Senin, 20 Agustus 2007

kredit


Daya tarik barang kredit barangkali tak kalah hebatnya dengan wanita cantik. Menggiurkan. Bisa memacu lebih hebat sifat konsumerisme masyarakat. Dan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas bawah, tapi mewabah juga pada masyarakat kelas menengah ke atas. Kalau saja ada survei tentang kredit, barangkali hanya orang-orang suku Asmat dan Badui yang belum kena wabah kredit ini.
Bayangkan, mulai mobil mewah sampai kue yang harganya dua ratusan dikreditkan orang. Kalau sekarang banyak buku humor diterbitkan dengan berbagai obyek humor, aku rasa humor tentang kredit tak kalah lucunya.
Tapi yang memprihatinkan dari mewabahnya kredit ini jauh lebih banyak dari yang lucu. Dan ada juga kredit yang menimbulkan kelucuan sekaligus keprihatinan. Konon ada bayar nikah dan talak dikreditkan, juga tanah pekuburan untuk orang yang akan dikebumikan.
Dan, ceritaku ini entah masuk yang mana.
Sudah tiga bulan ini aku bekerja sebagai penagih kredit. Perusahaan di mana aku bekerja memang mengkreditkan barang-barang elektronik. Dan bos memilih aku sebagai penagih karena aku dinilai punya bakat sebagai penagih. Kuakui kendati aku laki-laki aku memang agak ceriwis dan tampangku rada mirip bromocorah. Bagi orang yang mengenalku wajahku memang bisa menimbulkan interpretasi macam-macam, tapi kalau sudah kenal betulan aku sebenarnya biasa-biasa saja. Sama sekali tidak cocok sebagai penagih, apalagi disuruh menagih mereka yang pada menunggak.
Bulan pertama, dari 39 orang yang aku tagih hanya 6 orang yang mau bayar. Yang 13 orang tidak ketemu dan yang 20 orang berdalih macam-macam. Dan hampir seluruhnya tv dan video yang mereka kredit sudah dipindahtangankan alias dijual.
Karena aku sebagai karyawan baru, maka yang tidak ketemu dan yang berdalih macam-macam itu aku tagih lagi. Salah satu di antara mereka adalah Ny. Darmo. Pertama aku datang ke rumahnya aku ditemui seorang wanita setengah baya, kukira orang inilah Ny. Darmo, tapi ia dengan sopan menyampaikan kepadaku bahwa Ny. Darmo sedang pergi.
Kali yang kedua wanita itu juga yang kutemui, dan ia menjawab, “Barusan aja, Pak, ibu keluar…”
“Kemana, Bu…?”
“Nggak tahu, tapi katanya sebentar kok…”
“Bisa saya tunggu, Bu…”
“Bisa, silakan masuk…”
Aku masuk ke ruang tamu dan nonton tv 20 inch yang sedang aku tagih pembayarannya.
“Ya, saya adiknya…”
Satu jam aku menunggu, akhirnya aku harus pamit dengan perasaan kecewa. Ny. Darmo tidak juga kunjung datang.
Pada kali yang ketiga kejadiannya juga sama. Aku tidak ketemu Ny. Darmo dan wanita yang mengaku adiknya yang menemuiku.
Bulan kedua prestasi perolehan tagihanku sama. Sang bos hanya senyum-senyum saat kulapori hasil tagihanku. Dan aku diberi lampu hijau pada kali yang ketiga untuk berbuat lebih keras. Apabila perlu menyita barang, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Aku ingin tertawa. Apanya yang disita? Hampir semua yang kutagih tidak mempunyai barang yang patut disita, kecuali Ny. Darmo dan dua lainnya. Sedang barang kreditannya hampir seluruhnya sudah dijual. Pikiranku tentu saja melayang ke Ny. Darmo dan dua orang lainnya itu. Tapi aku belum pernah jumpa dengan Ny. Darmo, aku belum memahami apa yang menjadi kesulitannya, hingga sampai nunggak lima kali pembayaran.
Kali ini aku tidak naik sepeda motor untuk operasi penagihan, aku membawa Kijang pick up dan mengajak dua orang karena langsung akan mengadakan penyitaan.
Yang pertama kutuju adalah rumah Ny. Darmo yang telah membuat aku penasaran. Aku berangkat sore hari dengan perhitungan Ny. Darmo mesti di rumah, sebab pada saat nggak ketemu aku datang pada pagi hari dan selepas maghrib.
Sesampai di rumah Ny. Darmo aku tidak langsung menuju rumahnya, melainkan ke rumah RT-nya dulu, sekedar memberitahu biar kalau terjadi kekisruhan Pak RT tidak kaget. Aku diterima dengan baik oleh Pak RT dan dia dapat memaklumi tindakan yang akan kami ambil.
“…dan begini Pak RT, pada saat saya tidak ketemu dengan Ny. Darmo ada seorang wanita yang mengaku adiknya…”
Pak RT tampak sedikit bingung mendengar keterangan tambahan ini.
“Siapa, ya…?” Setahu saya di rumah Ny. Darmo tidak ada wanita lain. Kalau memang ada tamu dan sampai menginap lebih dari satu bulan kenapa Pak Darmo tidak lapor kemari…”
Aku langsung menangkap hal yang tidak beres pada Ny. Darmo mendengar keterangan Pak RT ini. Jangan-jangan wanita yang mengaku adiknya itu adalah Ny. Darmo sendiri. Kalau memang benar dugaan ini, betul-betul wanita itu kurang ajar. Dia telah mengecohku mentah-mentah. Barang tampangku yang sangar ini dianggap sangarnya ludruk. Kwalat betul wanita itu.
Aku pamit pada Pak RT tanpa ingin tanya lebih lanjut siapa wanita itu sebenarnya. Aku sudah mengantongi kesimpulan. Dia wanita jenis belut putih yang saat ini jumlahnya sudah banyak, yang menaruh suami di bawah telapak kakinya.
Sesampai di rumah Ny. Darmo aku turun sendirian. Kudapati dua mobil sudah nongkrong lebih dulu di pelataran rumah dan di ruang tamu ada dua orang laki-laki. Aku tak sabar menunggu mereka keluar lebih dulu. Aku yang sebetulnya tidak pernah kasar menjadi tersinggung dianggap sebagai pemain ludruk oleh Ny. Darmo.
“Bu Darmo, saya sebenarnya sudah sabar dan memberi batas waktu yang cukup, tapi ibu rupanya orang yang tak bisa diajak baik…” kata orang yang menghadap Ny. Darmo saat aku di ambang pintu. Dan aku menjadi yakin bahwa benar dugaanku.
“Permisi…” suaraku cukup jelas. Mereka bertiga pada menoleh kepadaku.
“Silakan masuk, Pak…”
Aku masuk dan langsung menempati kursi yang kosong. Pembicaraan mereka menjadi terhenti.
“Bu Darmo, mana adik ibu…?” tanyaku meng-KO.
“Ooo… saudara kembar saya, berusan pulang…”
Nah, benar dugaanku dia belut putih.
“Tapi saya tidak punya kepentingan dengan saudara kembar ibu. Saya mau mengambil tv yang ibu sewa beli…”
“Sama dengan saya, saya mau mengambil kulkas…”
“Saya juga, meja kursi yang kita duduki ini…”
Kami bertiga bersamaan menggeleng.
Ny. Darmo tampak bingung.
“Ibu, tidak sekedar menunggak, tapi telah mempermainkan saya…” tambahku memecah kebisuan.
“Ibu memang keterlaluan…”
“Ya… ibu keterlaluan…”
Kami bertiga menggeleng lagi bersamaan.
Ny. Darmo tampak semakin bingung.
“Bawa saja semuanya,” Ny. Darmo berdiri. “Maafkan saya telah menyusahkan kalian. Nafsu saya telah dilecut setan…”
Kami bertiga mengawasi Ny. Darmo yang ngomong dengan wajah duka sambil berdiri.
“Bu Darmo, kenapa ibu tidak mengukur kemampuan ibu…?” tanyaku dengan nada iba.
“Nafsuku telah dilecut setan. Aku panas-panasan dengan tetangga sebelah. Kalau dia beli sesuatu aku merasa rendah kalau tidak bisa menyamainya…” Bu Darmo jedah, lalu duduk kembali, “Kemarin lusa barang-barang dia sudah disita dan kini giliran barang-barangku. Angkutlah!”
Selanjutnya ruang tamu itu menjadi sepi. Tanpa ngomong sepatah pun aku mengangkat tv color 20 inch yang bertengger di pojok ruang tamu.