Rabu, 08 Agustus 2007

buatlah sekali lagi coretan untukku


Sudah empat hari Idul Fitri berlalu, masih banyak orang bersilahturahmi, anak-anak kecil masih saja belum mau melepaskan baju barunya. Udin duduk sendirian di ruang tamu, di hadapannya ada sebuah meja dengan ciri khas hari raya. Tiga macam kue dan satu toples kacang di atasnya. Tampaknya sedari tadi Udin tidak ada niatan untuk keluar. Memang hari ini giliran Udin jaga rumah. Keluarganya sedang pergi ke rumah mbahnya Udin. Jelas udin senang menerima giliran ini. Hari raya tahun ini betul-betul telah berhasil mengubur semua kenangan masa silam. Entah sudah berapa genggaman kacang yang habis dimakannya, namun dia masih tenang-tenang saja, tak tampak tanda-tanda mau beranjak dari kursi. Dia berdiri ketika ada tamu memanggilnya. Lalu dia duduk lagi, kiranya tamu itu hanya mengantarkan surat, tidak mau duduk ketika dipersilakan Udin. Dibukanya, ternyata undangan malam halal bihalal. Dibacanya acara demi acara sampai akhirnya pada yang mengundang, ketua dan sekretaris panitia. Kemudian dia menunduk bagai mengingat sesuatu. Dilihat lagi, menunduk lagi. Lalu undangan itu diremas-remas. Di wajahnya kelihatan goresan sedih seperti setengah tahun yang lalu. Undangan yang habis diremas itu dibetulkan lagi, diambilnya bulpen, kemudian nama ketua dan sekretaris panitia diganti dengan namanya sendiri dan nama seorang gadis, Sulistiowati. Kemudian Udin bernostalgia pada masa lalu.
*
Ketika itu dia sedang menaruh hati pada seorang gadis yang seorganisasi dengannya. Namun perasaannya dipendam saja dalam hati. Sampai akhirnya datang bulan Ramadhan dan ada rapat membahas malam halal bihalal. Saat itulah dia menyusun rencana dengan serapi mungkin. Wati harus kugaet malam ini. Demikian suara hatinya.
Rapat berjalan sebagaimana biasa, pada waktu pembentukan panitia terjadilah apa yang direncanakannya. Teman-temannya memilih dia menjadi ketua dengan suara mutlak atau aklamasi. “Nah, teman-teman ketuanya telah terpilih, sekarang mari kita teruskan memilih sekretaris,” demikian kata pemimpin rapat.
“Karena ketunya laki-laki saya sarankan agar sekretarisnya perempuan, biar sip,” sela Budi dengan suara lantang.
“Kalau begitu baiknya Wati saja, biar ada gunanya dia kursus ngetik,” tambah Mirul dengan mantap.
“Yang lain, apa masih ada calon lain atau secara aklamasi kita terima Sulistiowati sebagai sekretaris yang akan mendampingi Udin?” sambung ketua rapat menawarkan. Kemudian terdengar suara serempak meng-iya-kan. Semua setuju. Setengah jam kemudian susunan panitia telah lengkap.
Hari itu aku pertama duduk berdampingan dengan Wati. Pikiranku tidak pada rencana-rencana halal bihalal, tapi pikirku melayang tak menentu. Kurasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah aku jumpai. Kelanjutan rapat itu aku yang memimpin, sehingga jalannya rapat tidak karu-karuan. Yah… selain pikiranku hanya tertuju pada Wati, aku juga baru pertama memimpin rapat. Sebetulnya organisasi kami setiap rapat acak-acakan, tapi tidak sebagaimana yang aku pimpin kali ini.
Begitu rapat bubar aku langsung beli es sama Budi, Mirul dan Hasan. Sambil minum es kami ngobrol kian kemari, sampai akhirnya tentang jalannya rapat.
Mirul : “Kita telah berhasil.”
Budi : “Ya, kita telah berperan dengan baik, sehingga teman-teman yang lain tidak ada yang tahu kalau jalannya rapat telah kita atur sebelumnya.”
Udin : “Aku juga heran, kenapa mereka langsung saja meng-iya-kan, mulut Bari pun jadi tertutup padahal dia biasanya tukang nyanggah dan pemberi saran.”
Hasan : “Tentu saja karena wajah yang begitu cakep mempunyai kharisma yang besar. Jangankan mulut teman-teman, mulut direktur pun akan tersumbat.”
Budi : “Din, kerjamu akan mudah, kalau perlu apa-apa suruh Wati yang memerintah, semuanya akan jadi penurut dan beres.”
Aku stop pembicaraan itu sampai di situ, kukeluarkan uang ribuan dan kuberikan pada penjual es. Ternyata masih dikembalikan seratus rupiah.
Hari-hari selanjutnya aku selalu sibuk dengan persiapan malam halal bihalal itu. Aku jadi sering bersamanya, dan tak jarang terselip acara pribadi. Aku jadi akrab, senang, bergairah dan semangat.
Sebulan kemudian tibalah saat malam halal bihalal itu. Sukses dan meriah walau sederhana. Tanpa sadar ketika aku menyampaikan prakata panitia aku sampaikan ucapan terima kasih pada Budi cs. yang telah menolongku, untung cepat-cepat aku ralat. Memang menurutku merekalah yang patut menerima ucapan terima kasih dariku pribadi.
Malam halal bihalal itu berlalu dengan meninggalkan kenangan macam-macam pada setiap anggota dan panitia dan aku mempunyai goresan tersendiri. Hari-hari selanjutnya aku tak pernah keluar tanpa Wati dan sebaliknya Wati tak pernah keluar tanpa aku. Tapi sejauh itu aku belum pernah mengatakan cinta padanya, yang jelas kami selalu riang bersama. Hingga datanglah saat naas itu, aku menerima surat darinya, menerangkan dia ke Medan tanpa sempat pamit kepadaku.
Seminggu setelah itu aku dimabuk rindu dan seminggunya lagi aku terheran-heran ketika keluarganya menyusul ke Medan, hal ini juga aku ketahui dari temanku. Yang lebih mengherankan lagi tiada satupun surat yang datang darinya. Juga dari keluarganya. Surat-suratku bagai hilang di padang pasir, tak pernah ada balasan.
*
Ketika sampai di situ lamunan Budi, dia memandangi lagi undangan itu. Gurat-gurat kesedihan di wajahnya semakin tampak. Dia tersentak ketika mendengar suara sepatu wanita mendekat kepadanya, lalu dipandangnya orang yang mendekat itu dengan tatapan penuh tanya. Bersamaan tatapan matanya pada wajah yang mendekat itu keluar suara dari mulutnya yang hamper-hampir tak terdengar, “Wati!!!” lalu keduanya berjabat tangan. Butir-butir air mata berjatuhan dari keduanya. Seluruh rindunya ditumpahkan dalam getaran jiwa yang tersalur lewat genggaman tangan.
“Udin, maafkan aku telah membiarkanmu dalam tanya yang tiada terjawab.”
“Wati, memang aku selalu mengingatmu, nyatanya Tuhan membatasi rindu kita, kita bertemu lagi.”
“Udin, aku pulang dulu, aku cuma mampir. Aku baru dari Medan dan belum sampai di rumah langsung ke sini.“
“Sebentar Wati, aku baru menerima undangan malam halal bihalal.”
Udin menyerahkan undangan itu pada Wati. Dilihatnya oleh Wati nama panitia yang telah diganti dengan nama Udin dan namanya sendiri. Dia sendiri lalu membuat coretan di balik undangan itu dan menyerahkan kembali undangan itu pada Udin. Lalu bergegas menuju becak. Udin cuma bisa memandang dalam heran sampai becak itu hilang di tikungan jalan.
Seperempat jam kemudian Udin menyusul ke rumah Wati. Sesampai di sana Udin menjumpai kakak Wati yang kelihatan baru datang. Kedapatan sebuah koper di ruang tamu.
“Kak Bambang, Wati mana?”
Kakak Wati kelihatan bingung dan menyilakan Udin duduk di kursi yang sudah setengah tahun tidak dijamah manusia. Tapi Udin tetap berdiri tak sabar.
“Kak Bambang cuma dengan Wati?”
“Sebentar Udin, duduklah! Aku masih lelah.”
Lalu kakak Wati duduk berhadapan dengan Udin. Kelihatan sangat gugup dan tak berani menatap wajah Udin. Keheranan Udin bertambah menjadi-jadi. “Begini Udin, sebelumnya kami sekeluarga minta maaf, lebih dari setengah tahun tak memberi kabar kepadamu dan aku ke sini sendirian tidak bersama Wati.”
“Kak Bambang, Wati baru saja ke rumah, tapi dia keburu pulang, katanya baru pulang dari Medan.”
“Udin, kau sungguhan?”
“Ya, kak Bambang, malahan dia membuat coretan pada undangan ini.” Udin menyerahkan undangan halal bihalal itu pada kak Bambang. Dia mengenal betul bahwa tulisan itu tulisan Wati yang membentuk kalimat, “Udin, kau adalah orang yang pertama dan yang terakhir yang aku cintai.”
“Begini Udin sebetulnya Wati telah meninggal dunia setengah tahun yang lalu. Ketika dia baru saja sampai di Medan dia mendapat kecelakaan. Lalu kami mendapat telegram dan keburu ke sana tanpa sempat memberitahukanmu. Kemudian kami sekeluarga membuat keputusan tak akan memberitahu kepadamu, malah kami berjanji tidak akan kemari lagi, agar kau tetap tidak tahu. Oleh karenanya surat-suratmu tiada yang kami balas, maafkan kami. Tapi sekarang terpaksa, kami di sana mendapat kesulitan ekonomi dan kedatanganku untuk menjual rumah ini.”
Udin mendengar hal ini merasakan seolah-olah dunia ini terbalik dan dia diam seribu bahasa, lalu dengan bibir gemetar permisi pada kakak Wati.
*
Wati, hari raya yang dulu kita tandai dengan awal keakraban kita dan yang sekarang kau menyatakan cinta kepadaku. Betapa besar cintamu kepadaku, hingga Tuhan mengijinkan kepadamu untuk membuat coretan yang menerangkan cintamu kepadaku. Mestinya gembiraku berlipat ganda, namun sayang mulai saat ini aku dapat kepastian bahwa kau tak akan kembali lagi kepadaku. Kau telah pulang ke rahmatullah dan dalam ketenangan abadi. Dan aku suatu saat pasti menyusulmu.
Udin membaca lagi coretan Wati, “Udin, kau adalah orang yang pertama dan terakhir yang kucintai.”
Wati, kenapa takdir atas kita demikian, kita dipisah oleh suatu kebijaksanaan Tuhan. Kau telah mencintaiku sehidup semati, cintaku juga demikian kepadamu, Wati. Tapi harapanku telah bubar bagai tepung segenggam di lempar ke udara. Kau datang di saat rinduku tak tertahankan, dan kau beri kepastian, kau cinta kepadaku dengan ikhlas, tapi kau beri juga aku kepastian tentang perpisahan kita. Aku dapat membayangkan betapa besarnya cintamu kepadaku, hingga Tuhan memberi ijin kau datang kepadaku untuk membuat coretan, namun sayang coretan itu terlalu pendek. Aku ingin kau membuat kesan dan pesan kepadaku, hingga aku tidak terombang-ambing oleh perasaanku. Wati, buatlah coretan lagi yang lebih panjang, datanglah sekali lagi, setelah itu kembalilah ke alammu yang tenang. Jangan kau tunggu hari raya tahun depan atau menunggu datangnya halal bihalal lagi. Wait, datanglah!
“Udin, aku datang.”
“Wati…”
“Udin, aku akan membuat coretan yang panjang.”
Udin bingung, mengawasi Wati dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aneh, kaki Wati menginjak lantai.
“Udin, kau jangan bingung, aku masih hidup, hidup seperti kau. Lihat kakiku bersepatu dan menginjak lantai. Aku tidak berbau kemenyan atau dupa atau kembang.”
“Wati, mimpikah aku?”
“Tidak! Aku telah bersandiwara, dan ternyata sandiwaraku untuk mendekat kepadamu masih berhasil yang aku perankan bersama kak Bambang. Udin, kita adalah actor dan aktris terbaik dalam penilaian dewa Amor. Kita akan datang pada malam halal bihalal bersama-sama.”
Kemudian keduanya berjabatan tangan dalam perasaan masing-masing dan di atas langit semakin cerah.

Sidoarjo