Selasa, 07 Agustus 2007

akhir sebuah cerpen

Kapal ferry “Joko Tole” mulai meninggalkan dermaga Tanjung Perak. Herman memilih tempat duduk menghadap ke samping kanan. Tas punggung yang berisi pakaian dan tustel ia letakkan di sisi kiri dan sekaligus ia jadikan untuk sandaran tangan.
Sementara angin membelai jalang rambut para penumpang dan membenturkan ombak ke lambung kapal, mata Herman melihat bangkai kapal dalam posisi miring di kejauhan. Sejenak ia ingat nasib kapal Tempo Mas II. Tapi ingatan itu segera bubar, ketika matanya menatap gadis yang berdiri di tepi dek. Gadis itu sedang asyik menikmati ombak laut. Sepintas Herman ragu. Kayak Marissa Haque? Ia telusuri dengan teliti gadis itu, barulah ia yakin kalau gadis itu bukan Marissa. Memang mirip, tapi postur tubuhnya lebih kecil sedikit.
Rasa usil Herman timbul. Ia mengambil tustelnya, lalu jeprat-jepret empat kali pada gadis itu. Sungguh suatu obyek yang artistik, gadis cakep dalam posisi setengah miring dengan rambut sebahu dipermainkan angin, di latar belakangi alunan ombak dan bangkai kapal di kejauhan. Tapi sialnya pada kali yang keempat itu yang dijadikan obyek mengetahui kalau Herman mengambil gambarnya.
“Hei, ijin dulu dong, kalau mau ambil gambar orang lain…” begitu tegur gadis itu. Herman kelabakan tak menjawab. Beberapa orang jadi mengawasinya.
“Memang nggak ada obyek lain ya?” lanjut gadis itu.
“Kurang menarik…” jawab Herman ogah-ogahan, lalu mendekat pada gadis itu. “Sebetulnya aku tertarik dengan bangkai kapal itu, tapi jaraknya terlalu jauh. Aku tidak membawa telelens…” Herman menunjuk pada bangkai kapal yang dimaksud dan diikuti oleh pandangan gadis itu.
Beberapa saat Herman dan gadis itu memandang bangkai kapal dengan pikiran masing-masing membayangkan mula-mula tenggelamnya kapal tersebut. Tapi pandangan mereka segera tertutup oleh ferry yang datang dari dermaga Kamal ke Tanjung Perak, beberapa detik.
Herman kembali menoleh ke gadis itu dan kebetulan sang gadis pun menoleh juga pada Herman.
“Kau sendiri?” tanya Herman.
“Ya, sebagaimana kau lihat…”
“Mau ke mana?”
“Ke Madura…”
“Maksudku… Madura mana?”
“Memangnya Madura ada berapa?”
Herman diam, tidak tanya lagi. Ngedongkol, tapi senang juga karena ada respon.
“Boleh aku kenal?” tanya Herman setelah dirasa agak kaku.
“Panggillah aku Nuning. Dan kau siapa?” jawab dan Tanya gadis itu tanpa menyodorkan tangannya.
“Herman…”
Sebentar kemudian mereka jadi akrab. Ngobrol terus dan saling tanya. Ternyata Nuning bertujuan ke Sumenep dan memang rumahnya di Sumenep. Herman juga terlanjur mengatakan bahwa tujuannya Sumenep, yang semestinya ia bermaksud ke rumah pamannya di Sampang.
Ketika “Joko Tole” yang mereka tumpangi merapat di dermaga Kamal, jam tangan Herman menunjukkan pukul 11.00. Mereka turun dan Herman membantu membawakan tas besar Nuning, sedang tas milik Herman dibawakan Nuning. Lalu mereka pindah naik colt jurusan Sumenep.
Herman tiba-tiba saja merasakan perjalanan ini sangat menyenangkan. Sama sekali ia tak menyesali keterlanjurannya mengatakan sama-sama ke Sumenep. Sebagai kompensasi memang boleh juga perjalanan ini. Bukankah baru saja ia putus dengan Tuti.
Herman tambah senang ketika Nuning ternyata dapat menceritakan adat istiadat orang Madura dengan baik dan segala perayaan tradisional, baik yang sekarang masih dilaksanakan atau yang sama sekali telah ditinggalkan. Lebih-lebih masalah karapan sapi yang menarik.
“Nuning, kau anak daerah yang baik. Profil seorang gadis yang sempurna…”
“Dan kau adalah turis yang bloon…”
“Yah, memfoto seseorang tanpa ijin lebih dulu…”
“Tidak cuma itu. Masak proses pembuatan garam kau tanyakan. Kenapa tidak sekalian cara menanam tembakau dan menangkap ikan?”
“Maaf kalau aku terlalu ceriwis. Tapi terus terang baru pertama ini aku ke Madura, dan lagi segala yang kutanyakan aku memang tidak tahu,” bela Herman sedikit terpojok, tapi segera ia melanjutkan, “Okelah, sekarang kau yang bertanya tentang daerahku!”
“Nah, begitu baru adil...”
Belum sempat Nuning bertanya colt yang mereka tumpangi berhenti. Ada tiga orang penumpang yang turun. Tapi bersamaan itu pula lima orang mau naik. Herman berharap salah seorang dari mereka duduk di belakang, biar dirinya bisa lebih rapat lagi dengan Nuning. Dan apa yang diharapkan oleh Herman menjadi kenyataan. Ah, dasar nasib lagi mujur. Begitu desahnya.
Colt berjalan kembali. Tancap gas lagi.
“Ayo, tanyalah!” pinta Herman.
“Aku memang ingin tanya masalah kotamu, bagaimana asal mulanya kok bernama Malang?”
“Oh, itu ceritanya panjang. Kali lain akan kuceritakan lewat surat. Sungguh, aku janji. Kini tanyalah masalah lain…”
“Kita baru sampai di Bangkalan, Sumenep masih kurang sembilan puluh kilo lagi…”
“Tapi, kuharap kau tanya yang lain…”
“Baiklah, kualihkan. Kenapa becak Malang potongannya pendek dan tempat duduknya sempit?”
Lagi-lagi Herman dibuat gelagapan oleh pertanyaan Nuning. Dirasa Nuning menyindir dirinya yang duduk terlalu rapat dengannya. Akhirnya Herman menjawab sekenanya. Ia terangkan tempat duduk becak Malang dibuat sempit biar tampak romantis apabila yang naik sedang pacaran. Dan dibuat pendek, kalau yang naik pakai kebaya biar tidak terlalu sulit.
Senang juga Nuning mendengar jawaban Herman. Kendati ngawur, tapi berbau humor dan mengena. Akhirnya Nuning tak jadi melanjutkan pertanyaan, pembicaraan beralih pada hal-hal yang bersifat humor dan teka-teki yang mengundang tawa.
Colt memasuki kota Sampang. Herman ingat, bahwa dirinya mestinya turun di sini. Tapi apa boleh dikata sudah terlanjur ngomong turun di Sumenep dan juga terlanjur dirinya terpaut pada Nuning.
“Ada yang turun?” tanya kernet. Ternyata seluruh penumpang diam saja, dan sopir pun tetap tancap gas.
Colt terus melaju melewati Pamekasan, dan sampai pula di perbatasan Pamekasan-Sumenep. Herman mulai pikir-pikir. Setelah turun nanti mau ke mana aku. Apakah langsung kembali atau putar-putar dulu di Sumenep. Ah, kalau saja Nuning menyilakan aku singgah dulu di rumahnya, pasti tak akan kutolak. Begitu otaknya pusing-pusing tak menemui titik jawab. Sementara itu pula Nuning tak mau mengusiknya. Herman yang sedang berpikir dikira terlalu lelah, hingga mereka tampak membisu.
“Herman, kau turun mana?” tanya Nuning setelah colt masuk kota Sumenep.
“Terminal…”
“Aku turun di perempatan depan. Kalau ada waktu silakan main-main ke rumahku, jalan Kartini, depannya ada kios jamu Air Mancur...”
“Mudah-mudahan ada. Aku senang berkenalan denganmu…”
“Kiri!” teriak Nuning. Kemudian ia turun. Herman mengawasi sampai colt berangkat lagi. Tiba-tiba saja ia merasakan kekonyolannya, bahwa dirinya bloon seperti yang dikata Nuning tadi. Ia ingat kalau pamannya mengharapkan kehadirannya sebelum jam 14.00. Dan kini jam tangannya telah menunjukkan pukul 15.00.
Tiba di terminal Herman turun. Beberapa tukang becak menawarkan jasa untuk mengantarnya. Herman hanya menggelengkan kepala dan bingung.
*
“Nah, cerpen yang sedang kutulis sampai di situ. Ideku macet, tak bisa meneruskan. Bagaimana pendapatmu?” tanya Tono pada Roni yang dari tadi mendengar ceritanya. Dan Roni tampak mengerutkan dahi tidak langsung menjawab.
“Umpama Herman dibuat ketemu temannya di Sumenep, lalu disuruh mampir ke rumahnya dan Herman setuju. Kemudian ternyata temannya itu adalah kakak dari Nuning, bagaimana?” mendengar gagasan Tono ini Roni cuma manggut-manggut.
“Ayo, bagaimana menurutmu?” desak Tono.
“Terlalu banyak cerpen yang alurnya didukung faktor kebetulan. Tulisanmu akan tampak monoton, masak tokoh Herman senang dan jaya terus?” begitu sanggah Roni.
“Menurutmu…?”
“Terus terang aku jengkel melihat tokoh Herman. Gampang terpengaruh dan melenceng pendiriannya. Kau tahu berapa jarak antara Sampang-Sumenep?”
“Terus bagaimana?”
“Buat saja Herman akhirnya mendapat kecelakaan di Sumenep. Ini klop sebagai ganjaran orang yang suka melenceng…”
“Kau kok jadi sentimen sama tokoh Herman?”
“Aku memang tidak simpati dengannya…”
“Ini kan fiktif, kenapa kau jadi cengeng?”
“Ah, sudahlah, terserah kau yang menulis. Pokoknya kalau pendapatku jangan dibuat happy ending...” setelah berkata begitu Roni bergegas meninggalkan Tono yang masih diliputi keheranan melihat sikapnya.
Tono mau beranjak dari tempat duduknya. Namun tiba-tiba matanya melihat sebuah dompet di kursi yang tadi diduduki Roni. Ia pungut dompet itu, lali timbul niat untuk membuka dan meneliti isinya. Ia temukan uang ribuan sebanyak tiga lembar dan selembar foto gadis cakep setengah badan ukuran empat kali enam. Ia ambil foto itu dari tempatnya, lalu ia amati sejenak, kemudian ia balik. Dan ia jumpai tulisan yang cukup jelas di balik foto itu.
“Nuning, Jalan Kartini 43A Sumenep”
Tono mematung penuh keheranan dan baru mengerti akan sikap Roni. Oh, aku telah menyakiti hati sahabatku, keluh Tono sembari memasukkan foto itu ke asalnya.
*
Esoknya sebelum jam pelajaran dimulai mereka ketemu di kelas.
“Bagaimana, Ton?” Tanya Roni.
“Kuakhiri dengan memasukkan cerpen yang belum selesai itu ke tong sampah, setelah terlebih dulu kurobek-robek menjadi kepingan-kepingan kecil…”
Roni terperangah. Mematung.
“Maaf sama sekali aku tak sengaja...” tambah Tono sembari memberikan dompet Roni.

Sidoarjo, 20 September 1983