Minggu, 12 Agustus 2007

dendam pada westerling


Westerling mati. Ah! Aku ingat saat itu tahun 1962, entah tanggal berapa dan bulan apa, yang jelas ramai-ramainya TRIKORA.
Kulihat ke bawah, hitam pekat. Angin malam yang biasanya jinak menerpaku cukup kencang. Menjadikan angan-anganku tertuju pada tempat jatuhku, yang entah dimana aku belum tahu. Yang paling kukhawatirkan kalau jatuh persis di tengah rawa. Sebab demikian medan yang kami pelajari sebelum beangkat. Medan Irian Barat sebagian besar adalah rawa-rawa dan hutan perawan yang ganas.
Dalam gelap ini rencana daerah sasaran memang hutan, tapi angin kencang bisa saja menjatuhkanku jauh dari sasaran dan bahkan di tengah-tengah rawa. Ah, sebaiknya aku berangan-angan yang baik saja. Dan, oh, belum sempat aku berangan-angan lebih lanjut tubuhku terperosok ke atas pohon, payungku nyangkut dan aku bergelantungan.
Aku bersyukur tidak jatuh di tengah rawa-rawa. Lalu kuputuskan untuk tidak turun sampai menjelang pagi. Siapa tahu di bawah banyak binatang buas. Andai tidak pun yang pasti nyamuknya cukup banyak.
Begitu posisiku sudah agak mapan dengan duduk di atas cabang yang cukup besar dan bersandar di pokok pohon dan badanku sudah kuikat sekedarnya agar tidak jatuh, aku mengambil sentolop kecil. Kulihat arlojiku jam 03.00.
Aku mulai memikir teman-temanku, di mana mereka jatuh. Mudah-mudahan berpencar tidak terlalu jauh.
Kicau burung yang pertama aku dengar dan tak lama kemudian susul-menyusul dengan burung-burung lainnya. Kulihat arlojiku menunjukkan jam 06.10, ini berarti waktu Irian Barat masih jam 04.10, tapi matahari telah memancarkan sinarnya agak terang.
Aku turun dengan tali regu. Ternyata pohon ini cukup tinggi, beberapa kali aku berusaha mengalahkan ranting yang menghalangiku. Sampai di bawah aku tak mengadakan gerakan apa-apa, menunggu hari terang.
Kuelus senjataku dengan perasaan lega. Sebab hari ini aku mulai pelacakanku untuk menumpahkan dendam yang tak mudah kulupakan. Memang aku bertugas di Irian Barat ini untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi, tapi aku punya niat lain di samping yang utama itu. Aku memburu Westerling dengan anak cucunya. Pembantaian Westerling yang dilakukan terhadap 40.000 orang bangsaku akan kutuntut balas.
Bagiku kekejaman Westerling kendati hanya kudengar atau kubaca dari buku terlalu murah untuk dilupa. Apalagi dua di antara korbannya adalah kakekku. Yah, aku akan tuntut balas, siapapun Belanda yang kuhadapi kuanggap saja anak-anak Westerling, paling tidak mereka adalah sebangsa dengan Westerling.
Kupandangi senjataku, Cuma geren dan pelurunya yang terbatas, tapi tadi diterjunkan juga secara tersendiri senjata STB yang multi fungsi dan cukup ampuh. Dengan STB aku akan mampu membakar kubu-kubu mereka dengan peluru pembakar, aku akan mampu membuat mereka kelabakan dengan peluru asap dan kujungkalkan tank mereka dengan peluru anti tank. Yah, senjata itu harus kutemukan untuk bisa memenuhi dendamku.
Matahari telah memancar penuh, tapi sekelilingku tetap tak bisa begitu terang karena rimbunnya rimba ini. Yaa cukup mengerikan rimba ini seperti rimba yang pernah kutonton dalam film Tarzan. Aku mulai bergerak mencari STB dan teman-teman. Peluit di mulutku sekali-kali kubunyikan sebagai kode. Sekitar seperempat jam aku masih bisa bergerak kira-kira 200 meter dari tempat jatuh. Di samping lebatnya hutan aku juga harus hati-hati. Kewaspadaan memang harus ganda. Sebab siapa tahu ada musuh atau binatang buas atau orang pribumi yang masih primitif yang menurut kabar angin masih setengah kanibal.
Aku berhenti. Naluri tentaraku menangkap ada gerakan di sekitarku. Betul, suara ranting dan dedaunan kering yang terinjak terdengar semakin jelas. Gerenku sudah siap tembak dan peluit di mulutku kubunyikan. Tetap tidak ada balasan. Aku semakin siaga, sedikit saja kutekan picu gerenku akan menghamburkan peluru. Dalam anganku ada tiga kemungkinan, kalau tidak Belanda, mungkin binatang buas atau orang pribumi yang masih primitif itu. Andai Belanda tidak ada masalah, kumuntahkan saja peluru senjataku. Begitu juga dengan binatang, kalau memang membahayakan jiwaku apa boleh buat. Tapi kalau orang pribumi ini yang jadi masalah. Mereka saudaraku yang harus kubebaskan dari belenggu penjajahan, tapi mereka masih belum mengerti arti kehadiran kami. Untuk memberi pengertian akan terjadi kesulitan komunikasi. Tidak saja masalah bahasa yang menjadi kesulitan, tapi intelejensia mereka juga kuragukan.
Suara kresak-kresek itu berhenti. Jantungku berdetak lebih cepat. Perubahan detak jantung ini kusadari dan aku berusaha meredamkannya. Tidak layak pemburu Westerling tak bisa menghadapi sesuatu yang tentu dengan tenang. Tapi usahaku sia-sia, degup jantungku tak bisa kembali normal.
Peluitku kutiup lagi. Tetap tak ada balasan. Sekitar seperempat jam tak ada perkembangan. Tapi degup jantungku kurasakan normal kembali dengan sendirinya, konyolnya berbarengan dengan itu aku mulai merasakan gigitan nyamuk. Nyamuk belantara yang tak tahu etika sama sekali.
Aku memutuskan untuk bergerak lagi. Yah apa boleh buat. Aku merayap ke arah datangnya kresak-kresek tadi. Dan, blong, hatiku lega, dalam jarak sekitar 4 meter aku baru dapat melihat seekor babi yang cukup gemuk.
Aku meneruskan mencari STB dan teman-teman. Menjelang sore kutemukan tiga temanku dan satu di antaranya memanggul STB. Esok harinya kami telah berjumlah 15 orang. Aku semakin optimis dendamku pada Westerling akan dapat kulunasi.
Kami memutuskan untuk bergerak ke utara untuk mendekati musuh sesuai dengan peta penyerbuan. Medan yang cukup berat membuat gerak kami bagai siput dan begitu melelahkan. Hari berikutnya suasana medan tetap monoton, berat dan membosankan. Beban kami bahkan bertambah pada hari keempat, kopral Yono terserang malaria. Dia terpaksa dipanggul bergantian apabila medan memungkinkan. Teman-teman ngotot STB yang kupanggul supaya aku tinggalkan, tapi juga ngotot untuk tetap membawanya, sebab tanpa STB aku tak bisa berbicara banyak. Untung penyakit Yono bisa diajak kompromi, empat hari kemudian ia sembuh.
Kelegaan kami ternyata tidak begitu panjang, kami terjebak rawa-rawa yang cukup luas. Aku mengeluh, ternyata untuk melunasi dendam pada Westerling amat berat. Konyol rawa-rawa ini melingkar semacam tapal kuda dan luas dan kami sudah menjorok masuk ke dalam.
Hari kelima belas kami baru bisa mendekati sasaran.
“Eko, kita istirahat...” koptu Yunus menghentikan gerak kami, “Sasaran sudah dekat...”
“Yah, sesuai dengan perintah, serangan masih menunggu komando...” aku sependapat dengan Yunus.
“Aku setuju, di sini kita cukup aman dan dalam satu jam kita sudah bisa menjangkau sasaran...” kopda Taman yang sudah standby dengan radio komunikasinya juga setuju.
Kami istirahat.
Malamnya aku tak bisa tidur. Kekejaman Westerling yang membantai 40.000 bangsaku membayang dengan kuat.
STB kuelus. Esok jika datang komando, mereka anak-anak Westerling akan kusikat dengan peluru pacarota dan asrama mereka kubakar dengan peluru pembakar.
Wahai, arwah-arwah Westerling, tenanglah! Aku dan teman-temanku sebentar lagi akan membuat perhitungan.
Esoknya kabar berangkai telah diterima oleh Taman. Belanda menyerah dan otomatis kami dilarang meneruskan konfrontasi. Teman-teman pada gembira. Aku sendiri juga bersyukur, tapi sekaligus kecewa. Belum satu pun anak-anak Westerling tersiul peluruku.
Untuk meledakkan dendamku yang sudah di ubun-ubun kutembakkan gerenku ke atas dengan menghabiskan peluru satu magazin. Teman-teman mengira aku melampiaskan kegembiraanku, mereka pada meniru menembakkan senjatanya. Sebentar pertempuran seolah-olah meledak, kemudian siam. Sepi.
Seekor cendrawasih yang terusik terbang pelan menjauh.

Sidoarjo, 3 Desember 1987