Senin, 20 Agustus 2007

mutasi


Seminggu ini memang hati Cipto keruh. Seperti saat ini ia Cuma diam setelah mendengar suara saran dari Bari, teman sekantornya. Hanya ekspresi wajahnya yang tampak berubah. Semakin keruh dan bimbang.
“Cipto, aku Cuma memberi saran…” tambah Bari memecah kesunyian yang sejenak.
“Bari, masak ada pegawai merangkap dukun…?” Cipto mulai buka mulut kendari sikapnya masih tak bersemangat.
”Kau terlalu lugu, Cip, yang pegang peran sekarang adalah dukun. Jangan dikira pada abad yang dikatakan modern ini orang hanya mengandalkan teknologi dan logika, serta jauh dari dukun,” Bari menghisap rokoknya, “Kalau hanya pegawai merangkap dukun kau anggap aneh, lantas bagaimana dengan terkun ?”
“Kau jangan menambah kebingunganku. Apa pula terkun itu?”
”Terkun adalah dokter dukun. Artinya dokter yang merangkap dukun. Jadi orang yang mengkombinasikan ilmu kedokteran dan kedukunan untuk meditasi...”
“Apa ada?” Cipto mulai menatap Bari.
“Banyak, dan apa salahnya kalau memang hasilnya menakjubkan?”
”Apa salahnya? Aku kira banyak. Barangkali ini salah satu faktor yang menghambat kemajuan kita...”
“Kau terbalik, Cip, malah inilah yang menunjang kemajuan. Kau tidak tahu banyak orang yang mengejar karir lari ke dukun atau orang tua, dan nyatanya berhasil...” begitu pertebal Bari, kemudian ia menyebut beberapa contoh orang yang sukses karena pertolongan dukun.
“Sudahlah, Bari, terima kasih atas saranmu...” putus Cipto sambil melihat jam tangannya.
”Yah... waktumu tinggal setengah bulan. Aku Cuma memberi saran...”
Kemudian mereka bersama-sama keluar dari ruangan kantor yang sempit itu. Dan ketika dalam perjalanan pulang hati Cipto berbaku hantam antara percaya atau tidak. Maklum selama hidup ia tak mengenal dunia perdukunan. Tahayul. Begitu anggapnya.
*
Keraguan betul-betul telah menguasai hati Cipto. Apalagi ketika ia mau menekan bel rumah pak dukun. Masak ada rumah dukun semacam ini komentarnya dalam hati setelah melihat tata perabotnya yang sama sekali tak ada ciri-ciri rumah dukun menurut imajinasinya. Tak ada keris atau tembak yang menempel di dinding dan tidak ada kembang yang tercecer. Tetapi ia paksakan juga untuk menekan bel itu.
“Betul, bu, ini rumah pak Wirya ?” tanyanya ketika seorang perempuan setengah baya membuka pintu.
“Ya, betul, silakan masuk !” mengikuti perempuan itu, masuk dan duduk. Tak seberapa lama kemudian keluar seorang laki-laki sebaya dengan dia, tetapi lebih kurus sedikit. Segera menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.
”Pak Wirya, betulkah saya tidak salah alamat ?” sambung Cipto untuk menghilangkan keraguannya.
“Maksudnya bagaimana... ?”
“Saya diberitahu teman saya, bahwa bapak katanya adalah spesialis...”
”Oh, saya mengerti,” sela Wirya, membuat Cipto tak meneruskan kata-katanya.
Hening sejenak, mereka sama-sama menyulut rokok. Setelah Cipto menghisapnya dalam-dalam ia melanjutkan maksudnya.
“Saya ada problem, pak Wirya...”
“Ya, terangkan !”
”Saya adalah pegawai negeri di daerah sini, tempat saya kerja boleh dikata cukup tenang kendati tak begitu basah, dan saya cukup kerasan. Tapi minggu kemarin saya mendengar isu, bahwa saya mau dimutasikan ke daerah lain…” Cipto menghisap rokoknya lagi yang diikuti juga oleh Wirya.
“Saya minta tolong pada bapak…”
“Lho, itu kan konsekuensinya jadi pegawai negeri…”
”Yah, … dan saya maklum. Tapi ada yang belum saya terangkan pada bapak yang membuat saya keberatan. Di samping saya jadi pegawai saya juga punya sawah peninggalan orang tua, saya khawatir sawah itu terlantar…”
“Oh… begitu, kenapa saudara tidak putuskan jadi petani saja. Ada ribuan yang mau mengganti saudara…”
“Ah, bapak, saya senang keduanya,” agak malu Cipto mengatakn hal ini. Wirya hanya manggut-manggut mendengarjawaban itu. Sama dengan yang lain. Desah hatinya.
”Baiklah, tunggu sebentar…” Wirya masuk, dan hati Cipto lega. Mudah-mudahan berhasil. Begitu doanya. Tak seberapa lama Wirya keluar lagi sambil membawa bungkusan kecil.
“Isi bungkusan ini tebarkan di depan kantor saudara…” pak Wirya menerangkan sembari menyerahkan bungkusan kecil itu.
“Terima kasih, pak.”
”Saudara tak usah gelisah, kalau ada perkembangan di luar yang kita harapkan datang saja ke sini...” Cipto mengangguk dan mengeluarkan amplop yang sudah disediakan dari rumah, lalu diletakkan di atas meja dan dia mohon diri.
Dengan perasaan cemas penuh harap Cipto kini tinggal menunggu keputusan atasan. Segala nasihat dukun itu telah dilaksanakan dengan baik. Kadang dalam dirinya timbul kepercayaan kuat, bahwa usahanya pasti berhasil, tapi kadang juga timbul kebimbangan yang sangat. Apalagi kalau sehabis ngomong dengan istrinya, yang sama sekali tidak percaya pada kekuatan dukun, boleh dikata dia hampir putus asa. Ada satu kalimat dari deretan kata-kata istrinya yang terus bergaung di telinganya: “Mas, percaya pada dukun termasuk musyrik, dosa besar…” yah, istrinya sampai hari ini menertawakan usahanya.
*
Blong. Hati Cipto sangat lega. Perasaannya bagai seorang atlet yang baru saja menang dalam lomba. Dia tak jadi mutasi. Namanya tak tercantum dalam daftar pegawai yang dimutasikan.
Oh, istriku, kau tak jadi pindah, kita tetap menggarap sawah dan anak-anak tak usah pindah sekolah.
Oh, pak Wirya, kau memang dukun jempolan, dukunnya orang-orang intelek dan spesialis pegawai yang menemui kesulitan.
Oh, Bari, tanpa saranmu tak mungkin aku mengetahui Pak Wirya.
Begitu kata batinnya melonjak-lonjak girang. Kegirangan yang membuat dia lupa diri. Lupa bersyukur pada Allah. Cipto yang semula bimbang kini mempercayai seratus persen kemampuan Pak Wirya.
Dan sesampainya di rumah ia langsung menceritakan pada istrinya, tak seperti biasanya mencari kedua anaknya lebih dulu.
“Minah, aku berhasil. Aku tak jadi pindah…”
”Oh, syukurlah…” Minah menoleh pada suami lalu lanjutnya, “Tapi kau tak boleh mempercayai itu lantaran usaha dukun…”
“Tapi ini kan kenyataan…”
”Tidak! Semuanya Tuhan yang mengatur dan itu hanya kebetulan,” bantah istrinya. Cipto mendekat sambil tetap menjinjing tas kantornya.
“Tidak Minah, pak Wirya memang jempolan. Dia malah menjamin aku kalau ada apa-apa...”
”Ah, sudahlah... istirahatlah dulu!” putus istrinya tak mau berbantah.
Cipto menurut. Ganti pakaian lalu makan siang bersama istrinya setelah memanggil kedua anaknya lebih dulu.
Sebulan kemudian Cipto mengajak istrinya ke rumah Pak Wirya, mau mengucapkan terima kasih dan sekedar memberi hadiah atas jasanya. Istrinya menurut saja, namun dalam hatinya masih tetap tidak percaya dan berusaha membelokkan kepercayaan suaminya.
“Minah, setelah kau bertemu dengan pak Wirya nanti kau pasti sepertiku, menganggap pak Wirya jempolan. Oh, ya, aku belum pernah cerita padamu bahwa pak Wirya juga pegawai sepertiku...”
Minah cuma diam, ia masih berusaha mencari kalimat yang tepat dan bisa menyadarkan suaminya. Ah, dia jadi menyesal, kenapa kalimat itu belum ketemu juga sampai mereka harus turun dari becak karena sudah sampai di depan rumah pak Wirya. Tapi tak apalah, biar habis makan malam saja suasananya tenang. Begitu pikir Minah setelah turun dari becak.
Kala mereka mulai masuk halaman rumah yang berpagar pendek itu langkah Minah agak canggung, ada rasa malu menyelinap dalam dirinya. Maklum selama hidup baru ini kali ke rumah dukun.
“Minah, kau bisa minta bantuannya, agar arisamu keluar duluan,” kata Cipto ketika mau menekan bel. Dan Minah lagi-lagi hanya diam.
Beberapa detik kemudian Cipto mulai ragu setelah berulang kali menekan bel. Dia jadi berprasangkan belnya mati lalu ganti mengetok pintu, tapi masih saja belum ada jawaban. Untung ketika mereka mau balik ada seseorang tetangga yang mau mendekat.
”Cari siapa, pak?” sapa orang itu.
“Pak Wirya!” jawab Cipto.
“Ah, dia sudah pindah bulan yang lalu. Bapak dari mana?”
”Dari sini saja, Cuma mau sambang...” sahut istrinya.
“Sayang, pak Wirya tidak memberi alamat barunya, yang saya ketahui dia dimutasikan kerjanya ke daerah lain. Dan rupanya hal ini dirahasiakan...”
Cipto tercengang mendengar keterangan itu. Dan sewaktu di atas becak istrinya hanya bilang, “Mas, ini kenyataan...”
Dan Cipto hanya bungkam. Tiba-tiba rasa malu menjalar di tubuhnya.

Sidoarjo, 26 September 1983