Sabtu, 18 Agustus 2007

korban-korban


Rumah Lisa yang baru saja ada kesibukan kecil kembali tenang. Beberapa orang yang masih tinggal mencoba membuat ceria suasana. Namun tak berhasil. Suasana tetap saja murung. Beberapa wajah bahkan bagai dirundung duka.
Lisa sendiri menangis di pojok kamar.
Barangkali orang tak akan percaya kalau di rumah Lisa baru saja dilangsungkan pernikahan. Dan yang dinikahkan adalah Lisa sendiri. Lisa yang saat ini menangis dan mengurung diri di kamar.
Subandi, pemuda yang menjadi mempelai laki-laki terlibat percakapan dengan kedua orang tua Lisa. Percakapan yang kaku. Sumbang. Yang diusahakan untuk bisa menutupi suasana.
Anehnya wajah Subandi sedikitpun tak berubah. Ia tenang-tenang saja menghadapi sikap Lisa. Memang dalam perkawinan ini Subandi menerima imbalan lima juta rupiah. Lisa bukan kekasih Subandi, tapi terpaksa dikawinkan karena sudah hamil empat bulan dengan pemuda yang tak bertanggung jawab. Dan Subandi adalah pemuda yang dibeli lima juta rupiah untuk menutupi aib keluarga Lisa. Tetapi Lisa belum bisa menerima kehadiran Bandi.
Setiap kali Lisa bertatapan muka dengan Bandi ia merasa muak. Benci. Dipandangnya Bandi sebagai orang yang mengeruk keuntungan di atas kemalangan dirinya. Sebagai pemuda yang seharga lima juta rupiah. Tak lebih. Tak punya harga diri. Ia betul-betul muak. Muak. Dan muak.
Sesuai dengan perjanjian, selang sebulan Bandi dan Lisa menempati rumah baru. Cuma menempati. Ini persyaratan yang diajukan oleh ayah Lisa agar rahasia kehamilan Lisa tidak diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Tepatnya mereka diungsikan ke desa yang cukup jauh dari rumahnya.
Konyolnya Lisa masih saja belum mau menerima Bandi sebagai pendampingnya. Bandi tak ambil peduli, bahkan berusaha menimbulkan kesan pada tetangga barunya, bahwa rumah tangganya adalah wajar. Harmonis. Bahagia sebagaimana layaknya pengantin baru.
Malam pertama Bandi memaksakan diri untuk bicara.
“Lisa, tidak bisakah kau bersikap pura-pura?”
“Aku muak melihatmu…” jawab Lisa terus terang. Tetapi Bandi sudah menduga. Sudah siap menerima yang lebih keji daripada itu.
“Aku sudah tahu, tapi tidak bisakah kau pura-pura ?”
“Aku tak biasa...”
“Jadi kita akan tetap begini ?”
“Yah, akan tetap begini...”
“Sampai tetangga tahu ?”
“Aku tak peduli...”
Bandi diam. Lisa diam. Sepi. Masing-masing dengan pikirannya. Tapi sesungguhnya hati Bandi sudah merasa senang, karena Lisa mau bicara. Ini adalah permulaan. Begitu pikir Bandi.
“Lisa,” Bandi mulai lagi, “Okelah kalau kau menganggap aku seharga lima juta. Tapi di luar itu aku ingin menolongmu. Setidak-tidaknya kau bisa menganggap aku sebagai teman bicara dalam pengasingan ini...”
Lisa tetap diam. Menangis. Lalu mengunci diri di dalam kamar.
Bandi meneruskan mengatur letak perabotan. Jam dinding dan sebuah lukisan kapal hampir tenggelam ia gantung di ruang depan. Kemudian ia tatap jam dinding yang baru ia pasang itu. Jam 23.30. lantas ia merebahkan diri di sofa.
Paginya Lisa hanya memasak untuk dirinya dan tetap membisu pada Bandi.
“Lisa, aku pergi ke kota...” kata Bandi pamit sambil mengawasi Lisa yang sedang memasak. Yang dipamiti diam tak bereaksi. Ah, Lisa. Gumamnya, lalu keluar.
Bandi membeli seperangkat tape recorder stereo dan beberapa kaset. Aneh. Sungguh aneh bagi Lisa, semua kaset yang dibeli oleh Bandi berisi lagu-lagu kesayangannya. Langkah setapak Bandi, Lisa terpaksa mendengarkan lagu-lagu itu.
Hari-hari berikutnya Bandi menyibukkan diri dengan berternak ayam. Lisa mulai berani menyetel tape. Bandi menambah perabotnya dengan TV berwarna dan sepeda motor. Majalah kesayangan Lisa pun setiap terbit ia beli.
Lisa tambah heran. Setiap barang yang dibeli Bandi selalu yang disenangi. Sampai-sampai pada bunga-bunga yang ditanam Bandi di halaman muka. Hati Lisa berangsur luluh dan mulai simpati pada Bandi.
Suatu malam, sehabis Lisa makan, Bandi menghampirinya.
“Lisa, sudah tiga bulan kita dalam diam. Dan dua bulan lagi anakmu mungkin lahir. Tak baik terlalu egois. Kau harus memikirkan anakmu...” Bandi memandang wajah Lisa yang menunduk, “Kau tak boleh bersedih terus-menerus, kesehatanmu harus kau jaga. Demi anakmu dan demi dirimu sendiri...” tutur Bandi semakin berani.
Lagi-lagi Lisa Cuma menangis. Rasa simpati pada Bandi dan bencinya pada lelaki silih berganti menguasai dirinya.
“Lisa, kuminta malam ini kau sudi mendengar ceritaku. Cerita yang mendorongku untuk menolongmu.
Aku punya satu saudara. Perempuan. Dia adikku, namanya Mia. Mia Amelia. Aku sangat menyayanginya.
Dua tahun yang lalu dia mengalami nasib sepertimu. Mengandung dan ditinggal lari oleh pacarnya. Keputusan keluargaku seperti keluargamu. Tapi aku tidak. Aku ingin membunuh pemuda bangsat itu…” Bandi berhenti. Suaranya mulai berat dan Lisa mulai memperhatikan, lalu lanjutnya, “Untung saja pemuda itu tak ketemu. Akhirnya adikku jadi kawin dengan pemuda yang dibeli oleh ayah. Dan konyolnya pemuda itu sama brengsek dengan pemuda yang telah menghamilinya. Dia penjudi dan pemabuk. Memeras keluarga dan adikku seenak kemauannya.” Bandi mengatur napasnya yang terhanyut emosi, ekspresi wajahnya berubah merah. Ia ingat penderitaan adiknya yang tak kepalang tanggung.
“Lalu?” sela Lisa menunjukkan respon.
“Akhirnya adikku mati minum Baygon. Tak kuat memikul derita yang menggunung...” Bandi membenamkan wajahnya ke meja makan beberapa saat, kemudia sambil menatap Lisa, “Kau tentunya tahu kesedihan hatiku. Begitu remuk. Dan itulah yang mendorongku ingin menolongmu. Aku sangat kasihan padamu, dan tak berharap peristiwa yang menimpa Mia terulang...” dengan gerakan lesu Bandi bangkit memegang pundak Lisa. “Lisa, masihkan kau menganggap aku seharga lima juta?”
Lisa Cuma menggeleng. Ingin ia menatap wajah Bandi, meminta maaf. Namun rasa sesal dan malu menyergap dirinya, hingga ia menelungkupakan wajahnya ke meja. Kemudian isak tangisnya yang terdengar lirih.
Paginya Lisa sudah menyediakan sarapan untuk Bandi. Mereka tampak wajar sebagai orang berumah tangga. Yah, tiga bulan lebih mereka baru kelihatan bersanding. Damai. Wajah Lisa yang manis dan ceria tampak telah pulih kembali.
Sehabis sarapan ganti Lisa yang menceritakan masa lalunya, yang rupanya tak banyak geser dengan cerita Mia. Kesetiaan yang membabi buta yang menyebabkan ia mengorbankan mahkota kewanitaannya.
“Dan betapa aku muak melihat mas Bandi semula, kuanggap semua lelaki sama saja. Lisa minta maaf atas tuduhan ini...” Lisa menatap Bandi yang dari tadi mendengar ceritanya.
“Kau tak salah. Aku menyadari kebencianmu...”
“Mas Bandi yang kuherankan kesenangan kita banyak sama. Lagu-lagu dan bunga-bunga yang mas Bandi senangi adalah juga kesayanganku...”
“Tak usah heran, sebelum pindah aku memang telah tanya pada keluargamu...”
“Oh, kau betul-betul orang yang baik...”
“Jangan tergesa menilaiku...”
“Tidak, ini memang kesimpulan sementara...”
“Sudahlah, Lisa, aku lihat ternak dulu...” setelah berkata begitu Bandi bangkit dan segera memeriksa ternaknya.
Lisa mengawasi sambil mencuci piring. Ia baru sadar kalu Bandi gagah. Dalam pakaian training yang kini dikenakan, potongan tubuhnya betul-betul atletis.
Hari-hari berikutnya mereka tampak harmonis dan rukun. Sudah tiga kali Bandi mengantar Lisa kontrol kandungannya dengan naik becak. Siapapun yang melihat pasti merasa iri dan sama sekali tidak menyangka kalau mereka belum pernah tidur satu ranjang. Mereka memang sudah menyatu, sudah berbagi suka dan duka. Namun kata-kata cinta belum pernah tersisipkan di antara percakapan mereka.
Bandi memang dari awal sudah mencintainya, kini cintanya tambah sempurna. Sering ketika Lisa sedang terlena tidur ia menatapnya dalam-dalam. Membelai rambutnya perlahan. Di saat begitu kadang dendamnya timbul pada lelaki pengecut yang sampai kini namanya tetap dirahasiakan oleh Lisa. Dan ia sendiri tak pernah mengejar, ingin tahu. Takut akan mengungkit kepedihan Lisa.
Lisa juga tak jarang waktu Bandi membelai-belainya ia tersadar. Merasakan sentuhan kasih sayang Bandi yang tulus. Tapi ia tetap saja pura-pura tidur, ingin lebih lama merasakan belaian itu.
Memasuki bulan kesembilan kandungannya, Lisa tampak tambah sibuk. Segala keperluan untuk menyongsong kelahiran bayinya telah disiapkan. Bandi sendiri telah membelikan box mungil.
Pagi ini Bandi kelihatan panik, mondar-mandir di ruang tunggu rumah sakit. Lisa ada di kamar bersalin sedang menyambung nyawa untuk kelahiran anaknya.
Tiba-tiba ada lelaki dengan kursi rodanya mendekat pada Bandi. Lelaki dengan kedua kakinya yang buntung itu kelihatan gagah, kendati agak kurus dan pucat. Di sampingnya berdiri gadis cantik. Bandi mengawasi keduanya bergantian.
“Mas, suami Lisa?” tanya lelaki itu.
Lelaki itu menyalami Bandi.
“Saudara siapa?” tanya Bandi.
“Ah, nanti saudara tahu...”
Bandi duduk di kursi panjang yang bercat putih dan mempersilakan gadis pengantar lelaki buntung itu duduk.
“Saudara dari mana?” tanya Bandi mengulang.
“Saya dari jauh, mas...” lelaki buntung yang misterius itu mendesah. Mengeluarkan sapu tangan, lalu membersihkan peluh di kening dan lehernya. Kemudian, “Baiklah saya akan menceritakan dengan jelas semuanya siapa saya...”
Bandi diam saja. Separuh perhatiannya masih pada Lisa.
“Keluarga Lisa mana, mas?”
“Mereka sengaja tidak diberitahu oleh Lisa...”
“Oh...!”
“Sejak Lisa diasingkan mereka tak pernah menjenguknya.”
“Oh...!” keluh lelaki itu lagi. Dan hampir saja bersamaan dengan adiknya yang ohnya lebih keras, Cuma ditahan dengan dekapan tangan.
Bandi jadi memperhatikan lelaki dan adiknya yang ber-oh-oh setengah heran itu.
“Nama saya Santoso, mas, dan ini, Wati, adik saya...” lelaki yang akhirnya mengaku bernama Santoso itu menunjuk gadis pendampingnya, yang ditunjuk menganggukkan kepala, “Saya lelaki sial, delapan bulan yang lalu mendapat kecelakaan lalu lintas. Dan memaksa kedua kaki saya diamputasi...” Santosa jeda sejenak, memandang kedua kakinya yang buntung dengan tatapan mata sedih. “Dan tragisnya saat itu saya sudah kesengsem. Lengket. Serasa tak bisa hidup tanpa dia. Tapi saya tak mau pacar saya ikut menanggung beban atas musibah yang menimpa saya. Lalu saya pindah dari Surabaya, ikut om di Medan. Dan saya minta pada keluarga saya untuk betul-betul merahasiakan...” Santoso berhenti bercerita. Tampak ia berusaha menahan air matanya yang mau jatuh.
Bandi terhanyut oleh cerita itu. Sejenak lupa pada Lisa yang mengerang.
“Apakah saudara pacar Lisa?” tanya Bandi yang sudah menangkap ekor ceritanya.
“Yah, tepat. Malahan sudah nikah. Nikah secara diam-diam, karena kedua orang tua kami tidak merestui. Saya berharap Lisa segera hamil. Biar kami dikawinkan secara terang-terangan, kendati mesti mendapat dampratan terlebih dulu. Tapi musibah itu mendahuluinya...”
“Tuan Subandi!” Bandi berdiri dan buru-buru mendekat suster yang memanggilnya. Santoso bersama adiknya ikut mendekat di belakang Bandi. Lalu seorang suster lain yang menggendong bayi dari kamar bersalin juga mendekat, “Anak tuan cakep seperti tuan...” katanya.
Bandi, Santoso dan adiknya melongok bayi itu. Suster yang membawa bayi membungkuk, memperlihatkan bayinya pada Santoso.
“Mas, biarlah saya yang mengumandangkan adzan di telinganya...” pinta Santoso.
Bandi mengangguk.
Suara orang memanggil sholat itu bergema pelan. Merdu dan bergetar. Mendahului suara-suara lain yang akan didengar bayi itu.
Bandi terpaku haru, dan gadis di sebelahnya berderai air mata. Begitu juga kedua suster yang menyaksikan ikut terpaku. Mereka semua bahagia, tetapi haru dengan perasaan masing-masing.
Saat suster yang menggendong bayi mau kembali Santoso menahannya sejenak. Ia pegang pipi bayi yang merah itu. Kemudian mengantarnya dengan pandangan tajam.
Mereka kembali ke tempat tunggu semula.
“Mas Bandi, tolong rahasiakan kalau aku pernah ke sini…” suara Santoso masih berat.
“Apakah saudara tidak ingin ketemu Lisa dulu?”
“Maksud semula memang demikian, tapi kurasa lebih baik tidak. Aku ingin dia bahagia. Punya masa depan. Tak baik mengusiknya…”
“Oh...!” keluh Bandi yang disergap haru.
“Yah, masa depan. Tolong jangan disia-siakan mereka!” selesai berkata begitu Santoso menunduk.
Bandi juga menunduk.
Gadis yang memegang kursi roda Santoso tak bisa membendung air matanya.
Sebentar kemudian kursi roda itu perlahan menggelinding, menjauhi Bandi. Suara sepatu gadis yang mendorongnya kian lirih. Sementara tangis bayi terdengar melengking tinggi di sal. Santoso menoleh sejenak, lalu menghilang di tikungan.
Bandi yang mematung tak mendengar detak sepatu dan lengking tangis bayi itu. Ah...! Cuma itu yang keluar dari mulutnya lima menit kemudian.

Sidoarjo, Medio Agustus 1984