Minggu, 12 Agustus 2007

derita widi


Sudah setengah jam Widi duduk di Kursi tua itu. Ia memandang ibunya yang tertawa-tawa sendirian. Tampak jelas ibunya semakin kurus, kusut dan kumal. Sudah empat hari ia tak berhasil membujuk ibunya agar mau mandi. Kemarin ia mencoba dengan paksa, tapi malah dirinya yang diguyur air oleh ibunya. Anehnya ia menurut saja. Ia membayangkan ibunya tidak sakit dan penuh kasih sayang saat mengguyur air itu. Ia memang sudah teramat rindu kasih sayang ibunya.
Widi tampak memelas. Sebagai gadis yang baru dua tahun meninggalkan bangku SMA memang beban yang harus ia pikul cukup berat. Ia seorang diri harus merawat ibunya yang sakit. Bermacam-macam usaha telah ia lakukan demi kesembuhan ibunya namun belum juga berhasil. Tinggal satu saran yang belum ia laksanakan, yaitu mengirim ke rumah sakit jiwa. Sebetulnya ia setuju dengan saran itu, tapi dari mana ia harus mendapatkan uang untuk biayanya.
Kini Cuma pada takdir Tuhan ia menggantungkan nasibnya. Yah, takdir. Bukankah takdir dalam sekejab telah mampu merenggut kebahagiaannya dua tahun yang lalu. Ketika itu Widi baru lulus dari SMA dan sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, tiba-tiba suatu musibah menimpa keluarganya. Ayahnya yang bekerja di bank tertembak mati oleh perampok yang sedang beraksi di bank itu. Dan yang lebih tragis lagi jiwa ibunya tergoncang hebat oleh peristiwa itu sampai akhirnya sakit jiwa hingga sekarang.
Barangkali Tuhan sudah menata penderitaan yang akan dihadapi Widi, karena seminggu sebelum ayahnya tertembak mati sanak familinya sama-sama berangkat transmigrasi ke Sulawesi. Jadinya Widi sendirian menanggung beban seberat itu.
Widi mendekati ibunya, “Makan, bu…” sapanya. Ibunya Cuma mengangguk. Ia bergegas meninggalkan ibunya dan kemudian kembali dengan sepiring nasi, lalu diberikan pada ibunya.
Ia kembali duduk di kursi tua itu sambil melihat ibunya yang sedang makan. Dan ia tak melarang ketika ibunya berdiri kemudian menyuapi mulut foto ayahnya yang menempel di dinding.
Oh, ibu, kapan berakhir keadaan semacam ini. Kita kembali hidup normal. Aku belum sempat mewarisi keahlian memasakmu. Aku sangat rindu belaian kasih sayangmu. Ibu, sembuhlah! Jangan biarkan aku sendirian menanggung semua ini. Begitu jerit hati Widi yang tanpa diiringi air mata. Mungkin sudah terlalu kering air matanya.
Widi pindah ke sofa, menelentangkan tubuhnya sampai kemudian deritanya sirna untuk sementara dalam kenyenyakan tidurnya orang yang payah.
*
Sore ini derita Widi seperti hilang tak berbekas. Ia kelihatan cantik dan anggun mengenakan pakaian yang dulunya dipersiapkan untuk menghadiri malam perpisahan. Rok batik warna cokelat yang sangat serai dengan warna kulitnya yang kuning dan tatanan rambutnya yang mengombak setengah bahu, yang sebetulnya tanpa ditata memang sudah baik.
Pagi tadi ia telah membersihkan rumahnya, dan yang membuat ia puas ibunya menurut saja ketika dimandikan dan diganti pakaiannya. Seolah ibunya mengerti semua yang dikehendaki Widi.
Hendro, kekasih Widi yang nyaris terlupakan karena derita dan kesibukannya, pagi tadi telah datang dari tugasnya di Irian Jaya dan sore ini akan berkunjung ke rumahnya.
Serasa beraduk perasaan Widi antara rindu dan cemas. Ia telah berulang kali pindah tempat duduk, gelisah dan tak tenang. Kemudian bercermin di depan kaca sambil memutar-mutar tubuhnya. Mendadak ingatannya mengendap ke masa-masa yang penuh ceria dan gelak tawa. Lalu ke saat perpisahan dengan Hendro dua setengah tahun yang lalu.
“Widi, percayalah setelah tugasku selesai nanti, aku akan segera meminangmu dan begitu kau selesai kuliah kita segera kawin...” begitu di antara kata-kata Hendro yang terhambur dari mulutnya sebelum naik ke pesawat.
Tiba-tiba perasaan cemas kembali mencekam. Ia khawatir Hendro akan berbalik pantat setelah mengetahui keadaan keluarganya. Selama ini ia tak sempat menceritakan keadaannya. Dan sangat mungkin keluarga Hendro tidak mengetahui, karena jarak antara rumah Widi dan Hendro memang cukup jauh.
Andai saja Hendro menjauhiku setelah mengetahui keadaanku, aku mesti merelakan. Hendro tidak bersalah bila bersikap demikian. Siapa orangnya yang tidak khawatir menanggung beban seberat ini. Demikian kata hati Widi mengiringi kecemasannya.
Widi tergagap dan lamunannya buyar ketika mendengar ketukan pintu. Dengan hati yang nit-nit ia berjalan menuju pintu. Ternyata memang Hendro yang datang.
”Mas Hendro!” sapanya bernada rindu.
”Widi!”
Ia menjabat tangan Hendro lama sekali, lantas mempersilakan Hendro duduk. Hendro Cuma menurut dan seperti dulunya tetap bersikap sopan.
”Widi, aku ikut sedih atas kematian ayahmu...” Hendro mulai bicara sambil melepas jaketnya, ”Sebetulnya aku telah memaca di koran, tapi aku tak percaya korban itu ayahmu kalau saja suratmu tidak menyusul kemudian...”
”Sudah nasibku, mas Hendro...” balas Widi memelas.
”Yah, kau harus tabah...”
“Aku telah berusaha untuk tabah.”
Ekspresi Hendro ikut memelas. Ia amati hidung Widi, tambah mancung dan matanya sedikit cekung serta bibir mungil yang dikaguminya pecah-pecah tanpa dipoles lipstik. Hendro baru sadar kalau Widi teramat menderita oleh kematian ayahnya dan ia baru ingat ibu Widi.
”Widi, ibumu mana?”
”Oh, ibu di dalam.” Widi berdiri lalu mengajak Hendro masuk ke ruang tengah. Ibu Widi sedang menjahit dan kelihatan tak acuh pada kehadiran mereka. Ketika Hendro mendekat dan menjabat tangannya dengan sikap hormat orang tua itu mengawasi tajam dan lantas tersenyum sinis. Kalau saja ibu Widi tak mengomel terus-menerus Hendro pasti dibaut pusing oleh keganjilan itu.
”Mas Hendro, sepeninggal ayah, ibu telah menjadi aneh. Kata orang, gila.” Kata Widi menerangkan setelah mereka kembali ke ruang tamu. ”Dan, maafkan aku tidak sempat memberitahukan pada mas Hendro.”
”Aku ikut prihatin,” jawab Hendro sambil menarik napas dalam-dalam.
“Pendritaanmu terlalu berat...”
Widi diam, hatinya galau tak karuan.
”Sudah dibawa ke rumah sakit jiwa?”
”Belum...”
”Kenapa?”
”Biayanya, mas. Dari mana aku mendapat uang. Aku sama sekali tak dapat keluar untuk bekerja, sedang pensiun yang kami peroleh hanya cukup untuk makan.” Tenggorokan Widi terasa kering setiap menjawab pertanyaan semacam ini. Semua cuma bisa tanya dan mencemooh, tapi tak bisa memberikan jalan keluar. Kini pertanyaan itu datang dari mas Hendro, kekasihnya. Calon menantu ibunya. Orang yang bisa diharapkan jadi pahlawan penderitaannya. Widi menunggu atas reaksi dari Hendro atas jawabannya. Hendro tercenung. Sepi. Dan tak menjawab.
”Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat,” tambah Widi memecah kesunyian.
Hendro menangkap goresan sedih di wajah Widi semakin dalam dan pikirannya sendiri terasa keuh, segera saja ia mengalihkan pembicaraannya pada pengalamannya di pedalaman Irian Jaya. Sebentar saja Widi sudah terlarut dalam keasyikan cerita Hendro yang sesekali diselingi dengan humor, hingga gelak tawa yang segar terdengar lagi di rumah itu.
Sepulang Hendro rumah Widi kembali dicekam sepi. Lebih-lebih perasaan Widi kacau tak menentu. Masih jelas bayangan Hendro yang membisu ketika ditunggu reaksinya setelah dia menerangkan kesulitan biaya. Ah, Widi, serasa tak dapat berpikir apa-apa. Sumpek. Yang ia rasakan kehidupan ini semakin keras dan tak acuh pada penderitaannya. Membosankan. Ingin rasanya ia ikut sinting bersama ibunya biar tak merasakan penderitaan lagi.
Dua bulan setelah itu Hendro belum juga berkunjung ke rumah Widi lagi, padahal ia sudah tak bertugas di Irian lagi. Tapi Widi juga tak berharap. Hatinya sudah beku dan dilapisi tebal oleh penderitaan.
Sementara itu ibunya telah menunjukkan perkembangan yang serius. Akhir-akhir ini sering melempar rumah-rumah para tetangga dan orang-orang yang lewat di depannya. Juga mandi sudah tidak mau sama sekali. Yang masih mending cuma makan dia masih mau, barangkali yang tak bisa dilupakan orang gila hanya lapar.
Widi memang anak yang penuh bakti. Ia masih saja merawat dan menjaga ibunya dengan sabar. Dan hampir setiap hari ia datang ke tetangga-tetangganya untuk meminta maaf atas gangguan ibunya. Tak jarang ia menggigit bibir menahan omelan dari tetangganya yang kurang menyadari.
*
Hati Widi terenyuh dan terpukul hebat menghadapi kenyataan ibunya harus dipasung atas kehendak orang kampung. Kemarin ibunya telah memukul orang sampai luka parah.
“Demi keselamatan dan ketenteraman kampung...” kata pak lurah. Ini memang betul dan Widi tak bisa membantah. Namun yang ia tak habis heran, kenapa di antara mereka tak ada yang punya ide membantu biaya secara gotong royong dan mengirimkannya ke rumah sakit jiwa.
Ia histeris melihat ibunya yang meronta-ronta saat dipasung.
”Gila! Kalian yang gila! Kesinisan kalian yang membuat ibu demikian. Sekarang, sesudah kami menderita cukup lama ibuku kalian siksa.”
Napas Widi tersengal-sengal, kemudian ia tak ingat apa-apa lagi. Dirinya sudah terlalu capek dan lemah. Ia pingsan beberapa saat.
Waktu ia sadar kembali rumahnya sudah sepi, orang-orang yang tadi memegangi lengannya juga sudah tidak ada. Yang ia jumpai hanya bu Inah, tetangganya yang baik sedang menggosok-gosokkan minyak angin di pelipisnya.
”Sabarlah, nak Widi...” bisik bu Inah sambil mencucurkan air mata.
Badan Widi masih lemah untuk digerakkan, Cuma matanya mulai menyapu sekitarnya, lalu kembali lagi menatap bu Inah yang kini mengusap-usap rambutnya.
”Sabarlah, nak Widi...” bu Inah kembali berbisik. Widi mulai bisa menangkap wajah keriput yang penuh iba itu dan marasakan ada air hangat menetes di wajahnya.
Ah, nak Widi, kasihan kau. Kalau saja ayahmu tidak mati, kalau saja ibumu tidak sakit, kalau saja orang-orang mau menyadari penderitaanmu, tentunya kau tidak menderita semacam ini. Kau memang anak yang baik. Penuh bakti. Kata orang tua itu dalam hatinya.
Widi sendiri kesadarannya telah sempurna. Ia bisa menangkap rasa iba yang tulus dari bu Inah. Tangan bu Inah yang beralih memijit-mijit keningnya sungguh telah menyejukkan hatinya. Selanjutnya seperti ada magnet yang menggerakkan Widi, ia mendekap bu Inah erat-erat sambil menghamburkan tangisnya. Rasa iba bu Inah tambah terungkit oleh dekapan Widi, hingga ia menangis juga.
*
Widi belum bisa menerima perlakuan orang kampung yang memasung ibunya. Apalagi setelah ia melihat kedua pergelangan kakinya luka kena kayu pasung itu. Ia memutuskan untuk menjual rumahnya dan mengirim ibunya ke rumah sakit jiwa. Masa depan baginya adalah kesembuhan ibunya. Cuma itu. Ia akan membicarakan dengan bu Inah masalah menjual rumah ini. Ya, hanya bu Inah yang bisa dimintai pertimbangan. Bukankah dari orang yang tulus ikhlas akan keluar pertimbangan yang tulus ikhlas pula. Begitu pendapat Widi.
Widi nyelonong saja masuk ke rumah bu Inah. Hal demikian sudah biasa ia lakukan sejak ibunya belum sakit. Rumah bu Inah memang sepi karena hanya bu Inah sendirian yang menjadi penghuninya.
”Lagi masak, bu?” sapa Widi yang menjumpai bu Inah ada di dapur.
”Ya, nak Widi, habis siapa lagi yang masak...”
Bu Inah mengajak Widi ke ruang depan, dan sebentar saja mereka terbat dalam keasyikan berbicara.
“Bu Inah, saya bermaksud menjual rumah dan mengirim ibu ke rumah sakit jiwa,” kata Widi setelah cukup berbasa-basi. Dan bu Inah jadi terdiam mendengar maksud Widi ini, kerutan di wajahnya semakin tampak menandakan bu Inah ikut berpikir.
”Nak Widi, ibu senang melihat kau dan memahami maksudmu. Tapi tak usah kau jual rumah.”
Saya ingin ibu segera sembuh...”
”Yah, ibu juga begitu,” bu Inah menarik napas.
”Lantas Widi harus bagaimana?” widi ingin tahu pemecahan dari bu Inah. Tapi bu Inah tidak menjawab pertanyaannya melainkan masuk ke dalam, setelah agak lama baru keluar lagi sambil membawa dompet.
”Pakai saja uang ibu ini...” bu Inah menyerahkan dompet itu pada Widi. Widi tidak mengerti dan tercengang setelah melihat isi dompet itu, yang ternyata lembaran uang puluhan ribu dalam jumlah yang cukup banyak.
“Oh, ... tidak, bu Inah!” Widi menaruh dompet itu di meja.
”Kau harus menerima, demi ibumu dan aku ikhlas...” bu Inah mengembalikan dompet pada Widi, ”Untuk ibu masih ada cukup banyak.”
”Tidak, bu Inah, biarlah aku jual rumahku...”
”Sudahlah, terimalah bila kau senang dengan bu Inah dan ingin ibumu segera sembuh...” tanpa menunggu reaksi Widi, bu Inah berdiri dan menuntun Widi pulang ke rumahnya.
Widi memang tidak tahu sama sekali perkembangan di kampungnya ejak ibunya sakit. Begitu juga tentang bu Inah yang dua tahun terakhir ini selalu mendapat kiriman uang dari anaknya yang bekerja di Kuwait dan rencana bu Inah untuk pergi haji tahun depan.
”Besok pagi kita antar ibumu ke Sumber Porong....” Widi yang dalam keheranan tak mampu berucap apapun. Perasaan senang, haru, dan tak percaya beraduk jadi satu. Ia hanya memandang bu Inah yang meninggalkannya. Sesaat kemudian ia lari ke ibunya. Merangkulnya erat-erat dan mengumbar tangis. Entah apa yang dirasakan ibunya, yang jelas orang tua yang sakit itu ikut menangis.
“Ibu, kau akan segera sembuh...”

Sidoarjo, akhir Mei 1983