Sabtu, 18 Agustus 2007

singa dari bentangsari


Entah untuk kali yang keberapa pemuda-pemuda itu dikecewakan oleh pak Malik. Lagi-lagi mereka pulang dengan tangan hampa. Pak Malik yang dirayu dengan bermacam cara tetap saja bungkam. Wajar kalau ia tambah wibawa. Betapa tidak, pada saat orang lain ramai-ramai menuntut haknya sebagai veteran 45, pak Malik malah bungkam tentang perjuangannya.
Memang orang yang dijuluki singa revolusi dari desa Bentangsari itu kian tua kian alim. Ia selalu menolak pemberian hadiah dari manapun datangnya yang selalu dikaitkan dengan perjuangannya semasa revolusi dulu. Malah tidak jarang ia menolak sambil menangis. Padahal menangis dulunya adalah pantangan bagi pemuda Malik. Teman-temannya yang gugur oleh peluru Belanda tidak ada yang ditangisi, kecuali dijadikan pelecut semangatnya. Bahkan ketika ayah ibunya mati dengan perantara mortir Belanda ia hanya meratap dengan ekspresi dendam yang membara, “Aku akan balas bajingan-bajingan itu!!!” itulah kalimat yang dipekikkan ketika usai mengubur jenazah ibu bapaknya.
Barangkali pak Malik sudah puas melihat anak cucunya hidup merdeka. Bisa mencari ilmu dengan leluasa dan fasilitas hidup yang cukup, serta dengan jabatannya sendiri selaku penjaga masjid.
Tapi sikap pak Malik itu membuat pemuda-pemuda itu penasaran. Terutama Ardhi yang mempelopori pemuda-pemuda itu untuk membukukan cerita perjuangan pak Malik dengan teman-temannya, khususnya yang sekampung. Ayah Ardhi sendiri adalah sahabat karib pak Malik yang gugur di medan laga.
Sebetulnya sejarah kecil yang ditulis oleh para pemuda itu sudah hampir selesai, tinggal menunggu pelengkap dari pelaku utamanya, yaitu pak Malik. Tapi kini jalan semakin sempit bagi mereka untuk mengorek cerita dari pak Malik.
“Bagaimana, apakah kita tetap menunggu cerita dari pak Malik?” tanya Ardhi pada teman-temannya.
“Aku pikir tak usah. Toh kebenaran cerita yang kita tulis sudah dapat dipertanggungjawabkan…” jawab Amron.
“Yah… empat sumber sudah cukup…” Laila menopang pendapat Amron.
“Cukup sih cukup, tapi kalau pak Malik mau memberi keterangan buku yang kita tulis akan lebih sempurna. Sebaiknya kita coba sekali lagi…” sanggah Dirman diplomatis, “aku punya ide…”
“Coba jelaskan!” pinta Ardhi yang terpancing penasaran.
Dirman mengangguk-anggukkan kepala.
“Ayo, Dir, jelaskan. Penasaran nih...“ sambung Laila tak sabar.
“Oke, tapi kita duduk dulu. Jangan di tengah jalan seperti ini…”
Mereka setuju dengan ususl Dirman. Dan sebentar kemudian mereka sudah duduk di ruang tamu rumah Laila.
“Ideku simple saja…” Dirman memotong suaranya dengan meminum minuman yang baru saja dikeluarkan oleh Laila, “kita tidak usah meminta cerita pada pak Malik. Kita baca saja cerita yang telah kita tulis di hadapan pak Malik, kemudian pak Malik tinggal menjawab benar atau tidak. Tapi resikonya kita bisa dianggap pemuda yang tak sopan dan tidak menghargai pahlawannya…”
“Gawat juga…” desah Amron. Yang lain pada diam, menimbang-nimbang.
Akhirnya mereka setuju dengan ide yang dianggap kurang sopan itu.
***
Pak Malik baru saja menunaikan sholat Isya’ ketika para pemuda itu datang.
“Apa lagi? Sudah kukatakan aku tak mau bercerita tentang masa revolusi,” kata pak Malik mendahului mereka setelah berbasa-basi sebentar.
“Kami tidak minta cerita, pak Malik…” jawab Laila yang memang ditunjuk sebagai juru bicara.
“Lantas apa?”
“Kami yang ingin bercerita dan pak Malik hanya kami mohon untuk mendengarkan…” lanjut Laila.
“Yah, habis pak Malik diam saja, ya kamilah yang bicara…” tambah Ardhi.
“Pak Malik tidak keberatan, kan?” tanya Laila.
Pak Malik diam. Dan pemuda-pemuda itu menunggu dengan harap-harap cemas.
“Baiklah…”
Horeee! Berhasil! Begitu pekik mereka mendengar jawaban dari orang tua yang mereka kagumi itu. Dan tentu saja pekik riang itu cuma dalam hati. Tak seberapa lama kemudian mereka memberi isyarat pada Laila untuk memulai.
“Begini pak Malik, sebetulnya kami telah berupaya membukukan cerita-cerita kepahlawanan pemuda-pemuda desa sini pada masa revolusi dulu...” Laila diam sejenak, terlihat olehnya wajah pak Malik mulai berubah. Tapi ia terlanjur nekad, “Terutama yang menyangkut pak Malik...”
Pak Malik kontan berdiri begitu mendengar namanya disebut, lalu masuk meninggalkan para pemuda itu di ruang tamu. Rasa senang para pemuda itu pada awal tadi mendadak sontak berubah menjadi pesimis. Mereka saling pandang dan tampak putus asa. Beberapa lama kemudian perasaan mereka berubah lagi menjadi tanda tanya yang besar kala melihat orang tua itu keluar membawa nampan berisi air teh.
“Silakan minum!” kata pak Malik ramah setelah meletakkan gelas-gelas itu di atas meja.
Pemuda-pemuda itu langsung meminumnya untuk menghilangkan ketegangan.
“Aku sebagai orang tua sangat senang dengan kegigihan dan ketekunan kalian. Tadi sebetulnya aku menolak jebakan kalian...“ pak Malik menyulut rokok yang dari tadi sudah dipegangnya, “tapi setelah aku pikir dalam-dalam aku menyadari bahwa sikap bungkamku selama ini adalah salah. Salah besar! Seharusnya sejak dulu aku menceritakan pada kalian, biar semuanya tahu dengan jelas...” orang tua itu menghisap rokoknya kuat-kuat. Wajahnya berubah menjadi tenang. Tenang sekali seolah-olah memberi kesempatan para pemuda itu untuk mengatur konsentrasinya. Dan hal ini memang diperbuat oleh pemuda-pemuda itu dengan membetulkan letak duduknya masing-masing. “Sebab penulisan sejarah yang salah akan berakibat fatal. Apalagi kalau kesalahan itu disengaja...”
“Itulah sebabnya yang membuat kami terus mendesak pada bapak...” Ardhi sudah mulai bicara lagi.
“Yah, aku menyadari...” pak Malik berdiri, “Sekarang mau kalian bagaimana?”
“Sebaiknya kami yang bertanya dan bapak tinggal menjelaskan. Terus terang kami sudah mendengar banyak tentang kehebatan bapak dari pak Tejo, pak Rosyid dan pak Rohim...” jawab Laila.
“Yah... mereka senang sekali cerita tentang kehebatan bapak...” topang Ardhi.
Pak Malik menunduk mendengar pujian itu.
“Bisa kami mulai, pak?” tanya Laila.
“Bisa... silakan...”
Segera saja terjadi tanya jawab antara pemuda-pemuda itu dan pak Malik. Dan ternyata semua yang mereka dengar dari pak Rosyid, pak Tejo dan pak Rohim dibenarkan. Pak Tejo pernah menceritakan bahwa dulu pemuda Malik kalau perang sering berdiri dan tak pernah gentar sedikitpun. Kelebihan pemuda Malik yang diketahui oleh pak Rohim adalah dia pernah menghadang konvoi Belanda sendirian dan bahkan sambil berdiri di tengah jalan, tapi cukup membuat Belanda itu lari tunggang langgang. Dan pak Rosyid sampai sekarang belum bisa melupakan keberanian temannya ini, yang menaiki tank Belanda lalu memasukkan granat tangan ke dalamnya yang akhirnya mengkoyak-moyak bule-bule keparat yang ada di dalamnya. Yah semua cerita itu dibenarkan oleh pak Malik. Tapi di wajah tuanya itu tak tampak sedikitpun kebanggaan, malah guratan-guratan sedih menampak jelas. Barangkali ia ingat teman-temannya yang telah gugur.
“Kami betul-betul bangga sebagai pemuda di desa sini mempunyai pahlawan yang gagah berani...” puji Ardhi polos.
Lagi-lagi pak Malik menunduk.
“Yah... kami berjanji akan mewarisi jiwa patriotik bapak...” Laila lebih semangat.
Pak Malik tetap menunduk.
“Doakan saja, pak. Bukankah dalam masa pembangunan ini membutuhkan banyak jiwa-jiwa yang rela berkorban dan tanpa pamrih seperti bapak...” Retno yang dari tadi diam tak mau ketinggalan.
Pak Malik semakin menunduk. Air matanya mulai bergulir membasahi kedua pipi tuanya. Kini betul-betul terbayang kembali suasana revolusi dulu. Terbayang ayah Ardhi yang mati di sampingya. Terbayang Tohir, komandan yang mati secara massal bersama teman-temannya, terbayang kedua orang tuanya yang mati mengerikan kena mortir Belanda. Yah semuanya terbayang kembali dengan jelas.
Tiba-tiba pak Malik memekik, “Tidak! Tidak! Aku bukan pahlawan, tapi penghianat bangsa dan negara...” pak Malik memukulkan tinjunya ke dinding. “Yah, ...aku bukan pahlawan, catat baik-baik...”
Ardhi bangkit mendekat pada pak Malik, “Baiklah kalau bapak tidak mau disebut pahlawan, tapi yang jelas bapak bukan penghianat, kan?” bujuk Ardhi pada pak Malik yang memang tidak senang dipuji.
Pak Malik menghadap Ardhi lalu memandang para pemuda itu satu-persatu, “Kalian tidak tahu, dan memang tidak ada yang tahu kecuali diriku sendiri dan Tuhan. Hari ini adalah hari akhir dari kebohonganku yang besar. Aku adalah mata-mata Belanda yang menyusup menjadi tentara,” orang tua itu menjambak rambutnya dan para pemuda itu terperangah, “Kenapa kalau perang aku berani sambil berdiri, sebab aku telah mengenakan sesuatu tanda yang dengan tanda itu Belanda tak mungkin menembakku. Kenapa aku berdiri menghadang konvoi Belanda sendirian, sebab yang kulakukan sebenarnya bukan menghadang, tapi aku memberitahu kalau mereka diancam bahaya oleh tentara Indonesia yang menghadang di jembatan yang akan dilaluinya.” Pak Malik kembali berhenti beberapa saat dan melihat kedua telapak tangannya, “Kedua tanganku ini telah berlumur dosa, kendati pada akhirnya aku banyak membunuh Belanda. Yah aku memang banyak membunuh Belanda dengan kenekadan di luar akal. Aku memang yang membakar gudang mesiu di markas Belanda, aku memang sudah tiga kali menaiki tank dan menghancurkannya. Yah... aku memang banyak membunuh Belanda, tapi bukan untuk bangsa dan negara. Tidak! Melainkan karena dendamku yang membara. Yah... serangan Belanda yang membabi buta telah membunuh kedua orang tuaku, aku jadinya balik pantat. Oleh karenanya orang lain mengatakan aku pemberani, patriotik dan macam-macam sebutan lainnya. Tapi aku sendiri telah menganggap diriku gila.
Sekarang semuanya sudah jelas. Kalau kalian tetap ingin membukukan riwayatku, silakan! Dan tulislah dengan huruf besar ’Malik penghianat bangsa’ sebagai judulnya. Aku rela menerima cacian, bahkan kutukan. Tapi aku bersyukur tidak dikaruniai anak oleh Tuhan, sebab aku khawatir jika anak-anakku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya penghianat bangsa,” orang tua itu menyudahi pengakuannya. Lalu kembali menatap pemuda-pemuda itu satu persatu. Tampak sekali mereka kecewa mendengar penjelasannya.
“Kalian sudah mendengar penjelasanku?”
“Tidak, kami tetap kagum...” jawab Ardhi tegas.
“Kagum?”
“Yah, pak Malik telah menebusnya dengan setimpal...”
“Setimpal?”
“Yah...”
Pak Malik tercengang.
“Aku ingin tanya pada kalian, selaku pemuda dapatkah kalian memaafkan aku...?” suara pak Malik melemah dan dia mendekat pada Ardhi.
“Kenapa tidak, pak?” masih Ardhi yang menjawab, karena yang lain masih diliputi rasa tidak percaya.
“Biar tuntas kuberitahukan juga, bahwa ayahmu, Ardhi, tidak mati oleh siulan peluru Belanda, melainkan kutembak sendiri, lantaran aku khawatir dia akan membuka rahasiaku...” Ardhi langsung lemas mendengar pengakuan tambahan dari pak Malik. Buku yang dipegangnya jatuh dan terbuka. Terbaca oleh pak Malik sebuah kalimat yang diberi garis bawah, “AKU BANGGA AYAH GUGUR MEMBELA BANGSA”.
“Ardhi, nilai kepahlawanan ayahmu tidak berkurang...”Laila berusaha mengurangi goncangan Ardhi.
“Yah... pak Malik hanya perantara syahidnya ayahmu saja...” tambah Retno menopang usaha Laila.
Kasihan kau anak muda, sebetulnya ayahmu sama seperti aku, penghianat. Hanya dia lebih licik. Yang kumaksud rahasiaku adalah dendamku pada Belanda. Sayang kata-kata pak Malik ini cuma dalam hati. Ia memang ingin mengutarakan biar tuntas. Biar sejarah ini lurus. Tapi ia melihat Ardhi yang lunglai, Ardhi yang sangat membanggakan jiwa kepahlawanan ayahnya. Pak Malik membenamkan wajahnya ke dinding.
Oh, Tuhan ampuni hamba-Mu yang tak mampu meluruskan sejarah ini.

Sidoarjo