Sabtu, 18 Agustus 2007

shopping


“Pap, ada tempat tidur model baru, cocok sekali dengan kamar kita…”
“Iya...”
Potongan pembicaraan itu terjadi minggu yang lalu antara pak Lukman dengan istrinya sewaktu mau tidur. Namun sampai malam ini pak Lukman masih terusik otaknya oleh pembicaraan itu. Ia tahu persis ekor pembicaraan itu, kalau istrinya ingin beli tempat tidur yang baru saja dilihatnya di furniture exposition. Padahal tempat tidur Alganya belum sampai setahun.
Memang sejak perusahaan pak Lukman maju pesat istrinya telah menjadi konsumtif. Bulan kemarin istrinya baru dibelikan mobil pribadi. Pak Lukman yang didesak terus-menerus akhirnya terpojok juga untuk menuruti kemauan istrinya.
Inilah yang sebenarnya membuat pak Lukman pusing. Ia khawatir istrinya semakin jauh menjadi orang yang tak pandai bersyukur, konsumtif dan pada akhirnya akan menjerumuskan dirinya.
“Pap, bulan depan shopping yok...” kalimat ini baru diucapkan tadi malam oleh istrinya. Dan pak Lukman paham betul kalau yang dimaksud istrinya paling tidak shopping ke Singapura.
Gila. Masak tiga bulan sekali mesti ke luar negeri. Aku tidak bisa terus-menerus menuruti kemauan istriku. Yah... harus aku stop. Tapi aku memang telah berjanji. Aku ingat betul kata-kata itu, “Aku akan menuruti apapun yang kau minta kalau kau mau jadi istriku...” yah... begitu kataku saat mengajak kawin istriku dan kini dia menuntut.
Baik aku stop tanpa melanggar janjiku.
Lukman masih bergulat dengan pikiran-pikirannya ketika istrinya mendekat, “Bagaimana pap, apa jadi kita shopping...?” tanya istrinya tetap tanpa ekspresi lalu duduk berseberang dengan Lukman.
“Oke, tapi setelah dari shopping kau harus bersedia mengikuti acaraku...” jawab Lukman.
“Tentu... dengan senang hati...” jawab istrinya.
Ternyata istrinya mengajak ke Hongkong. Dan selang beberapa minggu pulang dari Hongkong ganti Lukman mengajak istrinya. Maka pagi itu tampak Lukman dan istrinya bersiap-siap. Dani anak merka satu-satunya yang masih berumur tiga tahun diserahkan ke bi Inah, pembantu mereka. Rupanya perjalanan yang direncanakan Lukman tidak terlalu jauh, sebab mereka tanpa membawa pakaian ganti.
“Pap, kita ke mana?” tanya istrinya sewaktu mobil yang ditumpangi baru saja meluncur ke jalan raya.
“Pokoknya hari ini kita betul-betul rekreasi. Kuharap kau konsekuen...”
“Iya... tapi ke mana?”
“Biar surprise dong...!”
Istrinya diam. Ia rupanya paham kebiasaan suaminya yang suka membuat surprise. Sementara Soleh, supir mereka membelokkan mobil ke arah kiri dan tak lama kemudian mereka berhenti di depan wisma rehabilitasi sosial.
Lukman turun dan langsung menuju pos penjagaan untuk melapor maksud kedatangannya. Kemudian dengan diantar oleh seorang petugas, mereka menyaksikan kegiatan yang ada dan menengok seluruh ruangan. Lukman sendiri sempat berwawancara dengan beberapa orang penghuninya yang ternyata semuanya bekas gelandangan.
Dari wisma rehabilitasi sosial mereka berganti obyek ke panti asuhan anak yatim. Istri Lukman yang sedari tadi bingung semakin bingung. Ia belum bisa menangkap apa tujuan suaminya mengunjungi kedua tempat itu. Di sini Lukman juga berwawancara dengan beberapa petugas dan beberapa anak yatim. Kemudian sebagaimana yang diperbuat di wisma rehabilitasi sosial tadi, ia membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim tersebut. Hati Lukman sempat berbunga melihat istrinya meneteskan air mata menyaksikan anak-anak itu.
Tengah hari mereka keluar dari panti asuhan dan beralih ke rumah sakit. Di sini Lukman mengajak istrinya untuk menengok seluruh kamar yang ada di rumah sakit itu, yang dihuni oleh orang-orang yang semuanya sedang sakit.
“Pap, kasihan mereka…” kata istrinya saat menyaksikan orang-orang yang badannya habis diamputasi.
“Ya,” Cuma itu jawab Lukman. Tapi hatinya kini betul-betul berbunga kendati pada sisi lain ia sedih seperti istrinya.
Sekeluar dari rumah sakit Lukman memerintah sopirnya menuju ke pekuburan yang letaknya di luar kota, tapi sebelum sampai di situ Lukman menyuruh berhenti ketika melihat ada sebuah gedung yang sedang dibangun.
“Mam, yok kita ke tengah bangunan itu…”
Istrinya Cuma mengangguk. Dan ternyata Lukman hanya ingin menunjukkan pekerja-pekerja wanita yang sedang mengangkut batu dan bahan bangunan lainnya.
Lukman memanggil salah seorang dari kuli perempuan setelah terlebih dahulu meminta ijin kepada mandor bangunan.
“Berapa gaji satu hari?” taya Lukman setelah kuli perempuan yang dipanggil tadi mendekat.
“Seribu lima ratus, Tuan…”jawab perempuan itu sambil mengusap peluh di lehernya.
“Berat?” lanjut Lukman.
“Ya Tuan, terpaksa…”
“Kenapa?”
“Ada dua anak yang menjadi beban saya…”
Lukman terus melanjutkan pertanyaannya, sementara istri Lukman menyaksikan perempuan itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Ia melihat kulit wanita itu menjadi legam karena dibakar mentari terus-menerus dan peluh menjadikan kulit legam itu mengkilap. Diam-diam rasa iba merambati hatinya berbarengan dengan rasa syukur atas keberadaannya.
Lukman mengakhiri pertanyaannya dengan memberikan dua lembar uang puluhan ribu. Perempuan itu membalas dengan terima kasih berulang-ulang dengan wajah yang berbinar-binar.
Sebentar kemudian mobil Lukman meluncur ke pekuburan.
“Linda, ini obyek terakhir refreshing kita…” kata Lukman kepada istrinya ketika memasuki pintu gerbang pekuburan. Istrinya hanya menunduk, matanya menatap macam-macam nisan yang berbaris tak rapi. Tidak seperti biasanya kalau memasuki plasa, matanya begitu lincah menatap barang-barang dan banyak komentar tentang barang-barang itu.
Sampai di tengah pekuburan Lukman berhenti.
“Kita juga akan seperti mereka, meninggalkan dunia yang kita cintai dengan hanya membawa sepotong kain kafan…” kata Lukman mengawali khotbahnya. Tapi ia sendiri tidak jadi meneruskan kata-katanya. Ia telah terjebak oleh keharuan dan kesadaran yang diciptakan oleh situasi dan kondisi pekuburan. Ia ingat umurnya yang sudah empat puluh tahun. Ia ingat kewajiban agama yang banyak ia lupakan.
Lukman menoleh kepada istrinya dan mengajaknya pulang dengan isyarat anggukan kepala. Lalu mereka pulang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Pap, sudah jam 13.30 kita sholat dulu, yok!” mendengar ajakan istrinya ini hati Lukman berbongkah-bongkah senang, karena sudah hampir dua tahun tak pernah sholat.
“Oke, biar terlambat kesadaran ini tak perlu kita tunda,” begitu jawab Lukman kemudian.
Mobil mereka belok ke arah masjid, namun tiba-tiba ada truk dari belakang dengan kecepatan tinggi. Dan truk itu hampir saja menghantam mobil mereka. Tapi rupanya Tuhan belum menghendaki hinggi truk itu berbelok arah ke lapangan.
Meskipun begitu istri Lukman sempat pucat dan terpaku beberapa saat lamanya.
Seminggu setelah acara itu, ketika mereka baru saja makan malam Lukman berkata, “Mam, tahun depan saja kita shopping lagi,” istrinya yang sudah nangkap penuh tujuan rekreasi minggu kemarin cuma diam dan memandang Lukman dengan sorot mata heran.
“Setuju?” sesak Lukman.
“Ke mana?”
“Ke Saudi.”
“Haji?”
“Insya Allah.”

Sidoarjo, 27 Agustus 1987