Minggu, 12 Agustus 2007

gerobak sampah


Darun memang terkenal di desanya. Ia sebetulnya bukan tokoh dan tidak ditokohkan. Dan ia juga bukan orang yang selalu membuat onar sehingga namanya terkenal. Ia Cuma sosok pemuda biasa dan sangat sederhana dalam segala hal, tapi pekerjaannya selaku penarik gerobak sampah membuat ia sosok yang penting. Bahkan boleh dikata tiga puluh persen stabilitas keamanan di desanya ia yang pegang. Apalagi kebersihan dan kesehatan, tidak berlebihan kiranya kalau ada orang bilang ia yang memegang kuncinya.
Dalam pikiran Darun yang sederhana pekerjaannya adalah mulia, oleh karenanya kendati setiap pagi ia harus berputar ke sekeliling kampung dengan gerobak sampahnya ia tidak merasa gengsinya turun. Tapi sudah empat hari ini ia tidak muncul bersama gerobaknya, sampah yang biasanya diambil tiap pagi itu kini kian menumpuk dan baunya mulai menyapa setiap lubang hidung yang normal. Masyarakat sudah saling tanya, ke mana Darun. Tapi semua tidak ada yang tahu, juga ketua RT dan RW-nya. Darun menghilang begitu saja tanpa pamit pada siapa pun, termasuk pada ibunya yang paling ia cintai.
Beberapa orang mencoba menerka-nerka. Dan sebagian lagi mulai menyadari kalau gaji yang diterima oleh Darun sebesar dua belas ribu lima ratus rupiah tiap bulan itu terlalu sedikit.
Pada hari yang kelima penyakit lama mulai kambuh lagi. Ibu-ibu yang tak tahan dengan bau sampah membuang sampahnya di gang buntu dan kontan saja menimbulkan protes dari ibu-ibu yang mendiami gang buntu. Sialnya protes itu disampaikan langsung pada si pembuang, hingga menyebabkan terjadi perang mulut.
Menyadari stabilitas kerukunan mulai terganggu, Sholeh sebagai ketua RW-nya dari kemarin bingung melulu mencoba mencari pengganti Darun. Tapi hasilnya nihil. Tak satupun ada yang bersedia, bahkan beberapa pemuda yang berstatus sebagai penganggur menolak dengan sinis.
Pada hari yang keenam diputuskan oleh ketua RW untuk mengadakan rapat dengan warga dan khusus membicarakan masalah sampah. Kalau perlu masyarakat akan digilir menarik gerobak sampah sebagai pengganti Darun, begitu salah satu alternative ketua RW.
Tapi satu jam sebelum rapat dimulai mendadak Darun muncul di rumah ketua RW.
“Darun, kami sudah pusing memikirkanmu. Ke mana kau selama ini?” tegur ketua RW setelah cukup basa-basi dan mengeluarkan dua cangkir teh terlebih dahulu.
“Cuma istirahat, pak…” jawab Darun santai.
“Kok tidak pamit?” lajut ketua RW.
“Memang saya sengaja, pak, biar tidak ada yang tahu. Dan lagi kalau saya ijin, kan bapak pasti keberatan...”
“Yah, saya maklum. Tapi kuharap kau juga maklum apa akibatnya...”
Darun meminum tehnya.
“Darun, bau sampah sudah mulai mencocok hidung dan berhasil mengundang lalat...”
“Tapi, pak, saya ke sini sekaligus untuk pamit tidak menjadi penarik gerobak sampah lagi...” setelah berkata begitu Darun menunduk.
“Darun, saya maklum. Kau sudah cukup lama mengabdi lewat menarik gerobak sampah, tapi perlu tenggang waktu untuk mencari penggantimu. Dan sebentar lagi ada rapat khusus membicarakan masalah sampah. Kalau kau masih bersedia HR-mu kuusahakan untuk bisa naik...”
“Baiklah, pak. Kalau begitu saya minta untuk diberi kesempatan bicara dalam rapat nanti...” jawab Darun tegas. Dan pak Sholeh sedikit terkejut mendengar usulan ini, karena Darun selama ini tak pernah berbicara dalam rapat. Maklum ia hanya mengenyam bangku sekolah sampai kelas empat SD.
“Baiklah Darun, kau akan kuberi kesempatan yang istimewa dan berbicaralah sepuas-puasmu...”
*
Rapat ini rupanya sangat menarik. Kurang seperempat jam rapat dimulai balai RW sudah tampak penuh, hanya beberapa kursi saja yang masih kosong, sedang biasanya pakai jam karet, pasti molor.
Kebanyakan fokus pembicaraan mereka dalam menunggu rapat dimulai hanya tertuju pada sampah. Dan ketika Darun memasuki balai RW semua mata tertuju kepadanya. Yah, tiba-tiba saja Darun lebih penting dari semuanya. Darun menjadi pusat perhatian, Darun menjadi tokoh. Rapat dimulai dan berjalan seperti biasa. Tapi ketika pak Sholeh, ketua RW menyilakan untuk berbicara semua hadirin menjadi tertegun dan diam. Dan tiba-tiba saja ada ketegangan yang merambati ke masing-masing pribadi mereka, manakala Darun sudah siap di podium.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” suara Darun sangat mantap dan tak kelihatan bergetar. Setelah mendapat jawaban yang kompak dari hadirin ia melanjutkan, “Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mohon maaf yang sebesar-besarnya pada bapak-bapak dan saudara-saudara semua, terutama pengurus RW yang kami hormati. Selebihnya dari itu kalau hadirin masih mengharapkan saya mau menarik gerobak kembali saya hanya mohon jadikan dan anggap saya sebagai penarik gerobak sampah, dan jangan anggap saya sekaligus sebagai penarik gerobak tinja. Sebab beberapa masyarakat telah terlanjur menganggap saya demikian yang telah saya protes keras dalam wujud mogok kemarin...” Darun mengambil tempo dan menyapu rata wajah hadirin yang tercengang mendengar apa yang disampaikan Darun, lalu lanjutnya, “Saya tidak minta gaji saya dinaikkan, tapi hendaknya semua warga jangan menilai saya sederajat dengan sampah yang saya angkut. Demikian sekali lagi saya mohon maaf. Wassalamu’alaikum...”
Begitu Darun duduk kembali ruangan rapat menjadi berdengung, sebagian hadirin pada ramai-ramai mengutuk pembuang tinja yang membuat Darun protes keras dan sebagian lagi mengagumi kelancaran bicaranya Darun. Mereka tak mengira sama sekali kalau Darun si tukang penarik gerobak sampah bisa bicara dengan lancar dan memilih kalimat yang tepat.
Darun sendiri merasa lega. Tidak sia-sia belajar bicara selama enam hari pada Warso, temannya yang menjadi ketua karang taruna di desa lain.
Akhirnya rapat memutuskan untuk menaikkan gaji Darun menjadi dua puluh ribu rupiah, dan mengutuk si pembuang tinja gelap yang membuat Darun uring-uringan. Esoknya Darun sudah mulai menarik kembali. Dan dua jam kemudian situasi kampung menjadi normal.
Sampai dua bulan setelah pemogokan Darun tidak ada orang yang melanggar membuang tinja ke ranjang sampahnya, masyarakat sendiri sudah hampir lupa dengan peristiwa itu. Namun menginjak bulan ketiga tiba-tiba Darun tidak nongol dengan gerobaknya. Pada hari ketiga ketidaknongolan Darun masyarakat sudah mulai mereka-reka. Pasti ada orang yang membuang tinja lagi dan Darun mogok lagi. Tapi anehnya tak ada satu pun orang yang berusaha mencari atau menjenguk Darun. Barangkali karena rumah Darun ada di pojok kampung yang membuat orang enggan menjenguknya atau barangkali karena Darun cuma sesosok penarik gerobak sampah.
Masyarakat tidak ada yang tahu kalau Darun lagi sakit keras, tidak ada yang tahu kalau ia membutuhkan pertolongan. Tapi ketika rumah Darun terdengar jeritan seorang wanita, tetangga kanan kirinya buru-buru berkumpul dan mereka pada kaget ketika menjumpai Darun baru saja menghembuskan nafas terakhir. Kabar kematian Darun dengan segera menyebar luas ke seantero kampung dan membuat kaget masyarakat. Mereka baru sadar kalau Darun adalah pemuda yang banyak jasanya dan pemuda yang mempunyai arti tersendiri di desanya.
Lebih dari itu semua warga merasa kehilangan, membuat hampir seluruh warga ikut melayat ke rumah duka dan sampai fase pemakaman. Bagi yang tidak tahu tentu tidak akan menyangka kalau yang mati hanya seorang penarik gerobak sampah. Memang sepanjang sejarah di kampung itu baru dua orang yang mendapat penghormatan terakhir sedemikian rupa, yaitu KH. Ridwan yang meninggal sebelas tahun yang lalu dan Darun pada saat ini.
Begitu pemakaman selesai ketua RW memberikan sambutan, suaranya begitu parau dan tampak terseret-seret bergetar, “……………………. Kita semua tahu bahwa Darun adalah pemuda yang baik, yang banyak jasanya di kampung kita. Bahkan menjelang akhir hayatnya ia menanyakan pada ibunya, siapa yang akan menggantinya sebagai penarik gerobak. Pelayat yang sama-sama berduka, marilah kita ambil contoh pengabdian yang sederhana dari almarhum yang penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Selanjutnya segala kesalahan almarhum marilah kita maafkan dan mudah-mudahan amal almarhum diterima di sisi Allah SWT. Amin!!! Wassalamu’alaikum…”
Setelah ketua RW menyudahi sambutannya para pelayat sama-sama melangkah pulang. Sesaat kemudian kuburan itu kembali lengang. Namun di atas gundukan tanah yang baru itu masih ada lima orang yang belum mau meninggalkannya. Mereka pada membisu, menatap gundukan tanah itu. Di masing-masing wajah mereka terlihat jelas goresan sedih. Lalu mereka saling bertatap muka, lalu kembali menunduk, “Darun, maafkan aku. Akulah pembuang tinja gelap yang membuat kau uring-uringan tempo dulu…” kata salah seorang di antara mereka.
“Aku juga, Darun…” sahut yang lain hampir bersamaan.
Esoknya takbir dan tahmid menggema dari segala penjuru. Semua muslim mengakui dosanya dan saling memafkan satu sama lain. Dan darun telah menghadap penciptanya lebih dulu.

Sidoarjo, 4 Juni 1985