Senin, 20 Agustus 2007

peristiwa jembatan wigon


17 September 1948, aku resmi jadi tentara kendati tanpa daftar dan tes segala macam. Apalagi latihan. Tidak cuma itu, sekaligus aku juga diangkat jadi komandan pleton. Bayangkan apakah tidak surprise, umurku baru 16 tahun.
Tapi potret tubuhku lebih menyerupai gelandangaan, tidak seperti AKABRI yang perlente, gemerlapan dengan terembelan pangkat.
Aku memang memegang pistol, tapi memakai celana pendek dan baju compang-camping. Dan terus terang aku tak pernah merasa jadi komandan sungguhan. Perang yang kuhadapi dalam mengusir penjajah kadang juga kuanggap main perang-perangan.
Mulanya, aku dan teman-temanku memang anak-anak yang nakal dan bandel. Suka main perang-perangan dengan senjata yang terbuat dari kayu atau pohon pisang. Tidak jarang kami membuat pusing orang-orang tua kami.
Pernah sekali waktu kami asyik main perang-perangan dan kebetulan pada waktu yang sama ada patroli Belanda lewat.
“Nah, itu dia musuh datang!” teriak Wahab sambil acungan tangannya ditujukan pada jeep Willys yang merangkak, dan kemudian dia tiarap. Kami mengikuti dia, tiarap dan berlindung di balik pohon besar.
“Kalau sudah dekat kita serbu dengan ini...” komandonya dengan menunjukkan batu yang digenggam. Lalu teman-teman yang lain juga meraba-raba batu di sekelilingnya, cuma aku yang menyiapkan ketepil. Dan begitu jeep patroli yang hanya ditumpangi oleh tiga orang itu jaraknya sudah terjangkau dengan lemparan batu, Wahab segera memberi aba-aba.
Dan hasilnya Belanda itu secara membabi buta menembakkan senapan otomatisnya ke segala arah, lalu memacu jeepnya. Kemudian kami keluar dari persembunyian dan berteriak: “Merdeka! Menang! Menang! Merdeka!“ sambil mengacungkan kepalan tangan.
Hari berikutnya kami membuat meriam mainan dari pohon pisang. Kami pasang di tengah-tengah padang rumput di sebelah pekuburan desa kami. Tapi baru saja kami peragakan, ayahku datang merusaknya.
“Hee, kalian bermain jangan ngawur. Bisa celaka desa ini!” bicara ayah bernada marah. Dan pulangnya aku didamprat habis-habisan, serta sempat pula terompahnya singgah di punggungku, karena aku coba membantah.
Wahab memang bandel, pagi berikutnya mengajakku membuat meriam lagi bersama-sama teman-teman yang kemarin juga. Kami buat lebih baik dari yang kemarin, kami olesi dengan anges, hingga dari kejauhan persis meriam sungguhan. Dan kami pasang di tempat yang jauh dari kampung. Lalu kami main perang-perangan lagi, dan tentu saja Wahab yang pegang meriam.
Tiba-tiba dari arah tenggelamnya matahari ada sebuah pesawat udara moncong merah. Kami semua tiarap. Namun tidak begitu dengan Wahab, dia malah beraksi, membidik pesawat itu dengan meriamnya sembari muntah dari mulutnya, “Dwar! Dwar! Dwar!“
Sebentar kemudian pesawat itu kembali mendengung-dengung, dan Wahab lebih serius lagi membidiknya. Sejenak kami dibuat tertegun. Pesawat itu dengan gencar menembaki kami. Dan dua peluru telah mengubah suara dwar dwar Wahab menjadi jeritan panjang. Satu peluru mengenai kepalanya dan satu lagi mengenai paha kanannya.
Beberapa saat kami berpandangan satu sama lain sambil mengelilingi tubuh Wahab yang tergolek. Lantas kami berebutan merangkul dan menggoncang-goncang tubuh yang berlumuran darah itu. “Hab, Hab, Wahab! Wahab! Wahab!“ Suara kami bersahutan memanggilnya. Namun Wahab tetap tergolek. Diam. Dan darah yang mengucur mulai beku. Begitu teman-teman menyadari kalau Wahab sudah mati, mereka menangis semua. Aku, barangkali yang paling sedih di antara mereka, hingga tangisku tak bisa meledak, tersesat di tenggorokan. Cuma air mataku yang menderas. Dan pandanganku semakin kabur. Lalu seputarku gelap dan aku tak sadarkan diri.
Ketika aku sadar kembali, cuma ibuku yang menjaga. Dan barulah tangisku bisa meledak.
“Fajar, tenanglah!” begitu kata ibu berulang-ulang sambil memijit-mijit keningku, hingga tangisku mereda.
Hari-hari berikutnya aku tak punya lagi teman bermain yang bandel dan seberani Wahab. Aku jadi sepi dan merenung melulu, dan tiap sore kujenguk kuburan Wahab. Aku bacakan ayat-ayat Al-Quran yang aku hapal, sesuai dengan nasihat ustadz Imron, guru ngajiku. “Temanmu, Wahab, sudah dipanggil Allah, kalau kau ingat, bacakan ayat-ayat Al-Quran yang kamu hapal...”
Tiap aku pulang dari pekuburan, gemeretak hatiku. Aku marah dan dendam pada Belanda yang keparat itu, yang merenggut keasyikan kami bermain dan memisahkan aku dengan Wahab. Aku kepalkan tinjuku dan mengumpat-umpat pada Belanda. Tidak jarang kupukulkan juga tinjuku pada apa saja yang ada di sebelahku.
Bila kebetulan aku jumpai jeep patroli atau konvoi truk-truk Belanda, dendamku meluap sebatas ujung rambutku. Dan setiap kali aku jumpai tentara Indonesia, apakah itu Hisbullah, TKR atau pun Sabilillah, ingin aku bergabung dengan mereka. Namun aku selalu kecewa, setiap kali maksudku kuutarakan, mereka mengatakan aku masih kecil.
Suatu hari dendamku tak bisa kubendung dan aku menjumpai ide melampiaskan tanpa menggunakan senjata. Kuajak teman-teman dan mereka setuju. Lalu kami mencari tempat yang strategis, kami bentangkan kawat melintang jalan setinggi leher Belanda yang naik jeep. Sekitar satu jam kami menunggu dan betul juga ada jeep open kap lewat. Kami bersembunyi dan dadaku bergetar hebat penuh dendam. Beberapa detik kemudian dua serdadu Belanda yang naik jeep itu terpental dan jeepnya menabrak pohon asam. Kami berlompatan keluar menghajar Belanda yang sekarat itu.
Satu pistol senapan otomatis 12,7 yang ada pada serdadu itu serta 6 buah granat yang ada di jeep kami ambil. Jeepnya kami bakar dan dua Belanda itu kami seret ke sungai. Lalu kami pulang setelah lebih dulu menyembunyikan rampasan itu.
Esoknya tiga pemuda di kampungku diambil oleh Belanda dibawa ke Tangsi. Salah satu di antara mereka adalah ustadz Imron, guru ngajiku. Setelah satu bulan mereka belum pulang, aku datang ke pak kyai Sodiq, orang yang paling disegani di kampungku. Aku minta pertimbangan serta doa restunya. Beliau cuma menanyakan umurku dan kujawab, 13 tahun, lalu beliau merestui dan memberi nasihat, “Berjuanglah karena Allah untuk membebaskan negaramu, sekali-kali jangan kau dasari dendam. Ikhlaslah!”
Langkahku pertama sepulang dari pak kyai itu, ingin mencegat konvoi untuk memperbanyak rampasan senjata. Aku berunding dengan teman-teman dan mereka sepakat. Lokasi ditentukan di perbatasan kota, tepatnya di Jembatan Wigon yang membatasi kota. Jembatan ini memang cukup memadai untuk dihancurkan dengan sebuah granat.
Tiga hari kami menjaga jembatan itu, namun tidak ada satu pun mobil Belanda yang lewat. Hari yang keempat kami menemukan teknis peledakan. Granat kami pasang di bawah jembatan dan pennya kami ikat dengan kawat yang kami sambung dengan tali. Herman kutugaskan menarik tali dan lima teman lainnya kutugaskan melempar granat. Sedang aku dengan pistol selalu siaga, siap memberi komando. Di sampingku Mail mengawasi ujung jalan dan Udin siap dengan senapan 12,7 nya untuk menghamburkan peluru secara membabi buta.
Tepat jam 12 siang, dari arah barat terdengar derum mobil. Dan setelah dekat ternyata hanya tiga buah truk. Kami siap-siap dan sialan aku grogi, aku baca doa sekenanya. Begitu jarak mobil dengan jembatan kira-kira kurang 30 meter, Herman kusuh narik talinya. Keadaan betul-betul mencekam, dan aku ada pada klimaks ketegangan. Tepat truk yang paling depan menyentuh pinggir jembatan meledaklah jembatan itu. Truk yang depan langsung terjungkal ke sungai yang cukup dalam itu, dan dua lainnya yang berhenti mendadak langsung kami sambut dengan empat lemparan granat. Kemudian Udin segera beraksi dengan 12,7 nya, menghabisi sisa yang lolos dari ledakan granat. Lalu kami beralih perhatian pada mobil yang masuk sungai. Beberapa serdadu langsung tewas dan lainnya yang luka-luka tanpa ampun dihabisi oleh Udin.
Penghadangan itu betul-betul sukses dengan memperoleh rampasan lebih dari yang kami butuhkan. Tapi juga lucu, Mamat setelah melempar granat sempat terkencing-kencing dan doa yang kubaca ternyata doa mau masuk ke WC. Dan sejak itu kami harus meninggalkan kampung halaman, karena Belanda telah membumihanguskan daerah sekitar tempat penghadangan itu. Kami bergerilya terus-menerus dan tambah hari anggota kami semakin banyak. Sampai aku resmi jadi tentara dengan jabatan komandan pleton, temanku sekampung yang 9 itu cuma tinggal 3. Aku, Udin dan Wawan. Enam lainnya telah syahid, berpeluk mesra dengan janji Allah.
*
Genap 38 tahun Indonesia merdeka, seseorang telah mengusik ketenanganku. Peristiwa yang kemudian terkenal dengan nama peristiwa Jembatan Wigon itu yang pelakunya tetap misterius bagi orang lain, tiba-tiba ada orang yang mengakui sebagai pelaku utamanya. Dan dipublisir lewat beberapa koran. Terlalu. Bukankah aku satu-satunya pelaku yang masih hidup, sebab Udin dan Wawan telah mendahuluiku kemudian.
Oh, untuk apa orang memalsukan sejarah. Bagiku biarlah kemisteriusan itu tetap misterius, agar generasi sesudahku maklum bahwa dalam merebut kemerdekaan banyak pahlawan tak dikenal. Pahlawan yang ikhlasnya melebihi kita yang masih hidup.
Aku baca lagi koran yang mempublisir itu. Lalu aku pandang kaki kananku yang buntung, “Oh, Tuhan, jagalah ikhlasku!”

Sidoarjo, 26 Oktober 1983