ulat mengakhiri keterangannya.
“Yah… tapi kau harus selalu bersyukur pada Tuhan…” kata merpati.
“Oh… tentu… tentu…”
kemudian mereka berpisah, tapi belum begitu jauh jarak mereka merak memanggil ulat lagi, “Hai ulat, bagaimana kalu kau sekarang kupanggil kupu-kupu biar sesuai dengan keindahanmu?”
“How… alangkah indahnya nama itu, aku setuju…” sahut merpati mendukung usul merak.
Ulat begitu gembira mendengar nama itu hingga ia tak mampu menjawab usul merak yang disetujui merpati itu. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
Dan sejak itu ulat yang telah bersayap dipanggil kupu-kupu. Mereka selalu riang dan bersyukur pada Tuhan. Begitulah siapa yang mau berusaha dan berdoa pasti Tuhan Yang Maha Pengasih mengabulkan.
Sebetulnya adik-adik bisa bermain dengan kupu-kupu, tapi sayang mereka terus terdesak oleh bangunan-bangunan yang dibuat manusia.

Sidoarjo, 1 Juli 1987