Selasa, 07 Agustus 2007

baling-baling kehidupan


Badrun memperlambat langkahnya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mengulang pertimbangan yang baru saja ia putuskan sendiri. Ya sendiri. Ada memang baku tanya, tapi itu terjadi antara hati kecilnya sendiri. Sementara wanita yang ia kuntit di jalan yang lengang itu semakin jauh.
Sosok Badrun kini diuji. Dalam baku tanya tadi ia sudah nekad konsekuensi puncak pun akan ditanggungnya. Ia akan meninggalkan segala nasihat yang pernah ia terima dan ia anggap membelenggu dirinya. Tapi hal ini sebetulnya sudah mulai terjadi sejak dia dua bulan menjadi penghuni Surabaya. Mula-mula ia tidak disiplin dalam sholat, kemudian ia meninggalkan sama sekali, kemudian ia tak pernah menjamah Al-Quran, kemudian ia berkenalan dengan minuman keras, kemudian terus merasuk ke larangan Tuhan yang lain. Hanya satu yang belum pernah ia perbuat yaitu tindak kriminal. Ya Badrun telah berubah. Ia tidak tahan bantingan dan begitu saja hanyut di air keruh. Ia tidak lagi sebagai Badrun yang penuh sopan santun dan tekun beribadah.
Satu langkah lagi Badrun menambah poin ia akan menjadi berandal utuh. Dan kini Badrun akan melaksanakannya. Ya sebentar lagi Badrun akan menjadi utuh. Seratus persen telah berubah.
Tapi sebetulnya Badrun tidak akan menjadi berandal yang utuh. Sebab sampai kini setiap ia berbuat dosa ia selalu dibayang-bayangi oleh fatwa guru mengajinya dan nasihat emaknya. Dan barangkali mereka berdua sekarang sedang berdoa untuk keselamatan Badrun.
Yang aneh rencana nekad Badrun berawal dari keinginannya untuk pulang. Untuk jumpa dan menggembirakan mereka, terutama emaknya. Wajah tua yang selalu tabah dalam menghadapi alur hidupnya yang penuh tanjakan-tanjakan kepedihan dan penderitaan.
“Ah, persetan dengan semua pertimbangan, yang penting aku dapat uang, pulang dan membuat emak gembira. Apa kata orang kalau aku pulang seperti gelandangan. Sedang untuk menundanya aku tak mampu, rinduku sudah menyentak-nyentak.”
Begiru tekad Badrun kembali berputar di benaknya. Maklum sudah dua kali lebaran ia tidak pulang.
Badrun mempercepat langkahnya lagi. Bahkan agak keburu. Begitu jarak Badrun dengan wanita yang dikuntitnya kira-kira tinggal 10 meter lagi ia ulangi membaca situasi dan kondisi di jalan yang lengang itu. Cukup aman. Sepi. Ia lebih bergegas, tetapi tiba-tiba saja darahnya terkesiap. Sekujur tubuhnya gemetar bagai peragawati yang baru tampil perdana terserang demam panggung. Ia berusaha mengatasi, ditariknya napas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa gemetar. Tapi tak berhasil, malah muncul bayangan ibunya yang menuding-nuding dan berkata, “Kalau kau lakukan kau bukan anakku…”
Badrun menghentikan langkahnya. Sama sekali. Menepi, lalu bersandar di pagar. Ah, diriku memang tak berbekal apa-apa. Katanya menyesali diri.
Biarlah aku pulang pada lebaran seperti pada saat aku berangkat, yang penting aku bisa sungkem dan menumpahkan rinduku pada emak. Untuk apa aku lari dari kenyataan.
Penyesalan itu kini menyergap Badrun, merambati hati putihnya. Deretan dosa yang pernah ia perbuat satu persatu hadir kembali dalam bayangannya sampai yang terakhir pada bulan Ramadhan ini. Ya... ia belum pernah puasa sampai bulan Ramadhan menjelang akhir.
Aku harus segera pulang. Harus! Dan tak akan meninggalkan emak lagi. Kasihan kalau pada sisa-sisa umurnya ia hidup sendirian. Tanganku masih muda dan kuat. Nafkah bisa kucari di seputar desaku.
Badrun melihat lengannya. Yah... tampak masih kokoh. Bahkan lebih kokoh daripada sebelum ia meninggalkan desanya. Maklum ia telah menjadi kuli pelabuhan tiga bulan terakhir ini.
Mata Badrun mengikuti kembali pada wanita yang tadi dikunititnya. Sudah jauh dan hampir sampai di tikungan. “Ah, kau ditakdir Allah selamat. Aku juga. Terima kasih Tuhan...”
Ia meneruskan langkahnya kembali. Searah dengan wanita yang dikuntitnya tadi. Langkahnya tenang dan tak ada getar-getar tegang. Sayub-sayub ia mendengar suara orang tadarus. Kesadaran Badrun kini telah utuh dan ada yang mendadak menggelitik hatinya. Ia ingin nimbrung ke orang-orang yang lagi tadarus, ikut bersama mereka mengalunkan firman-firman Tuhan. Firman yang apabila dibaca akan mendatangkan ketentraman hakiki.
Tiga tahun aku tidak menyentuh Al-Quran. Apakah aku masih bisa mengenal huruf-hurufnya. Oh... demikian laknat aku. Bagaimana aku bisa mendapatkan hidayah kalau pegangan yang harus kugenggam erat malah kutinggalkan. Baik malam ini juga akan kutumpahkan rinduku padamu.
Tapi niat Badrun yang menggebu-gebu untuk nimbrung pada orang yang lagi tadarus itu segera mengendor manakala ia menyadari pakaiannya yang lusuh bak gelandangan. Lalu ia memutuskan untuk mendengar saja. Bukankah mendengarkan Al-Quran yang sedang dibaca akan mendapat pahala sama dengan yang membacanya.
Tiba-tiba keinginan dan keragu-raguan Badrun menjadi terganggu oleh teriakan orang yang susul menyusul ramai dari arah ujung jalan. Dalam keremangan lampu samar-samar ia melihat dua orang yang sedang lari dan di belakang mereka beberapa orang mengejarnya. Spontanitas Badrun mengatakan pasti terjadi penjambretan.
Badrun menghadang. Karakter aslinya yang suka menolong orang timbul. Dalam hal begini ia memang tak pernah gentar. Dan begitu jarak sergap sudah cukup ia langsung menyergap orang yang terdepan. Tak ayal orang itu terjerembab dengan cukup keras, namun pada saat yang hampir bersamaan ada benda panjang berkelebat ke arah kepalanya. Badrun sempoyongan lalu jatuh. Kejadian berikutnya ia tidak tahu sama sekali.
Beberapa orang segera meringkus orang yang disergap Badrun, beberapa orang lagi menolong Badrun dan sebagian besar mereka mengejar kawanan jambret yang berhasil memukul Badrun. Sisanya acuh tak acuh atas kejadian itu. Mereka cuma menonton. Malah ada yang berkomentar sumbang, “Salah sendiri menolong orang nggak memperhitungkan keselamatan sendiri…”
Ketika siuman Badrun merasakan kepalanya sangat pening dan perutnya terasa mual. Samar-samar ia menjumpai sekelilingnya tembok bercat putih dan peralatan medis saling silang.
Ia belum mampu mengingat kejadian sebelumnya dan ketika pening di kepalanya semakin bertambah ia mengatupkan matanya. Kemudian ia tertidur. Ah, tidak, ia pingsan lagi. Kejadian begini terulang beberapa kali.
Pagi ini ia sadar kembali. Matanya mulai mampu menangkap tembok yang bercat putih, lalu mengenali peralatan medis di seputarnya. Selang infus yang masuk lewat lubang hidungnya ia pegang. Perlahan ia menoleh tatkala ada tangan yang memegang tangannya. Kiranya seorang suster yang khawatir ia akan mencabut selang yang masuk hidungnya. Sang suster hanya membalas dengan senyum ramah. Badrun hanya samar-samar menangkap sosok itu. Kemudian ia meraba kepalanya yang dirasa pening dan menemui balutan tebal.
“Suster, apa yang terjadi pada diriku?” tanya Badrun dengan suara lemah.
“Tenanglah, jangan banyak bicara…” jawab suster tetap ramah.
Badrun menurut. Ia diam. Tapi pikirannya mencoba meraba apa yang terjadi pada dirinya. Ia tak menemukan apa-apa. Hanya sebersit rindu melintas di benaknya.
“Saudara, jangan memikirkan apa-apa. Ketenangan Saudara akan membantu kesembuhan Saudara…” kata suster setelah melihat Badrun seperti sedang berpikir.
Badrun mencoba menuruti perintah suster untuk mengosongkan otaknya. Tapi tiba-tiba ia menemukan sesuatu. Bayangan ibunya tergambar jelas. Ya… sebersit rindu itu untuk emaknya. Lama-kelamaan bayangan emaknya semakin tampak kuat menjadikan ia tak mampu mengosongkan otaknya. Kini bayangan itu ditimpali oleh ingatannya yang lain. Ya ia ingat kalau lebaran ini ia ingin pulang. Ingin menumpahkan rindu pada emak dan kampung halamannya.
Ia menoleh pada suster yang setia menjaganya itu. Pandangannya bertatap. Ia menangkap rasa iba di sorot mata suster itu.
“Suster, apakah saya bisa lebaran di kampung?” tanya Badrun dengan nada pesimis.
Suster itu hanya diam. Tak mampu ia menjawab, “Ah, kasihan kau, kau tak tahu kalau kau tak sadarkan diri selama satu bulan lebih...” kata-kata itupun hanya terlontar dalam hati.
“Badrun, lebaran kurang sebelas bulan lagi!” kataku.

Sidoarjo, 22 Juni 1987