Senin, 20 Agustus 2007

kembali


H. Sofwan membaca alhamdulillah berulang-ulang ketika sampai di asrama haji Sukolilo Surabaya bersama rombongan kloter terakhir.
Ia betul-betul bersyuklur dalam usianya yang sudah udzur diberi oleh Allah kekuatan hingga bisa menjalankan ibadah haji dengan sempurna dan selamat sampai di tanah air kembali. Ada kepuasan yang sulit ia gambarkan dengan kata-kata. Bagaimana tidak, ia telah memandang ka’bah dengan sepuas-puasnya, ia telah mencium hajar aswad yang juga pernah dicium oleh nabi Muhammad SAW, ia telah beri’tikaf dan sholat ratusan raka’at di masjidil haram, masjid yang mempunyai nilai tertinggi dari seluruh masjid yang ada di seantero dunia.
Ia telah mencucurkan air mata tuanya di tempat-tempat penting yang penuh dengan kenangan sejarah, sebagai rasa haru, rindu, sesal dan puas.
Ketika mau pulang rasa rindu pada semua keluarganya memang telah menggoda, tapi bersamaan itu pula ada perasaan berat untuk meninggalkan tanah suci Mekkah. Yang aneh bobot rindu terberat malah pada Hilmi, anak sulungnya yang paling nakal, bukan pada adiknya, Muhammad atau Fatimah yang penurut dan baik.
Bayangan Hilmi ini sering hadir pula pada saat ia mau melaksanakan ibadah. Padahal Hilmi yang sudah mendapat status korak di masyarakat dan telah melanggar hampir seluruh larangan agama serta meninggalkan perintahnya hampir saja menggagalkan H. Sofwan untuk pergi haji. Ketika ia mau melunasi ONH-nya uangnya yang satu juta itu telah diambil oleh Hilmi.
Bayangan Hilmi yang selalu hadir itulah membuat ia mengkhususkan do’anya untuk Hilmi ketika berdoa di tempat-tempat mustajabah.
“Ya Allah, sesungguhnya Kau Maha Mendengar doa-doa hamba-Mu, Maha Pemberi, Maha Pengabul, Maha di atas segala maha dan tak pernah ingkar pada janji-Mu, aku mohon berilah keluargaku hidayah dan khususnya kepada anakku, Hilmi. Kembalikan dia sebagai anakku, sebagai amanat dari-Mu yang sejak mula kuharapkan tumbuh sebagai orang sholeh. Ya Allah, sesungguhnya Kau telah tetapkan tempat ini sebagai tempat mustajabah untuk berdoa…” begitu potongan doa yang selalu ia panjatkan dengan penuh kekhusu'an di tempat-tempat mustajabah.
Kini H. Sfwan telah dijemput keluarganya dari Sukolilo. Mereka yang selalu was-was atas kesehatan H. Sofwan selama menunaikan ibadah haji tampak senang dan penuh rasa syukur. Bagaimana tidak, sebab H. Sofwan di samping usianya sudah udzur ia juga mengidap jantung lemah. Inipun terakibat seringnya digoda Hilmi.
Sepanjang perjalanan mereka pada diam, karena H. Sofwan ketika mau berangkat sudah pesan, “Aku mau nadzar, apabila aku bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik dalam perjalanan pulang aku akan selalu membaca wirid, untuk ini jangan diajak bicara sebelum aku sampai di rumah…”
Sebetulnya H. Sofwan sendiri ingin berbicara banyak. Ia ingin menanyakan mengapa ketiga anaknya tidak ikut menjemput dan ingin menanyakan perkembangan Hilmi. Apakah ia tetap nakal atau sudah sadar. Tapi semua keinginan itu ia simpan saja, karena ia ingin melunasi nadzarnya dulu.
Sementara itu di rumah telah diadakan persiapan seperlunya. Beberapa tetangga kanan kiri sudah pada menunggu di ruang tamu yang kursinya sudah diganti dengan tikar.
Mereka disamping ingin menghormat tetangganya yang baru pulang dari haji, juga ingin mendengar cerita tentang pelaksanaan ibadah haji dan tentang kota Mekkah yang tiap tahun selalu ada perkembangan bangunan fisiknya. Dan, yang lebih dinantikan adalah cerita tentang demonstrasi jama’ah haji Iran yang sampai membawa banyak korban. Bisa dipastikan H. Sofwan seminggu suntuk bakal terus mengulang-ulang ceritanya, karena kebetulan tahun ini di kampungnya cuma dia sendiri yang pergi haji.
Hari masih pagi ketika mobil yang ditumpangi H. Sofwan beserta penjemputnya mulai masuk kampung. Tampak tak ada penyambutan yang berlebihan. Disamping mobilnya cuma satu, juga di kaca depan tidak ada tulisan apa-apa, hingga tak mengundang perhatian anak-anak kecil. Padahal tahun kemarin ketika H. Irfan dan istrinya berangkat dan pulang haji sambutannya luar biasa. Iring-iringan mobilnya mengalahkan iring-iringan mobil pengantin, dan begitu masuk kampung anak-anak kecil pada menyambutnya dengan teriakan, “Wak haji datang! Wak haji datang!...”
Tapi kesederhanaan ini yang dikehendaki oleh H. Sofwan. Ia juga ingin meloporinya, biar kalau ada yang pergi haji lagi tidak usah mencarter banyak mobil sampai membuat orang yang bepergian jadi kesulitan cari mobil taksi.
Turun dari mobil H. Sofwan langsung disambut oleh keluarga dan para tetangga yang dari tadi sudah siap. H. Sofwan membalas sambutan itu dengan membalas salaman ala Arab pada penyambut laki-laki dan mengangguk-anggukkan kepala kepada penyambut perempuan, kecuali yang memang muhrimnya. Keletihan yang sangat tampak ketika di Sukolilo tadi seolah-olah sirna oleh wajahnya yang selalu berbinar-binar dalam menumpahkan rindu itu, dan ia kini telah menghentikan sama sekali wiridnya.
Ketika ia dirangkul Fatimah dengan hujan tangis, timbul tanda tanya di benaknya. Kenapa kedua anaknya yang lain, Hilmi dan Muhammad tidak ikut menyambutnya sampai ia telah masuk ke dalam kamar.
“Bah, mandi dan ganti pakaian dulu, baru temui tamu-tamu abah…” saran istrinya yang sudah meng-abah, padahal biasanya istrinya memanggil pak.
“Ya… sebentar. Itu air zam-zam keluarkan dulu dengan gelas-gelas kecil yang kubawakan dari Mekkah. Tapi aku hanya membawa sepuluh liter…” kata H. Sofwan sambil melepas pakaiannya.
“Biar sedikit asal rata, bah…”
“Ya… biar sama-sama pernah merasakan air satu sumber dengan air yang pernah diminum oleh nabi Ibrahim bersama keluarganya…”
H. Sofwan lalu membantu istrinya mengambil gelas-gelas kecil dari dalam tas besar dan sebelum istrinya keluar ia ingat Hilmi lagi, “Bu, mana Hilmi dan adiknya?” tanya H. Sofwan yang rindunya sudah tak bisa dibendung. Kendati ada rasa was-was dan prasangka yang tidak-tidak pada ketidaknongolan kedua anaknya, utamanya Hilmi, si berandal yang memang jarang ada di rumah.
“Oh, ya… aku sampai lupa. Mereka ada di masjid. Dan, tadi pesan kalau abah sudah datang supaya cepat-cepat aku menghubungi mereka…”
“Memangnya kenapa mereka?”
“Bah, lima hari setelah kepergian abah, Hilmi banyak memikirkan keselamatan abah dan dia sekarang sudah sadar. Dia jadi penurut dan tekun beribadah. Yang lebih istimewa tiap hari adiknya diajak untuk mendoakan keselamatan abah…”
“Alhamdulillah…” gumam H. Sofwan lirih. Serasa ia tak mampu menyampaikan kata itu. Hatinya dingin sepeti disiram air es mendengar keterangan istrinya. “Doaku rupanya diterima oleh Allah…” H. Sofwan mengingat-ingat doa-doa yang pernah ia sampaikan di tempat-tempat mustajabah.
Istri H. Sofwan setelah mengeluartkan air zam-zam buru-buru menyuruh Fatimah memanggil kedua kakaknya.
Sebentar kemudian Hilmi dan adiknya datang. Wajah mereka yang tampak bersih karena selalu tersapu air wudhu berbinar-binar. H. Sofwan yang melihat kedua anaknya berpakaian ala santri hatinya berbunga. Ada suatu kesenangan yang selama hidupnya belum pernah ia alami. Kesenangan yang menimbulkan aliran aneh ini membuat jantung H. Sofwan berdegup agak keras.
Sedang Hilmi yang sepeninggal ayahnya merasa banyak bersalah begitu melihat ayahnya langsung menubruk dan merangkul ayahnya erat-erat, “Ayah, ” panggilnya sangat pelan.
Kebahagiaan ayah Hilmi sulit digambarkan. Ia telah menemukan sosok anaknya yang sejati. Anaknya kembali sholeh. Kelakuan bejatnya luruh oleh doa-doanya di tempat-tempat mustajabah. Kebahagiaan yang telah berada di puncak itu telah menghentikan detak jantung H. Sofwan. Ia kembali kepada Allah dengan kepuasan penuh dan dalam rangkulan anaknya yang telah kembali dari kembaraan bejatnya.
Sampai beberapa saat keluarganya dan tamu-tamu di depan belum menyadari, bahwa H. Sofwan yang disambutnya juga telah disambut oleh malaikat Izroil dengan senyum ramah.
Inna Lillahi wainna ilaihi rojiun.

Sidoarjo, 7 September 1987